Kamis, 15 Oktober 2015

Short Story

Hay teman teman.. ini adalah cerita pertamaku. Mohon sarannya ya dan banyak yang absurd.. minta like, comment, n share yaaa. happy reading gaess.... :D 

My Enemy, My Hiro
Oleh : Ade C. Ningsih

            Aya Allycia adalah seorang anak yang cerdas pindahan dari Bandung. Dia pindah sekolah di sebuah sekolah elit di Jakarta, namanya SMAN Cakrawala. SMAN Cakrawala atau SMANCA mempunyai seorang ketua OSIS yang bernama Rizal Yoga Setiawan dan sekaligus menjadi teman sekelas  Aya. Rizal adalah seorang ketua OSIS yang paling disanjung oleh para guru dan tenar di kalangan siswa karena prestasinya yang brilian. Tetapi berbeda bagi Aya, baginya Rizal hanya mengganggunya karena dia sangat tidak suka jika ada orang yang berprestasi lebih unggul darinya. Sejak itu pula hidupnya berubah, dia menganggap Rizal sebagai musuh bebuyutannya.
            Malam hari, di sebuah kamar yang ukurannya lumayan luas dan mewah itu terlihat seorang gadis yang sedang membaca buku dengan seriusnya, tertulis di sana sebuah tulisan “Logaritma dan Matriks”. Buku-buku yang masih berserakan di atas meja tidak dipedulikannya. Terlihat segelas susu di samping meja yang belum dia sentuh sama sekali. Selagi gadis itu sibuk menatap rumus-rumus di depannya, terdengar bunyi pintu kamar diketuk.
“Masuk aja, Ma. Ga dikunci kok.” Kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
“Aya udah jam berapa ini? Kok kamu belum tidur? Ini udah malem, mama ga mau kamu besok kesiangan.” Gadis yang dari tadi serius menatap rumus di depannya mendadak berubah menjadi seorang gadis yang tenang sambil menatap orang yang datang itu.
“Hehe... tenang aja, Ma. Dikit lagi kok.” Jawab gadis itu sambil tersenyum manis sekali.
“Yaudah, tapi jangan kelamaan ya, jangan lupa juga susunya diabisin dulu tuh. Kasian kalo ga diminum.” Ucap seorang wanita paruh baya yang ternyata adalah Mama Manda, ibu dari gadis tadi.
“Iya, Ma. Beres.”
            Gadis yang tak lain dan tak bukan bernama Aya Allycia itu langsung membereskan buku-bukunya dan menutup Buku Logaritma dan Matriks yang sedari tadi dia baca. Setelah itu meminum susu yang tadinya hangat sekarang sudah dingin akibat terlalu lama dibiarkan. Setelah puas meminum susunya, Aya langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan berharap bisa melupakan sejenak mengenai rumus-rumus yang hampir membuatnya gila tadi. Tidak ada 15 menit gadis itu pun sudah terlelap ke dalam mimpinya.
            Tanpa diduga sebelumnya, Aya benar-benar bangun kesiangan. Mungkin kata-kata mamanya tadi malam memang benar adanya. Padahal dia telah memasang alarm jam setengah lima pagi, tetapi entah mengapa alarmnya itu tidak bisa diajak kerjasama. Mungkin memang Aya lah yang tidak mendengar saking lelapnya dia tertidur semalam. Terlihat Aya yang sedang tergesa-gesa menuruni anak tangga menuju ruang makan.
“Ma, Aya berangkat dulu ya. Udah mau telat nih.” Katanya sambil mencomot roti tawar dan meminum segelas susu dengan sekali tegukan.
“He eh... udah dibilang jangan tidur kemaleman juga. Ini kan jadinya beneran kesiangan. Yaudah sana nanti telat lagi. Ati-ati ya sayang.”
“Iya, Ma. Assalamu’alaikum.” Sambil mencium punggung tangan Mama Manda.
“Iya, wa’alaikumsalam.”
            Tepat tiga menit sebelum bel masuk berbunyi. Aya sampai di sekolah yang mempunyai cat warna biru muda ini. Terpampang jelas sebuah papan besar bertuliskan “SMA NEGERI CAKRAWALA”. Aya pun segera berjalan setengah berlari menuju kelasnya yaitu kelas XI IPA 1.
“Tumben loe telat. Biasanya kan murid teladan anti telat.” Ledek Ify yang melihat Aya masuk ke kelas dan duduk di sampingnya.
