Hay teman teman.. ini adalah cerita pertamaku. Mohon sarannya ya dan banyak yang absurd.. minta like, comment, n share yaaa. happy reading gaess.... :D
My Enemy, My Hiro
Oleh
: Ade C. Ningsih
Aya Allycia adalah seorang anak yang
cerdas pindahan dari Bandung. Dia pindah sekolah di sebuah sekolah elit di
Jakarta, namanya SMAN Cakrawala. SMAN Cakrawala atau SMANCA mempunyai seorang
ketua OSIS yang bernama Rizal Yoga Setiawan dan sekaligus menjadi teman sekelas
Aya. Rizal adalah seorang ketua OSIS
yang paling disanjung oleh para guru dan tenar di kalangan siswa karena
prestasinya yang brilian. Tetapi berbeda bagi Aya, baginya Rizal hanya
mengganggunya karena dia sangat tidak suka jika ada orang yang berprestasi
lebih unggul darinya. Sejak itu pula hidupnya berubah, dia menganggap Rizal
sebagai musuh bebuyutannya.
Malam hari, di sebuah kamar yang
ukurannya lumayan luas dan mewah itu terlihat seorang gadis yang sedang membaca
buku dengan seriusnya, tertulis di sana sebuah tulisan “Logaritma dan Matriks”.
Buku-buku yang masih berserakan di atas meja tidak dipedulikannya. Terlihat
segelas susu di samping meja yang belum dia sentuh sama sekali. Selagi gadis
itu sibuk menatap rumus-rumus di depannya, terdengar bunyi pintu kamar diketuk.
“Masuk
aja, Ma. Ga dikunci kok.” Kata gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari
buku.
“Aya
udah jam berapa ini? Kok kamu belum tidur? Ini udah malem, mama ga mau kamu
besok kesiangan.” Gadis yang dari tadi serius menatap rumus di depannya
mendadak berubah menjadi seorang gadis yang tenang sambil menatap orang yang
datang itu.
“Hehe...
tenang aja, Ma. Dikit lagi kok.” Jawab gadis itu sambil tersenyum manis sekali.
“Yaudah,
tapi jangan kelamaan ya, jangan lupa juga susunya diabisin dulu tuh. Kasian
kalo ga diminum.” Ucap seorang wanita paruh baya yang ternyata adalah Mama
Manda, ibu dari gadis tadi.
“Iya,
Ma. Beres.”
Gadis yang tak lain dan tak bukan
bernama Aya Allycia itu langsung membereskan buku-bukunya dan menutup Buku
Logaritma dan Matriks yang sedari tadi dia baca. Setelah itu meminum susu yang
tadinya hangat sekarang sudah dingin akibat terlalu lama dibiarkan. Setelah
puas meminum susunya, Aya langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan berharap
bisa melupakan sejenak mengenai rumus-rumus yang hampir membuatnya gila tadi.
Tidak ada 15 menit gadis itu pun sudah terlelap ke dalam mimpinya.
Tanpa diduga sebelumnya, Aya
benar-benar bangun kesiangan. Mungkin kata-kata mamanya tadi malam memang benar
adanya. Padahal dia telah memasang alarm jam setengah lima pagi, tetapi entah
mengapa alarmnya itu tidak bisa diajak kerjasama. Mungkin memang Aya lah yang
tidak mendengar saking lelapnya dia tertidur semalam. Terlihat Aya yang sedang
tergesa-gesa menuruni anak tangga menuju ruang makan.
“Ma,
Aya berangkat dulu ya. Udah mau telat nih.” Katanya sambil mencomot roti tawar
dan meminum segelas susu dengan sekali tegukan.
“He
eh... udah dibilang jangan tidur kemaleman juga. Ini kan jadinya beneran
kesiangan. Yaudah sana nanti telat lagi. Ati-ati ya sayang.”
“Iya,
Ma. Assalamu’alaikum.” Sambil mencium punggung tangan Mama Manda.
“Iya,
wa’alaikumsalam.”
Tepat tiga menit sebelum bel masuk
berbunyi. Aya sampai di sekolah yang mempunyai cat warna biru muda ini.
Terpampang jelas sebuah papan besar bertuliskan “SMA NEGERI CAKRAWALA”. Aya pun
segera berjalan setengah berlari menuju kelasnya yaitu kelas XI IPA 1.
“Tumben
loe telat. Biasanya kan murid teladan anti telat.” Ledek Ify yang melihat Aya
masuk ke kelas dan duduk di sampingnya.
