Senin, 26 November 2018

MAKALAH ILMU KALAM - ALIRAN KHAWARIJ


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Munculnya Aliran Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari Bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Adapun khawarij yang dimaksud dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/ kelompok/ aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbritase/ tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[1]
Kisah yang terjadi adalah seperti ini, yakni pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syiria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan itu muncul karena di latar belakangi oleh pembunuhan Usman, sehingga Ali mengeluarkan keputusan untuk memecat Mu’awiyah dari Gubernur Syiria. Mu’awiyah memiliki dua alasan kenapa dia memberontak. Yang pertama adalah karena ingin menuntut balas atas kematian Usman yang notabene adalah keluarganya sendiri, sedangkan yang kedua adalah ingin mempertahankan jabatannya sebagai gubernur. Sungguh sebuah tipu daya yang licik tengah dilancarkan oleh Mu’awiyah.
            Dapat diungkap bahawa kelahiran aliran Khawarij merupakan ide dari Amru bin Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan Ali dengan mengangkat lembaran mushaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an.  Menurut Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti. [2]
            Dalam Perang Siffin yang terjadi, kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang sah. Berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan hampir diraih itu raib.[3]
            Ketika akan mengalami kekalahan, Mu’awiyah menyuruh tentaranya supaya mengangkat mushaf atas ujung lembing dan meminta supaya menyerahkan masalah peperangan ini kepada keputusan Al-Qur’an. Ali menyuruh tentaranya supaya terus bertempur, namun ada sebagian tentaranya menentang. Kebanyakan mereka menghendaki diadakan perdamaian dan menerima ajakan Mu’awiyah. Ali menampik tawaran itu karena Ali mengetahui bahwa Mu’awiyah, Amr bin Ash, Ibnu Abi Sarh, dan Ibnu Maslamah adalah tokoh-tokoh politik yang pandai memperdayakan lawan.[4]
            Tetapi Mis’ar bin Fadki at-Tamimi, Zaid bin Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’ yang mendesak Ali untuk menerima tahkim tersebut. Awalnya memang Ali menolak, tapi mereka bahkan mengancam akan memperlakukan Ali seperti apa yang telah mereka lakukan kepada Usman.[5] Akhirnya Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka.
            Al-Asy’asts bin Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya. Mua’wiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati.” Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukan sendiri dan mereka sepakat mengutus Amru bin Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak Ali, kelompok yang tadi memaksa Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Asy’ari, sementara Ali menginginkan Abdullah bin Abbas.[6]
            Perundingan di Daumah al-Jandal mengungkap keberhasilan Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali Usman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian Usman. Ketika Amru membicarakan keterlibatan Ali dapan pembunuhan Usman, Abu Musa tidak mau melayani. Akan tetapi Abu Musa menyelewengkan pembicaraannya dan mengajak Amru untuk membicaraka hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Dari perbincangan keduanya tidak menghasilkan kesepakatan bahwa siapa yang akan diangkat menjadi khalifah, akhirnya disepakati bahwa mereka menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum muslim.
            Seletah perundingan selesai mereka berbalik menentang tahkim, padahal tadinya mereka juga mendesak Ali menerima tahkim. Sekarang mereka kemukakan alas an-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap politik mereka. Menurut mereka, tahkim salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kelompok Ali lah yang berada dipihak yang benar. Menurut kelompok Ali yang beriman, tahkim berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakan lahukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan mengakui dia telah kafir karena menerima tahkim. Mereka mendesak Ali untuk membatalkan hasil kesepakatan tahkim. Benar-benar mereka adalah golongan kamu munafik yang hanya memilih bersembunyi di balik banteng yang kuat saja.
            Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya mereka meninggalan kelompok Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harurah inilah, maka untuk pertama kali mereka dikenal dengan nama golongan Al-Haruriyah. Karena mereka keluar dari golongan Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan Al-Khawarij bentuk jamak dari khariji (yang keluar).
            Menurut Syahrastani, yang disebut kharij, adalah siapa saja yang keluar dari barisan imam yang telah disepakati oleh jamaah, baik keluar pada masa sahabat dibawah pimpinan Amminah Ar-Rasyiddin atau pada masa tabi’in atau pada masa imam manapun disetiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi historis nama khawarih hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari golongan Ali.
            Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin besar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan mereka kemudian pindah ke Jukha dan berusaha berunding, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke Al-Madain tapi ditolak oleh gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan.[7]
            Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang terpecah di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Antara tahun 39 dan 40 H berulang kali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk menghadapinya. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Murdi. Yang anggota k[8]eluarganya terbunuh di Nahrawan. Setelah Ali wafat, Mu’awiyah menjabat kedudukan Amirul Mu’minin selama pemerintahannya 20 tahun tidak mampu  membujuk apalagi menumpas Khawarij.[9]

