PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maf’ul Min Ajlih
ويسم امفعول لاءجله ولمفعول له وهو الاءسم المنصوب الذي يذكر بيا نا
لسبب وقوع افعل نحو قام زيد اجلا لا لعمر, وقصد تك ابتغاء معروفك.
Maf’ul min ajlih dikenal juga dengan nama maf’ul li ajlih dan maf’ul-lah.
Maf’ul min ajlih adalah sebuah isim manshub yang dinyatakan sebagai
penjelasan bagi penyebab terjadinya fi’il (perbuatan).[1]
Maf’ul li ajlih merupakan kata yang dituturkan pada akhir
kluasa yang fungsinya menjelaskan alasan, sebab, atau tujuan dari aktivitas
yang dilakukan oleh subjek. [2]
Maf’ul min ajlih ialah isim manshub yang
dinyatakan sebagai penghormatan bagi ‘amr. Isim manshub adalah
nomina berkasus akusatif yang ditandai dengan desinens berupa sufiks bunyi /a/,
bunyi /i/, konsonan gema, semivokal (ي),
tanggalnya konsonan akhirnya (ن).[3]
Lafazh آجلأ لأ menjelaskan penyebab zaid berdiri; dan قصد تك ابتخا ء معر و فك (aku bermaksud menemuimu
karena mencari kebaikanmu).
Kata nazhim: والمصدرانصب ان اتي بيا نا لعلة لفعل الذي قد
كا نى nashabkan
lah mashdar bila dinyatakan sebagai penjelasan bagi penyebab (terjadinya) fi’il
(perbuatan) yang telah ada.[4]
Maf’ul ini didefinisikan oleh para pakar nahwu dengan sebuah isim
yang diungkapkan untuk menjelaskan sebab terjadinnya sebuah pekerjaan.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa maf’ul
min ajlih adalah sebuah isim yang digunakan sebagai keterangan atau
penjelas kepada fi’il atau perbuatan yang sedang dilakukan.
Contoh: قام زيد اجلا لا لعمرو = Zaid telah berdiri sebagai
penghormatan bagi ‘Amr.
قصد تك ابتغاء معروفك = Aku bermaksud menemui karena
mencari kebaikanmu.
ويشترط كونه مصدرا واتحادفاعلهما كما تقدم في امثا لين وكقوله تعا لى ولا
تقتلوا اولادكم خشية املق وكقوله تعا لى ينفقون اموالهم ابتغاءمرضات الله.
Disyaratkan maf’ul
min ajlih itu bersifat mashdar dan kebersamaannya dengan ‘amil
dalam hal waktu dan fa’il-nya, sebagaimana yang telah dikemukakan pada
dua contoh di atas tadi.[6]
Contoh lain
dari maf’ul min ajlih yang wajib di-jer-kan dengan lam (min,
fii, atau ba yang mengandung makna ta’lil). Dapat dikatakan:
تا هبت للسفر
= Aku telah mempersiapkan diri untuk
bepergian.
Dapat
dikatakan juga:
جاءتك لمحبتك ا يا ي
= Aku telah datang kepadamu demi cintamu
kepadaku.
B.
Syarat Nashobnya Maf’ul Min Ajlih
Ketahuilah bahwa tidak semua isim
yang diungkapkan sebagai alasan dari sebuah pekerjaan itu dinamakan maf’ul
min ajlih. Namun supaya isim tersebut bias disebut sebagai maf’ul min ajlih
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Kalimat isim yang ingin dijadikan sebagai maf’ul min
ajlih harus berupa mashdar. Oleh karena itu untuk lafadz- lafadz yang tidak berupa mashdar
walaupun lafadz tersebut disebutkan guna menjelaskan alasan dari sebuah
pekerjaan maka tetap tidak bisa dijadikan sebagai maf’ul min ajlih.
2.
Mashdar tersebut harus
berupa mashdar qolbi. Masdar
qolbi adalah kalimat isim berbentuk masdar bagi kalimat fi’il dari
jenisnya af’alul qulub. Maksud dari af’alul qulub sendiri adalah fi’il
yang sumber fi’il atau pekerjaan itu muncul dari indra batin atau
(hati), seperti rasa sayang atau suka, marah, takut, malu, dan lain sebagainya.