“Ngaco
loe, gue belum telat tau. Cuman nyaris aja.” Jawab Aya dengan tenang.
“Eh,
ngomong-ngomong itu si ketos gaje lagi di mana?” tambah Aya antusias.
“Yah
loe, Ay... kayak ga tau aja. Dia itu kan sibuknya luar biasa ampun dah...
palingan juga lagi di RO briefing
buat kegiatan.” Sahut Via sekenanya yang sedari tadi sibuk membolak-balik buku.
“Vi,
loe lagi ngapain sih?” tanya Aya yang terliht bingung dengan kelakuan Sivia.
“Biasa,
Ay. Lagi stress mau ulangan matematika. Saking sterssnya dia jadi bolak-balik
buku mulu tuh ga belajar.” Kata Ify yang otomatis juga langsung ikut membuka
buku matematikanya.
“Kayak
loe ga aja, Fy.” Tambah Via. Ify yang mendengarnya hanya terkekeh pelan.
Hari ini di jam pertama memang ada
ulangan matematika. Spontan murid-murid kelas XI IPA 1 langsung seperti kapal
pecah. Ada yang heboh sendiri karena tidak suka matematika, ada yang belajar
tetapi tidak konsentrasi, bahkan ada yang dengan teliti dan rajinnya membuat
contekan di secarik kertas kecil yang mungkin hanya dapat terbaca jika
menggunakan lup. Tapi hal ini tentu tidak berlaku bagi Aya, dia sudah terkenal
sebagai anak teladan dan cerdas walaupun dia anak baru di SMANCA. Walaupun demikian
dia belum bisa melampaui kecerdasan sang legenda ketua OSIS SMANCA yang
memiliki predikat sebagai siswa terteladan dan tercerdas dari yang teladan dan
cerdas. Mungkin ini memang terdengar agak berlebihan tetapi ini lah
kenyataannya.
Selang beberapa menit setelah Aya
masuk, datang lah seorang siswa yang bertubuh tinggi tetapi kurus dan terdapat tag name kecil di seragamnya bertuliskan
“Rizal Yoga Setiawan”. Siswa yang bernama Rizal itu langsung duduk di belakang
Aya dan memberi salam kepadanya.
“Pagi,
Ay.” Sapa Rizal ramah.
“Ya,
pagi juga.” Jawab Aya cuek.
“Yang
lain lagi heboh banget, kok loe tenang-tenang aja sih, Ay?” tanya Rizal basa
basi.
“Iya
karna gue tau gue itu pinter. Jadi gue ga perlu heboh-heboh kayak gitu. Trus
satu lagi yang harus loe tau, gue pasti bakal nglampaui loe. Inget itu.” Ucap
Aya tajam kepada Rizal.
Dia
memang menjadi sensitif dan terbawa emosi jika sedang berhadapan dengan orang
yang satu ini. Rizal hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Aya yang
menurutnya lucu dan kekanak-kanakan. Rizal memang tahu bahwa Aya berambisi
untuk lebih pintar darinya, tetapi justru dia menganggap ini adalah hal yang
baik untuknya dan sama sekali tidak menjadikannya masalah.
Setelah
itu Ibu Titik masuk ke kelas untuk memulai ulangan Matematika. Seperti yang
sudah diduga oleh anak-anak kelas XI IPA 1, pastilah anak yang pertama kali
keluar karena selesai megerjakan adalah Rizal lalu diikuti oleh Aya baru
setelah itu yang lainnya. Aya menjadi sangat kesal karena dia belum bisa
mengerjakan soal lebih cepat dari Rizal. Padahal selisih waktunya hanya sekitar
2 menit. Dia sebenarnya juga tahu dirinya pasti bisa mengerjakan soal dengan
mudah tanpa belajar, tetapi dia nekat tetap belajar supaya bisa mengalahkan
Rizal sang ketua OSIS SMANCA.
Begitulah
hari-hari yang Aya lalui sejak dia berada di SMANCA. Dia adalah satu-satunya
murid yang hampir sebanding dengan Rizal. Sampai pada saat ulangan akhir
semester I dia benar-benar rajin belajar tidak peduli dia sudah pintar karena
dia memang bercita-cita ingin mengalahkan Rizal apalagi di UAS yang bergengsi
ini yang nantinya akan diumumkan nilai tertinggi oleh kepala sekolah.
Ulangan
akhir semester I SMANCA dilakukan selama 5 hari berturut-turut yaitu mulai dari
hari Senin sampai Jumat. Empat hari pertama ulangan berjalan dengan lancar dan
Aya dapat melewatinya dengan mudah. Hingga saat hari ke-5, hari terakhir UAS di
saat jam terakhir yaitu pada saat ulangan Ekonomi, terlihat Aya yang sedang
mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru dengan mudah. Begitu pula
dengan Rizal yang duduk di belakangnya.