“Ngaco loe, gue belum telat tau. Cuman nyaris aja.” Jawab Aya dengan tenang.
“Eh, ngomong-ngomong itu si ketos gaje lagi di mana?” tambah Aya antusias.
“Yah loe, Ay... kayak ga tau aja. Dia itu kan sibuknya luar biasa ampun dah... palingan juga lagi di RO briefing buat kegiatan.” Sahut Via sekenanya yang sedari tadi sibuk membolak-balik buku.
“Vi, loe lagi ngapain sih?” tanya Aya yang terliht bingung dengan kelakuan Sivia.
“Biasa, Ay. Lagi stress mau ulangan matematika. Saking sterssnya dia jadi bolak-balik buku mulu tuh ga belajar.” Kata Ify yang otomatis juga langsung ikut membuka buku matematikanya.
“Kayak loe ga aja, Fy.” Tambah Via. Ify yang mendengarnya hanya terkekeh pelan.
            Hari ini di jam pertama memang ada ulangan matematika. Spontan murid-murid kelas XI IPA 1 langsung seperti kapal pecah. Ada yang heboh sendiri karena tidak suka matematika, ada yang belajar tetapi tidak konsentrasi, bahkan ada yang dengan teliti dan rajinnya membuat contekan di secarik kertas kecil yang mungkin hanya dapat terbaca jika menggunakan lup. Tapi hal ini tentu tidak berlaku bagi Aya, dia sudah terkenal sebagai anak teladan dan cerdas walaupun dia anak baru di SMANCA. Walaupun demikian dia belum bisa melampaui kecerdasan sang legenda ketua OSIS SMANCA yang memiliki predikat sebagai siswa terteladan dan tercerdas dari yang teladan dan cerdas. Mungkin ini memang terdengar agak berlebihan tetapi ini lah kenyataannya.
            Selang beberapa menit setelah Aya masuk, datang lah seorang siswa yang bertubuh tinggi tetapi kurus dan terdapat tag name kecil di seragamnya bertuliskan “Rizal Yoga Setiawan”. Siswa yang bernama Rizal itu langsung duduk di belakang Aya dan memberi salam kepadanya.
“Pagi, Ay.” Sapa Rizal ramah.
“Ya, pagi juga.” Jawab Aya cuek.
“Yang lain lagi heboh banget, kok loe tenang-tenang aja sih, Ay?” tanya Rizal basa basi.
“Iya karna gue tau gue itu pinter. Jadi gue ga perlu heboh-heboh kayak gitu. Trus satu lagi yang harus loe tau, gue pasti bakal nglampaui loe. Inget itu.” Ucap Aya tajam kepada Rizal.
Dia memang menjadi sensitif dan terbawa emosi jika sedang berhadapan dengan orang yang satu ini. Rizal hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Aya yang menurutnya lucu dan kekanak-kanakan. Rizal memang tahu bahwa Aya berambisi untuk lebih pintar darinya, tetapi justru dia menganggap ini adalah hal yang baik untuknya dan sama sekali tidak menjadikannya masalah.
Setelah itu Ibu Titik masuk ke kelas untuk memulai ulangan Matematika. Seperti yang sudah diduga oleh anak-anak kelas XI IPA 1, pastilah anak yang pertama kali keluar karena selesai megerjakan adalah Rizal lalu diikuti oleh Aya baru setelah itu yang lainnya. Aya menjadi sangat kesal karena dia belum bisa mengerjakan soal lebih cepat dari Rizal. Padahal selisih waktunya hanya sekitar 2 menit. Dia sebenarnya juga tahu dirinya pasti bisa mengerjakan soal dengan mudah tanpa belajar, tetapi dia nekat tetap belajar supaya bisa mengalahkan Rizal sang ketua OSIS SMANCA.
Begitulah hari-hari yang Aya lalui sejak dia berada di SMANCA. Dia adalah satu-satunya murid yang hampir sebanding dengan Rizal. Sampai pada saat ulangan akhir semester I dia benar-benar rajin belajar tidak peduli dia sudah pintar karena dia memang bercita-cita ingin mengalahkan Rizal apalagi di UAS yang bergengsi ini yang nantinya akan diumumkan nilai tertinggi oleh kepala sekolah.