B.     Doktrin Doktrin Aliran Kawarij
Di antara doktrin-doktrin pokok aliran khawarij adalah:
1.      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam,
2.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,
3.      Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah  asal sudah memenuhi syarat,
4.      Khalifah dipilih secara permanen selama bersangkutan bersikap adil dna menjalankan syarat islam. Ia dijatuhkan bahakan dibunuh jika melakukan kezaliman,
5.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa ke kekhilafahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng,
6.      Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah menjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng,
7.      Mu'awiyah dan Amr bin As-Ash serta Abu Musa Al-Asy'ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,
8.      Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir,
9.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya  harus dibunuh. Mereka menggap bahwa seorang muslim tidak lagi muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir, dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,
10.  Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al hab (negara musuh), sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam dar al islam (negara islam).
11.  Seseorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng,
12.  Adanya wa'ad dan wa'id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yabg jahat harus masuk ke dalam neraka),
13.  Amar makruf nahi mungkar,
14.  Memanglingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasyabihat (samar),
15.  Al-Quran adalah makhluk,
16.  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan,
17.  Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus,
18.  Tidak boleh taqiyyah (menyembunyikan pendirian),
19.  Dosa besar dan kecil bisa saja dilakukan oleh Nabi.[10]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu politik, teologi, dan sosial. Melihat pengertian politik secara praktis yaitu kemahiran bernegara, atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi, dan hasrat manusia ingin memperoleh kekuasaan. Politik merupakan doktrin sentral khawarij, timbulnya doktrin ini merupakan reaksi terhadap keberadaan Mu'awiyah yang sescara teoretis tidak pantasan memimpin negara karena ia seorang tulaqa'. Kebencian khawarij terhadap Mu'awiyah ditambah  dengan kenyataan bahwa keislamannya belum lama.
       Kelompok khawarij menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuh adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahkannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pula doktrin teologi tentang dosa besar yakni seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak lagi muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir, dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula. Akibatnya doktrinnya menentang pemerintah, khawarij harus menanggung akibatnya.                                                                                                                                                
      Doktrin teologi khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung doktrin sentralnya, yaitu doktrin politik. Radikalisasi itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya yang radikal. Hal lain yang menyebabkan radikalitas itu adalah asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan pengembara padang pasir tandus. Hal itu telah membentuk watak dan tata pikirnya menjadi keras, berani, tidak tergantung kepada orang lain, bebas dan tidak gentar hati.
       Adapun Selanjutnya yaitu doktrin teologis-sosial, doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij. Sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin-doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu'tazilah, meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij masih patut mendalam. Sebab, dapat diasumsikan bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama, sebagaimana dilakukan  kelompok khawarij, cenderung berwatak tekstualis, sehingga menjadi fundamentalis. Seperti halnya seseorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng dan manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Keberadaan mereka yang sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadi mereka bersikap ekstrem. Hal ini sama sekali bukan cerminan dari agama Islam yang kita kenal. Sudah sepatutnya kita menghindari aliran-aliran Islam yang bertentangan dengan akidah Islam tersebut.
C.     Perkembangan Aliran Khawarij
1.      Pemikiran dan Gaya Penafsiran Khawarij terhadap Alquran
Perkembangan pemikiran sekte khawarij setelah menyatakan keluar dari golongan Ali dan melahirkan berbagai doktrin-doktrin yang sudah dijelaskan di atas, berikutnya adalah masalah kedaulatan Tuhan. Artinya, kewenangan bersumber dari Tuhan, Dengan kata lain, berbagai otoritas yang berada dalam genggaman manusia pada prinsipnya adalah melaksanakan otoritas Tuhan. Jadi bukan berarti mereka melenceng terutama dalam hal mempertahankan eksistensi Syari’at, inilah paham aliran khawarij yang kita anggap keliru.
Dalam aspek penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran khawarij tidak memiliki kedalaman ilmu tentang takwil dan mereka juga tidak mau peduli dengan apa yang menjadi maksud sebenarnya dari ayat-ayat yang bersangkutan. Selain itu mereka tidak membebani diri dengan berusaha mencari tahu apa sebenarnya arti atau penafsiran ayat-ayat Alquran, begitu juga berbagai rahasia-rahasia yang tersimpan dibaliknya. Mereka hanya berhenti pada sebatas lafazh saja. Inilah alasan kenapa khawarij memalingkan terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat (samar).
Khawarij memiliki pandangan yang dangkal pada ayat-ayat Alquran.[11] Di kalangan khwarij sendiri, terdapat banyak mazhab-mazhab yang mempunyai pemikiran atau pendapat yang berbeda satu dan lainnya. Walaupun mereka berkata bahwa mereka tetap menisbahkan dan mengakui adanya Alquran. Jadi hal yang perlu kita koreksi di sini adalah mengenai cara penisbahan kepada Alquran, khawarij akan menjadikan ayat Alquran sebagai pijakan atas pendapat mereka, jika ayat-ayat tersebut mendukung pendapat mereka. Sebaliknya, jika persoalan ayat tersebut tidak sependapat dengan pendapat atau pendirian mereka, mereka berupaya sekuat tenaga untuk lepas dan mulai memalingkan ayat Alquran sehingga tidak bertentangan dengan pendapat mereka.