Tiba-tiba
ada seorang siswa yang tidak sengaja menjatuhkan sebuah lipatan kertas tepat di
samping bawah meja Aya. Aya melihat siapa pemilik kertas itu dan mengira bahwa
dia ingin Aya mengambilkan untuknya. Ah, sungguh mulia hati Aya, tetapi sebelum
tujuan mulia itu tercapai, sayangnya kedua mata pengawas ulangan lebih cepat
melihat Aya yang sedang memegang sebuah kertas. Dia mengira Aya telah
mencontek.
“Aya
Allycia!! maju ke depan sekarang!” kata Ibu Winda dengan nada tinggi yang
membuat siapa saja yang mendengar pasti merinding. Entah kenapa Aya tidak bisa
membantah perintah guru yang super galak ini. Kakinya langsung saja membawanya
ke depan sambil teap memgang kertas lipatan itu.
“Itu
kertas buat apa, Allycia?” tanya Ibu Winda, suaranya terdengar ramah. Tetapi
Aya yang belum sempat menjawab, Bu Winda sudah membentaknya terlebih dahulu.
“Kamu
itu memang anak tidak tahu diri, Ibu tidak menyangka kamu mencontek, padahal
Ibu kira kamu itu anak cerdas dan jujur, tetapi ternyata kamu tidak jujur sama
sekali.” Mendengar bentakan tersebut sontak membuat anak seisi kelas diam
seketika. Untungnya Aya tidak mempunyai penyakit jantung yang mungkin jika
mendengar bentakan dari Ibu Winda dapat kambuh seketika. Aya masih bersikap
tenang dan sopan, dia yakin kesalahpahaman ini dapat segera terselesaikan.
“Maaf,
Bu. Mungkin Ibu salah paham. Saya tidak mencontek sama sekali, kertas ini saya
juga menemukan di lantai. Hanya saja jatuh tepat di bawah meja saya, pasti Ibu
kira saya yang menjatuhkan kertas itu. Saya bahkan tidak tahu kalu itu adalah
contekan. Saya hanya bermaksud mengembalikan kertas itu kepada....” belum
sempat Aya menuntaskan omongannya, terdengar seorang siswa setengah berteriak.
“Gimana
bisa loe ga tau kalo itu contekan. Jangan ngaco loe. Bu, saya yang melihat
sendiri kalau Aya itu memang benar yang menjatuhkan kertas itu dan itu memang
miliknya. Dia yang mencontek Bu!” tuduh salah seorang siswa. Anehnya
sepengetahuan Aya, dia lah yang tadi menjatuhkan kertas contekan yang membuat
heboh seisi kelas ini. Benar-benar anak yang menyebalkan, setidaknya begitulah
yang ada di pikiran Aya saat ini.
“Ibu,
tapi saya memang benar-benar tidak mencontek, Bu. Saya tidak mungkin
melakukannya.” Ucap Aya yang mulai merasa tertekan.
“Mana
mungkin loe ga nyontek, gue liat sendiri kok. Oh... gue tau, loe nyontek
gara-gara frustasi ga bisa ngelebihin Rizal kan? Gue tau selama ini loe pengin
ngalahin dia, makanya loe nyontek. Udah jangan ngeles lagi deh.” Kata anak itu.
Kata-kata
itu kian menusuk hati Aya, tanpa disadari air mata merembes di pipi Aya. Semua
seisi kelas juga terlihat kaget dengan apa yang terjadi, mereka sudah tidak
ingat bahwa sekarang mereka sedang mengikuti ulangan. Termasuk Sivia dan Ify,
mereka memang tidak melihat insiden kertas itu secara langsung karena sedang
sibuk mengerjakan soal tetapi mereka percaya Aya tidak akan melakukannya.
Mereka tahu sifat Aya walaupun baru sebentar mereka berteman. Sivia dan Ify
tentu tidak terima temannya dihakimi sampai menangis seperti itu.
“Bu,
Aya tidak mungin mencontek Bu. Saya tahu sifat dia. Walaupun memang benar dia
ingin melebihi Rizal tetapi kami percaya dia itu orang jujur dan tidak akan
melakukan hal sebodoh itu.” Kata Ify membela Aya.
“Iya,
Bu. Saya yakin ini hanya salah paham.” Tambah Via.