Ulangan akhir semester I SMANCA dilakukan selama 5 hari berturut-turut yaitu mulai dari hari Senin sampai Jumat. Empat hari pertama ulangan berjalan dengan lancar dan Aya dapat melewatinya dengan mudah. Hingga saat hari ke-5, hari terakhir UAS di saat jam terakhir yaitu pada saat ulangan Ekonomi, terlihat Aya yang sedang mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru dengan mudah. Begitu pula dengan Rizal yang duduk di belakangnya.
Tiba-tiba ada seorang siswa yang tidak sengaja menjatuhkan sebuah lipatan kertas tepat di samping bawah meja Aya. Aya melihat siapa pemilik kertas itu dan mengira bahwa dia ingin Aya mengambilkan untuknya. Ah, sungguh mulia hati Aya, tetapi sebelum tujuan mulia itu tercapai, sayangnya kedua mata pengawas ulangan lebih cepat melihat Aya yang sedang memegang sebuah kertas. Dia mengira Aya telah mencontek.
“Aya Allycia!! maju ke depan sekarang!” kata Ibu Winda dengan nada tinggi yang membuat siapa saja yang mendengar pasti merinding. Entah kenapa Aya tidak bisa membantah perintah guru yang super galak ini. Kakinya langsung saja membawanya ke depan sambil teap memgang kertas lipatan itu.
“Itu kertas buat apa, Allycia?” tanya Ibu Winda, suaranya terdengar ramah. Tetapi Aya yang belum sempat menjawab, Bu Winda sudah membentaknya terlebih dahulu.
“Kamu itu memang anak tidak tahu diri, Ibu tidak menyangka kamu mencontek, padahal Ibu kira kamu itu anak cerdas dan jujur, tetapi ternyata kamu tidak jujur sama sekali.” Mendengar bentakan tersebut sontak membuat anak seisi kelas diam seketika. Untungnya Aya tidak mempunyai penyakit jantung yang mungkin jika mendengar bentakan dari Ibu Winda dapat kambuh seketika. Aya masih bersikap tenang dan sopan, dia yakin kesalahpahaman ini dapat segera terselesaikan.
“Maaf, Bu. Mungkin Ibu salah paham. Saya tidak mencontek sama sekali, kertas ini saya juga menemukan di lantai. Hanya saja jatuh tepat di bawah meja saya, pasti Ibu kira saya yang menjatuhkan kertas itu. Saya bahkan tidak tahu kalu itu adalah contekan. Saya hanya bermaksud mengembalikan kertas itu kepada....” belum sempat Aya menuntaskan omongannya, terdengar seorang siswa setengah berteriak.
“Gimana bisa loe ga tau kalo itu contekan. Jangan ngaco loe. Bu, saya yang melihat sendiri kalau Aya itu memang benar yang menjatuhkan kertas itu dan itu memang miliknya. Dia yang mencontek Bu!” tuduh salah seorang siswa. Anehnya sepengetahuan Aya, dia lah yang tadi menjatuhkan kertas contekan yang membuat heboh seisi kelas ini. Benar-benar anak yang menyebalkan, setidaknya begitulah yang ada di pikiran Aya saat ini.
“Ibu, tapi saya memang benar-benar tidak mencontek, Bu. Saya tidak mungkin melakukannya.” Ucap Aya yang mulai merasa tertekan.
“Mana mungkin loe ga nyontek, gue liat sendiri kok. Oh... gue tau, loe nyontek gara-gara frustasi ga bisa ngelebihin Rizal kan? Gue tau selama ini loe pengin ngalahin dia, makanya loe nyontek. Udah jangan ngeles lagi deh.” Kata anak itu.
Kata-kata itu kian menusuk hati Aya, tanpa disadari air mata merembes di pipi Aya. Semua seisi kelas juga terlihat kaget dengan apa yang terjadi, mereka sudah tidak ingat bahwa sekarang mereka sedang mengikuti ulangan. Termasuk Sivia dan Ify, mereka memang tidak melihat insiden kertas itu secara langsung karena sedang sibuk mengerjakan soal tetapi mereka percaya Aya tidak akan melakukannya. Mereka tahu sifat Aya walaupun baru sebentar mereka berteman. Sivia dan Ify tentu tidak terima temannya dihakimi sampai menangis seperti itu.
“Bu, Aya tidak mungin mencontek Bu. Saya tahu sifat dia. Walaupun memang benar dia ingin melebihi Rizal tetapi kami percaya dia itu orang jujur dan tidak akan melakukan hal sebodoh itu.” Kata Ify membela Aya.
“Iya, Bu. Saya yakin ini hanya salah paham.” Tambah Via.
Aya yang mendengarnya merasa beruntung memiliki teman yang dapat dipercaya. Bukan hanya baik di depan tetapi juga baik di belakang, tidak seperti anak sialan tadi yang membuat Aya menjadi korban tak berdosa ini.
“Apa kalian punya buktinya? Kalian bahkan tidak melihat kejadiannya. Kalian bisa saja mengatakan dia tidak mencontek hanya untuk melindungi teman kalian ini. Ibu tidak percaya pada kalian, kalian sama saja seperti anak ini.” Tegas Ibu Winda sambil melirik kepada Aya.
            BRAKK.... Rizal yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja dengan kerasnya. Sontak membuat seisi kelas menatap kepadanya dengan raut wajah ketakutan. Tak terkecuali Ibu Winda dan Aya.
“Ibu bilang apa tadi, Bu? Tidak percaya? Jangan bercanda, Bu. Justru yang tidak bisa dipercaya itu Ibu sendiri!.” Teriak Rizal dengan geramnya sambil menatap tajam Ibu Winda.
“Bisa-bisanya seorang guru yang seharusnya mendidik siswanya dengan baik justru membiarkan ketidakadilan terjadi di depan matanya. Bahkan mengatakan tidak mempercayai siswanya, maksudnya apa, Bu?” kata Rizal dengan penuh emosi. Dia benar-benar tidak menyangka seorang guru bertindak salah seperti itu. Ibu Winda hanya dapat menelan ludah dalam-dalam.
“Ibu juga tidak bisa menyalahkan teman Aya yang sudah mau membelanya. Saya juga melihat sendiri kalau kertas itu memang bukan milik Aya. Justru yang seharusnya disalahkan adalah dia!” kata Rizal penuh emosi sambil menunjuk Rian, anak yang sedari tadi memang sengaja menuduh Aya mencontek. Padahal dia lah yang mencontek dan menjatuhkan kertas itu.
“Eh, loe tuh harusnya nyadar. Beraninya cuma di belakang aja ga mau ngakuin kesalahan malah nuduh Aya yang jelas-jelas ga ada hubungannya.” Kata Rizal masih agak emosi. Aya yang mendengarnya hanya terdiam. Baru kali ini dia melihat Rizal yang dikenal ramah kepada orang lain sekarang seperti itu.
“Dan untuk Ibu, saya tahu Bu kalau Aya itu memang berusaha mengalahkan saya. Tetapi bukan berati dia itu harus mencontek, Bu. Saya sudah melihat sendiri kerja kerasnya selama ini dan saya percaya dia tidak akan melakukukan hal serendah itu.” Terang Rizal sambil memandang Aya. Aya yang merasa terharu hanya menangis sesenggukan. Di dalam hatinya dia sangat berterima kasih kepada Rizal.
= = =
Dua hari setelah insiden mencontek di kelas XI IPA 1 yang membuat heboh itu kini telah usai. Aya yang dituduh mencontek itu ternyata memang salah paham. Ibu Winda juga sudah meminta maaf kapada Aya dan semua siswa kelas XI IPA 1. Dia sadar dia terlalu memaksakan kehandaknya tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Sedangkan Rian yang terbukti mencontek itu lalu diberi hukuman bahwa tidak akan lulus UAS. Tetapi Aya yang mengetahui hukuman tersebut merasa itu terlalu berlebihan dan mengusulkan agar Rian mengerjakan kembali soal ulangan murni dengan kemampuannya sendiri. Sungguh baik hati Aya.
Pagi itu, terlihat seorang gadis yang sedang berlari di sebuah lorong sekolah. Langkahnya terhenti di sebuah pintu kelas yang di atasnya bertuliskan XI IPA 1. Wajahnya terlihat begitu ceria, dia lah Aya Allycia. Seorang murid yang belakangan ini membuat heboh seantero sekolah. Dia pun segera mencari-cari sosok yang dicarinya. Mungkin dia belum datang, pikirnya dalam hati. Tak lama kemudian terlihat sosok siswa yang tinggi kurus berjalan masuk ke kelas. Aya langsung menghampiri siswa tersebut yang tak lain adalah Rizal. Memang setelah insiden mencontek itu sikap Aya berubah 180 derajat kepada Rizal. Bukankah ini hal yang baik?
“Pagi, Zal.” Sapa Aya ramah, sebuah senyum yang sangat manis terukir dibibirnya.
“Eh... iya pagi juga. Tumben loe pagi-pagi udah ceria, pake acara nyapa gue lagi. Biasanya kan ga tuh.” Kata Rizal sambil tersenyum. Aya yang ditanya hanya menunduk malu.
“Hehe iya. Tapi ga papa kan? Oiya soal kemaren makasih ya.” Ucap Aya tulus.
“Santai aja kali, udah sepantesnya sebagai teman kan? Lagian gue yakin loe itu ga bakalan nyontek.”
“Ciee... Tom sama Jery udah baikan nih ceritanya?” ledek Ify dan Sivia yang baru saja datang.
“Apaan sih kalian... lagian gue bukan Tom, Rizal juga bukan Jery. Iya kan, Zal?” tanya Aya dengan polosnya. Rizal yang mendengarnya hanya tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Aya.
“Udah ah... pusing gue ngomong sama loe. Eh, ngomong-ngomong bukannya sekarang ada pengumuman yang dapet nilai tertinggi dari ulangan kemaren ya? Gue denger-denger tuh dari Pak Iwan.” Kata Sivia antusias.
“Betul banget guys, sekarang emang ada pengumuman UAS kemaren, palingan juga bentar lagi mulai kok.” Kata Rizal yang memang tahu akan hal ini secara dia itu kan ketua OSIS SMANCA. Dan benar saja, tidak lama kemudian terdengar sebuah pengumuman supaya semua siswa segera berkumpul di lapangan utama.
“Baiklah anak-anak, di sini bapak akan mengumumkan siapa saja yang mendapat nilai tebaik untuk ulangan kemarin. Sebelumnya bapak ucapkan terima kasih kepada semua siswa yang telah mengikuti ulangan dengan baik. Langsung saja kita mulai dari kelas X, yang namanya disebut harap untuk maju ke depan. Yang pertama adalah....” begitulah Pak Iwan mengumumkan mulai dari kelas X terlebih dahulu.
Setelah selesai mengumumkan untuk kelas X, diteruskan dengan kelas XI. Semua siswa tampak harap-harap cemas menunggu detik-detik pengumuman. Terlihat Aya yang berdiri di pinggir lapangan yang sedang dilanda tegang luar biasa, sejujurnya dia sudah tidak peduli lagi jika dia masih di bawah Rizal. Sedangkan Rizal yang di sampingnya hanya tenang seperti biasanya tanpa menunjukan ekspresi apapun.
“Baiklah, untuk siswa yang ini memang sangat luar biasa. Mereka saling berkompetisi dan telah menunjukkan prestasi yang luar biasa, mereka adalah... Rizal Yoga Setiawan dan Aya Allycia dari kelas XI IPA 1 dengan rata-rata nilai untuk Rizal 4 dan Aya 3,9.” Seru Pak Iwan dan seketika terdengar riuh tepuk tangan dari para siswa terutama dari kelas XI IPA 1. Dua anak yang menjadi bintang sekolah ini memang sangat luar biasa. Rizal dan Aya pun segera menuju lapangan untuk memperoleh penghargaan dari Kepala Sekolah. Setelah itu terdengar sekali lagi tepuk tangan dari para siswa.
Setelah itu diteruskan pengumuman lagi untuk kelas XII. Para siswa terlihat sangat bersuka cita. Walaupun dari mereka ada yang tidak mendapat juara tapi mereka masih saling menyemangati satu sama lain. Memang sungguh indah masa-masa SMA.
“Selamat ya.” Ucap Aya sambil tersenyum.
“Iya, selamat juga buat loe. Ga nyesel kan? Ledek Rizal.
“Engga kok, gue sekarang tau kalo loe itu emang susah dikalahin. Dan gue bakal berusaha lagi.” Kata Aya tulus.
“Iya, jadi loe udah ga nganggep gue itu musuh loe kan? Tanya Rizal memastikan.
“Haha... ga kok, dulu loe itu emang gue anggep musuh tapi sekarang loe itu bukan cuma musuh gue tapi sekaligus juga pahlawan gue. Makasih ya.” Kata Aya bercanda tetapi tetap serius.
“Yah, berarti gue tetep musuh loe dong.” Tanya Rizal kecewa.
“Biarin. Wlee.”
            Keduanya pun berjalan beriringan menuju ke kelas sambil sesekali bercanda. Mereka pun memulai kehidupan sekolah yang lebih menyenangkan dibandingkan sebelumnya.
= = =