2.      Golongan-Golongan Khawarij
Golongan khawarij tetap dalam satu kesatuan sampai mereka meninggalkan Abdullah ibn Zubair. Sebagian pergi ke Bashrah, yang sebagian lagi pergi ke Al-Yamamah.[12] Golongan khawarij yang berada di Bashrah dipimpin oleh Nafi’ ibn Al-Azraq al-Hanafi merupakan golongan yang paling kuat dan paling banyak jumlahnya. Mereka memungut pajak dan mengadakan perdebatan-perdebatan dengan masyarakat. Kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Nafi’ dengan Najdah ibn Amr dan Abdullah ibn Abi Ibad at-Tamimi. Akhirnya Najdah dan Abdullah memisahkan diri dari golongan khawarij. Dari sinilah perpecahan golongan khawarij bermula.
Di antara partai-partai atau mazhab yang dianut oleh golongan khawarij yaitu:
1.      Azraqiah
Yaitu pengikut-pengikut Nafi’ ibn Al-Azraq, mereka adalah golongan terkuat dan banyak jumlahnya. Mereka dapat menguasi Ahwaz dan derah-daerah sekitarnya.[13] Mazhab ini memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:
a.       Mereka mengkafirkan selain dari kelompok mereka,
b.      Haram mengkonsumsi selain sembelihan dari kelompok mereka,
c.       Haram menikahi yang bukan dari kelompok mereka,
d.      Tidak boleh mendapat warisan selain dari kelompok mereka,
e.       Bermuamalah dengan selain kelompok mereka sama dengan bermualah antara orang kafir dan orang musrik.
Yang menjadi titik tekan pada partai Azraqiah adalah terkait perbedaan yang begitu besar antara anggota kelompok dan yang bukan anggota mereka.


2.      Al-Najdad
Merupakan pengikut Najdah bin Amir, golongan ini berpendapat bahwa berdusta lebih jahat dari pada berzina, tetapi mengerjakan dosa kecil merupakan syirik, mengerjakan dosa besar tidak terus-menerus tidaklah merupakan syirik dan bahwa darah ahlul ahdi wadzdzimmah di dalam darut taqqiyah, halal ditumpahkan.[14]
Di antara prinsip-prinsip mereka adalah tidak ada keperluan manusia kepada Imam selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka perlu diangkat dan jika tidak diperlukan maka tidak boleh diangkat.[15] Dalam hal ini jelas bahwa partai Al-Najdad tidak memperdulikan terkait pemimpin mereka, pemimpin akan dipilih jika memang diperlukan dan begitu pula sebaliknya.
Selain itu, dalam partai Al-Najdad juga memperbolehkan anggotanya untuk saling menikah, saling mewarisi, boleh makan sembelihan mereka, boleh diterima kesaksian mereka, tidak boleh menghianati amanah mereka, boleh memelihara diri dengan jalan menyembunyikan hal-hal yang tak dapat dilakukan secara terang-ternagan.[16] Hal ini merupakan kebalikan dari partai Azraqiah.
3.      Al-Safariyyah
Golongan ini merupakan pengikut dari Abdullah ibn Saffar. Mereka dinamakan demikian karena wajah mereka pucat lantaran banyak beribadah malam dan mereka menyalahi golongan-golongan yang telah lalu dalam beberapa urusan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang mengerjakan dosa besar yang tidak dikenakan hukum had seperti tidak mengerjakan sholat, dipandang kafir. Orang yang mengerjakan dosa besar yang ada hukuman had seperti zina, mencuri tidak boleh dikatakan kafir, tetapi hanya dikatakan pezina, pencuri, dan sebagainya. Golongan ini sependapat dengan golongan Azraqiah.
b.      Orang yang tidak turut bertempur bersama mereka tidak dikafirkan asal sependirian dalam bidang akidah.[17]
4.      Al-Ibadhiah
Merupakan pengikut Abdullah bin Ibad, kelompok ini adalah golanhgan khawarij yang paling sederhana atau moderat ajarannya. [18] Prinsip-prinsip mazhab atau golongan Ibadhiah adalah orang yang mengerjakan dosa besar tetap dipandang orang yang meng-Esa-kan Allah, tetapi tidak dinamakan mukmin lantaran tidak menyempurnakan makna iman dan tidak dinamakan musyrik karena pada mereka ada dasar tauhid.[19]
Itulah keempat golongan khawarij yang terkenal di antara golongan-golongan yang lain. Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut dikategorikan sebagai aliran khawarij selama terdapat indikasi doktrin yang identic dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini Harun, seorang ahli Ilmu Kalam mengidentifikasikan beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij masa kini, di antaranya yaitu:
1.      Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walupun orang tersebut adalah penganut Agama Islam.
2.      Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana dipahami dan diamalkan oleh golongan lain tidaklah benar.
3.      Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
4.      Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, mereka memilih imam dan golongannya, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
5.      Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuannya.[20]