Aya
yang mendengarnya merasa beruntung memiliki teman yang dapat dipercaya. Bukan
hanya baik di depan tetapi juga baik di belakang, tidak seperti anak sialan
tadi yang membuat Aya menjadi korban tak berdosa ini.
“Apa
kalian punya buktinya? Kalian bahkan tidak melihat kejadiannya. Kalian bisa
saja mengatakan dia tidak mencontek hanya untuk melindungi teman kalian ini.
Ibu tidak percaya pada kalian, kalian sama saja seperti anak ini.” Tegas Ibu
Winda sambil melirik kepada Aya.
BRAKK.... Rizal yang sedari tadi
hanya diam tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja dengan kerasnya. Sontak
membuat seisi kelas menatap kepadanya dengan raut wajah ketakutan. Tak
terkecuali Ibu Winda dan Aya.
“Ibu
bilang apa tadi, Bu? Tidak percaya? Jangan bercanda, Bu. Justru yang tidak bisa
dipercaya itu Ibu sendiri!.” Teriak Rizal dengan geramnya sambil menatap tajam
Ibu Winda.
“Bisa-bisanya
seorang guru yang seharusnya mendidik siswanya dengan baik justru membiarkan
ketidakadilan terjadi di depan matanya. Bahkan mengatakan tidak mempercayai
siswanya, maksudnya apa, Bu?” kata Rizal dengan penuh emosi. Dia benar-benar
tidak menyangka seorang guru bertindak salah seperti itu. Ibu Winda hanya dapat
menelan ludah dalam-dalam.
“Ibu
juga tidak bisa menyalahkan teman Aya yang sudah mau membelanya. Saya juga
melihat sendiri kalau kertas itu memang bukan milik Aya. Justru yang seharusnya
disalahkan adalah dia!” kata Rizal penuh emosi sambil menunjuk Rian, anak yang
sedari tadi memang sengaja menuduh Aya mencontek. Padahal dia lah yang
mencontek dan menjatuhkan kertas itu.
“Eh,
loe tuh harusnya nyadar. Beraninya cuma di belakang aja ga mau ngakuin
kesalahan malah nuduh Aya yang jelas-jelas ga ada hubungannya.” Kata Rizal
masih agak emosi. Aya yang mendengarnya hanya terdiam. Baru kali ini dia
melihat Rizal yang dikenal ramah kepada orang lain sekarang seperti itu.
“Dan
untuk Ibu, saya tahu Bu kalau Aya itu memang berusaha mengalahkan saya. Tetapi
bukan berati dia itu harus mencontek, Bu. Saya sudah melihat sendiri kerja
kerasnya selama ini dan saya percaya dia tidak akan melakukukan hal serendah
itu.” Terang Rizal sambil memandang Aya. Aya yang merasa terharu hanya menangis
sesenggukan. Di dalam hatinya dia sangat berterima kasih kepada Rizal.
=
= =
Dua
hari setelah insiden mencontek di kelas XI IPA 1 yang membuat heboh itu kini
telah usai. Aya yang dituduh mencontek itu ternyata memang salah paham. Ibu
Winda juga sudah meminta maaf kapada Aya dan semua siswa kelas XI IPA 1. Dia
sadar dia terlalu memaksakan kehandaknya tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Sedangkan Rian yang terbukti mencontek itu lalu diberi hukuman bahwa tidak akan
lulus UAS. Tetapi Aya yang mengetahui hukuman tersebut merasa itu terlalu
berlebihan dan mengusulkan agar Rian mengerjakan kembali soal ulangan murni
dengan kemampuannya sendiri. Sungguh baik hati Aya.
Pagi
itu, terlihat seorang gadis yang sedang berlari di sebuah lorong sekolah.
Langkahnya terhenti di sebuah pintu kelas yang di atasnya bertuliskan XI IPA 1.
Wajahnya terlihat begitu ceria, dia lah Aya Allycia. Seorang murid yang
belakangan ini membuat heboh seantero sekolah. Dia pun segera mencari-cari
sosok yang dicarinya. Mungkin dia belum datang, pikirnya dalam hati. Tak lama
kemudian terlihat sosok siswa yang tinggi kurus berjalan masuk ke kelas. Aya
langsung menghampiri siswa tersebut yang tak lain adalah Rizal. Memang setelah
insiden mencontek itu sikap Aya berubah 180 derajat kepada Rizal. Bukankah ini
hal yang baik?
“Pagi,
Zal.” Sapa Aya ramah, sebuah senyum yang sangat manis terukir dibibirnya.