Namun mashdar adakalanya
tidak harus berupa mashdar qolbi.
Mashdar qolbi itu harus sama
dengan amilnya dalam faa’il dan waktunya, artinya zaman dan fa’il-nya fi’il dan mashdar
harus sama, sehingga jika zaman dan fa’il-nya berbeda, maka tidak
diperbolehkan dibaca nashob.[7]
3.
Pekerjaan yang dialasi oleh mashdar ini haruslah
satu waktu dan satu pelakunya. Maksudnya adalah penggunaan mashdar ini
jika subjek tunggal dan waktu terjadinya kejadian adalah hanya terjadi dalam
satu waktu kejadian.
C.
Hukum Maf’ul Min Ajlih
Kalimat isim
yang menjadi maf’ul min ajlih bisa terbaca nashob jika telah
memenuhi persyaratan dengan bentuk yang shorih,
akan tetapi jika kalimat isim tersebut disebutkan karena untuk mengalasi
suatu hal namun tidak memenuhi persyaratan maka tidak dibaca nashob melainkan
dibaca jer dengan memakai huruf jer yang berfaedah ta’lil,
dan kalimat isim ini secara mahalnya dibaca nashob menjadi maf’ul min
ajlih yang tidak shorih. Shorih adalah lafazh yang tidak
memerlukan penjelasan.
Akan tetapi
jika kalimat isim maf’ul min ajlih disebutkan karena untuk mengalasi
suatu hal namun tidak memenuhi persyaratan maka tidak dibaca nashob melainkan
dibaca jer dengan memakai huruf jer yang berfaidah ta’lil,
dan kalimat isim ini secara mahalnya dibaca nashob menjadi maf’ul
min ajlih yang tidak shorih.
Contoh: يجعلون اصا بعهم من اصوا عق حذر الموت , lafadz (من اصوا عق)
dalam contoh ini terbaca nashob dari sisi mahalnya karena menjadi maf’ul
min ajlih yang tidah shorih, dari sisi lafdziyahnya dibaca jer dengan
memakai huruf jer mim.[8]
Maf’ul min ajlih boleh berada mendahului amil-nya, baik
terbaca nashob atau jer dengan memakai huruf jer, contoh:
للتجا رة سافر ت dan رغبت في
العلم ا تيت
Tidak wajib
membaca nashob pada mashdar yang telah memenuhi syarat untuk
membaca nashob, namun boleh membaca nashob atau jer, hal
ini terdapat 3 perincian:
1.
Ketika mashdar tersebut
sepi dari al dan peng-idhofah-an. Dalam hal ini yang paling
banyak berlaku adalah dengan membaca nashob mashdar tersebut menjadi maf’ul
min ajlih, sedangkan membaca jer dalam hal ini sedikit sekali
penggunaanya.
Contoh:
و قف الناس احتراما للعا لم
Ketika mashdar
bersamaan dengan al, maka yang paling banyak dalam penggunaanya
adalah dengan membaca jer dengan memakai huruf jer. Untuk nashob
sedikit dalam penggunaannya.
Contoh:
سافرت للر غبت في
العلم
2.
Ketika mashdar bersamaan
dengan al, maka yang paling banyak dalam penggunaannya adalah dengan
membaca jer dengan menggunakan huruf jer.
Contoh: سا فر ت للر غب ة العلم . Untuk nashob sedikit
dalam penggunaannya.
3.
Ketika masdar di-idhofah-kan
maka untuk nashob dan jer-nya sama dalam sisi penggunannya.[9]
Idhofah secara bahasa الأسناد atau 'bersandar', ini karena idhofh terjadi atas dua lafazh di
mana lafazh yang satu disandarkan pada lafazh yang lainnya.
Sedangkan idhofah secara ilmu nahwu
ialah sebagi berikut:
نسبة تقيد بية بين شيءين تو جب لثا نيهما جرا
ابدا
Artinya:
Nisbah taqyidiyyah (pertalian) antara dua perkara (dua isim)
yang menyebabkan isim keduanya yang berharakat jer.
(Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2015), hlm 254.
Algensindo, 2013), hlm 155.
(Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2015), hlm 254-255.
330
Tidak ada komentar:
Posting Komentar