D.    Ibrah Kisah Aliran Khawarij
            Dari sejarah Khawarij itu kita bisa dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat sempit.
            Dari penjelasan di atas, mulai dari latar belakang munculnya aliran khawarij, berbagai doktrin dari aliran khawarij, dan perkembangan aliran khwarij itu sendiri, maka kita dapat mengambil ibrah atau nilai yang dapat kita petik sehingga kita tidak kehilangan arah nantinya. Di antara ibrah yang dapat kita ambil, adalah sebagai berikut:
1.      Selama tidak melanggar akidah, umat Islam bisa saja menggunakan cara atau sistem yang berlaku setempat untuk membela atau mempertahankan akidah Islam.
2.      Dakwah yang dilakukan oleh da’i harus dilakukan tepat pada tempat dan waktu atau situasi diperlukan untuk menjawab setiap permasalahan umat Islam.
3.      Kaum muslimin wajib mempersiapkan kader, juru dakwah, diplomat yang mampu memaparkan masalah dengan baik, serta dapat menangkis ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP

              Dari penjelasan materi yang sudah dituliskan, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Latar belakang munculnya aliran khawarij adalah karena adanya ketidak puasan golongan pendukung Ali, terkait peristiwa tahkim sehingga mereka memilih keluar dari golongan tersebut. Golongan inilah yang nantinya menjadi golongan khawarij.
2.      Terdapat berbagai doktrin-doktrin yang diterapkan oleh golongan khawarij yang kebanyakan mengacu pada anggota golongan khawarij serta berbagai doktrin lain yang terkesan menyeleweng dari ajaran Alquran.
3.      Golongan khawarij memiliki berbagai aliran atau mazhab, di antaranya ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu Azraqiah, Al-Najdad, Al-Saffariyyah, dan Al-Ibadhiah.
4.      Ibrah yang dapat kita ambil dari kisah khawarij antara lain:
a.       Selama tidak melanggar akidah, umat Islam bisa saja menggunakan cara atau sistem yang berlaku setempat untuk membela atau mempertahankan akidah Islam.
b.      Dakwah yang dilakukan oleh da’i harus dilakukan tepat pada tempat dan waktu atau situasi diperlukan untuk menjawab setiap permasalahan umat Islam.
c.       Kaum muslimin wajib mempersiapkan kader, juru dakwah, diplomat yang mampu memaparkan masalah dengan baik, serta dapat menangkis ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan ajaran Islam


DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Abdul Rozak. 2015. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung: Pustaka
              Setia.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad. 2010. Sejarah & Pengantar Ilmu
              Tauhid/ Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Saputra.
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Ilmu Kalam. Bumiayu: Teras.
Ubaidillah. 2017. Ilmu Kalam. Purwokerto: Tanpa Penerbit.
Abrahamov, Binyamin. 1998. Ilmu Kalam Tradisionalisme dan Rasionalisme
              dalam Teologi Islam. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta.


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 63-64.
[2] Ubaidillah, Ilmu Kalam, (Purwokerto: Tanpa Penerbit, 2017), hlm. 79-81
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 64.
[4] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 128.
[5] Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hlm. 33.
[6] Ubaidillah, Ilmu Kalam, (Purwokerto: Tanpa Penerbit, 2017), hlm. 82-83
[7] Ubaidillah, Ilmu Kalam, (Purwokerto: Tanpa Penerbit, 2017), hlm. 83-89.
[8] Ubaidillah, Ilmu Kalam, (Purwokerto: Tanpa Penerbit, 2017), hlm. 89
[9] Abdul Rozak dan Rohison Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 65-66
[10] Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hlm. 42-43.
[11] Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hlm. 44.
[12] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 133.
[13] Ibid, hlm. 133-134.
[14] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 136.
[15] Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hlm. 46.
[16] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam, …., hlm. 135-136.
[17] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 139.
[18] Novan Ardy Wiyani, Ilmu Kalam, (Bumiayu: Teras, 2013), hlm. 47.
[19] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam, …., hlm. 138.
[20] Abdul Rozak dan Rohison Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 70.