“Eh...
iya pagi juga. Tumben loe pagi-pagi udah ceria, pake acara nyapa gue lagi.
Biasanya kan ga tuh.” Kata Rizal sambil tersenyum. Aya yang ditanya hanya
menunduk malu.
“Hehe
iya. Tapi ga papa kan? Oiya soal kemaren makasih ya.” Ucap Aya tulus.
“Santai
aja kali, udah sepantesnya sebagai teman kan? Lagian gue yakin loe itu ga
bakalan nyontek.”
“Ciee...
Tom sama Jery udah baikan nih ceritanya?” ledek Ify dan Sivia yang baru saja
datang.
“Apaan
sih kalian... lagian gue bukan Tom, Rizal juga bukan Jery. Iya kan, Zal?” tanya
Aya dengan polosnya. Rizal yang mendengarnya hanya tertawa kecil mendengar
pertanyaan dari Aya.
“Udah
ah... pusing gue ngomong sama loe. Eh, ngomong-ngomong bukannya sekarang ada
pengumuman yang dapet nilai tertinggi dari ulangan kemaren ya? Gue
denger-denger tuh dari Pak Iwan.” Kata Sivia antusias.
“Betul
banget guys, sekarang emang ada
pengumuman UAS kemaren, palingan juga bentar lagi mulai kok.” Kata Rizal yang
memang tahu akan hal ini secara dia itu kan ketua OSIS SMANCA. Dan benar saja,
tidak lama kemudian terdengar sebuah pengumuman supaya semua siswa segera berkumpul
di lapangan utama.
“Baiklah
anak-anak, di sini bapak akan mengumumkan siapa saja yang mendapat nilai tebaik
untuk ulangan kemarin. Sebelumnya bapak ucapkan terima kasih kepada semua siswa
yang telah mengikuti ulangan dengan baik. Langsung saja kita mulai dari kelas
X, yang namanya disebut harap untuk maju ke depan. Yang pertama adalah....”
begitulah Pak Iwan mengumumkan mulai dari kelas X terlebih dahulu.
Setelah
selesai mengumumkan untuk kelas X, diteruskan dengan kelas XI. Semua siswa
tampak harap-harap cemas menunggu detik-detik pengumuman. Terlihat Aya yang
berdiri di pinggir lapangan yang sedang dilanda tegang luar biasa, sejujurnya
dia sudah tidak peduli lagi jika dia masih di bawah Rizal. Sedangkan Rizal yang
di sampingnya hanya tenang seperti biasanya tanpa menunjukan ekspresi apapun.
“Baiklah,
untuk siswa yang ini memang sangat luar biasa. Mereka saling berkompetisi dan
telah menunjukkan prestasi yang luar biasa, mereka adalah... Rizal Yoga
Setiawan dan Aya Allycia dari kelas XI IPA 1 dengan rata-rata nilai untuk Rizal
4 dan Aya 3,9.” Seru Pak Iwan dan seketika terdengar riuh tepuk tangan dari
para siswa terutama dari kelas XI IPA 1. Dua anak yang menjadi bintang sekolah
ini memang sangat luar biasa. Rizal dan Aya pun segera menuju lapangan untuk
memperoleh penghargaan dari Kepala Sekolah. Setelah itu terdengar sekali lagi
tepuk tangan dari para siswa.
Setelah
itu diteruskan pengumuman lagi untuk kelas XII. Para siswa terlihat sangat
bersuka cita. Walaupun dari mereka ada yang tidak mendapat juara tapi mereka
masih saling menyemangati satu sama lain. Memang sungguh indah masa-masa SMA.
“Selamat
ya.” Ucap Aya sambil tersenyum.
“Iya,
selamat juga buat loe. Ga nyesel kan? Ledek Rizal.
“Engga
kok, gue sekarang tau kalo loe itu emang susah dikalahin. Dan gue bakal
berusaha lagi.” Kata Aya tulus.
“Iya,
jadi loe udah ga nganggep gue itu musuh loe kan? Tanya Rizal memastikan.
“Haha...
ga kok, dulu loe itu emang gue anggep musuh tapi sekarang loe itu bukan cuma
musuh gue tapi sekaligus juga pahlawan gue. Makasih ya.” Kata Aya bercanda
tetapi tetap serius.
“Yah,
berarti gue tetep musuh loe dong.” Tanya Rizal kecewa.
“Biarin.
Wlee.”
Keduanya pun berjalan beriringan
menuju ke kelas sambil sesekali bercanda. Mereka pun memulai kehidupan sekolah
yang lebih menyenangkan dibandingkan sebelumnya.
=
= =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar