Minggu, 25 November 2018

Makalah Bahasa Arab - Maf'ul Min Ajlih


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Maf’ul Min Ajlih
ويسم امفعول لاءجله ولمفعول له وهو الاءسم المنصوب الذي يذكر بيا نا لسبب وقوع افعل نحو قام زيد اجلا لا لعمر, وقصد تك ابتغاء معروفك.
Maf’ul min ajlih dikenal juga dengan nama maf’ul li ajlih dan maf’ul-lah. Maf’ul min ajlih adalah sebuah isim manshub yang dinyatakan sebagai penjelasan bagi penyebab terjadinya fi’il (perbuatan).[1]
Maf’ul li ajlih merupakan kata yang dituturkan pada akhir kluasa yang fungsinya menjelaskan alasan, sebab, atau tujuan dari aktivitas yang dilakukan oleh subjek. [2]
Maf’ul min ajlih ialah isim manshub yang dinyatakan sebagai penghormatan bagi ‘amr. Isim manshub adalah nomina berkasus akusatif yang ditandai dengan desinens berupa sufiks bunyi /a/, bunyi /i/, konsonan gema, semivokal (ي), tanggalnya konsonan akhirnya (ن).[3]
Lafazh آجلأ لأ  menjelaskan penyebab zaid berdiri; dan قصد تك ابتخا ء معر و فك (aku bermaksud menemuimu karena mencari kebaikanmu).
Kata nazhim: والمصدرانصب ان اتي بيا نا لعلة لفعل الذي قد كا نى nashabkan lah mashdar bila dinyatakan sebagai penjelasan bagi penyebab (terjadinya) fi’il (perbuatan) yang telah ada.[4]
Maf’ul ini didefinisikan oleh para pakar nahwu dengan sebuah isim yang diungkapkan untuk menjelaskan sebab terjadinnya sebuah pekerjaan.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa maf’ul min ajlih adalah sebuah isim yang digunakan sebagai keterangan atau penjelas kepada fi’il atau perbuatan yang sedang dilakukan.
Contoh: قام زيد اجلا لا لعمرو       =   Zaid telah berdiri sebagai
   penghormatan bagi ‘Amr.
قصد تك ابتغاء معروفك     =  Aku bermaksud menemui karena
   mencari kebaikanmu.

ويشترط كونه مصدرا واتحادفاعلهما كما تقدم في امثا لين وكقوله تعا لى ولا تقتلوا اولادكم خشية املق وكقوله تعا لى ينفقون اموالهم ابتغاءمرضات الله.

Disyaratkan maf’ul min ajlih itu bersifat mashdar dan kebersamaannya dengan ‘amil dalam hal waktu dan fa’il-nya, sebagaimana yang telah dikemukakan pada dua contoh di atas tadi.[6]
Contoh lain dari maf’ul min ajlih yang wajib di-jer-kan dengan lam (min, fii, atau ba yang mengandung makna ta’lil). Dapat dikatakan:
تا هبت للسفر = Aku telah mempersiapkan diri untuk
   bepergian.

                        Dapat dikatakan juga:
                        جاءتك لمحبتك ا يا ي = Aku telah datang kepadamu demi cintamu
    kepadaku.

B.     Syarat Nashobnya Maf’ul Min Ajlih
Ketahuilah bahwa tidak semua isim yang diungkapkan sebagai alasan dari sebuah pekerjaan itu dinamakan maf’ul min ajlih. Namun supaya isim tersebut bias disebut sebagai maf’ul min ajlih harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Kalimat isim yang ingin dijadikan sebagai maf’ul min ajlih harus berupa mashdar. Oleh karena itu untuk lafadz- lafadz yang tidak berupa mashdar walaupun lafadz tersebut disebutkan guna menjelaskan alasan dari sebuah pekerjaan maka tetap tidak bisa dijadikan sebagai maf’ul min ajlih.
2.      Mashdar tersebut harus berupa mashdar qolbi. Masdar qolbi adalah kalimat isim berbentuk masdar bagi kalimat fi’il dari jenisnya af’alul qulub. Maksud dari af’alul qulub sendiri adalah fi’il yang sumber fi’il atau pekerjaan itu muncul dari indra batin atau (hati), seperti rasa sayang atau suka, marah, takut, malu, dan lain sebagainya. Namun mashdar adakalanya tidak harus berupa mashdar qolbi.
Mashdar qolbi itu harus sama dengan amilnya dalam faa’il dan waktunya, artinya  zaman dan fa’il-nya fi’il dan mashdar harus sama, sehingga jika zaman dan fa’il-nya berbeda, maka tidak diperbolehkan dibaca nashob.[7]


3.      Pekerjaan yang dialasi oleh mashdar ini haruslah satu waktu dan satu pelakunya. Maksudnya adalah penggunaan mashdar ini jika subjek tunggal dan waktu terjadinya kejadian adalah hanya terjadi dalam satu waktu kejadian.

C.     Hukum Maf’ul Min Ajlih
Kalimat isim yang menjadi maf’ul min ajlih bisa terbaca nashob jika telah memenuhi persyaratan dengan  bentuk yang shorih, akan tetapi jika kalimat isim tersebut disebutkan karena untuk mengalasi suatu hal namun tidak memenuhi persyaratan maka tidak dibaca nashob melainkan dibaca jer dengan memakai huruf jer yang berfaedah ta’lil, dan kalimat isim ini secara mahalnya dibaca nashob menjadi maf’ul min ajlih yang tidak shorih. Shorih adalah lafazh yang tidak memerlukan penjelasan.
Akan tetapi jika kalimat isim maf’ul min ajlih disebutkan karena untuk mengalasi suatu hal namun tidak memenuhi persyaratan maka tidak dibaca nashob melainkan dibaca jer dengan memakai huruf jer yang berfaidah ta’lil, dan kalimat isim ini secara mahalnya dibaca nashob menjadi maf’ul min ajlih yang tidak shorih.
Contoh: يجعلون اصا بعهم من اصوا عق حذر الموت , lafadz (من اصوا عق) dalam contoh ini terbaca nashob dari sisi mahalnya karena menjadi maf’ul min ajlih yang tidah shorih, dari sisi lafdziyahnya dibaca jer dengan memakai huruf jer mim.[8]
Maf’ul min ajlih boleh berada mendahului amil-nya, baik terbaca nashob atau jer dengan memakai huruf jer, contoh:
للتجا رة سافر ت dan رغبت في العلم ا تيت  
Tidak wajib membaca nashob pada mashdar yang telah memenuhi syarat untuk membaca nashob, namun boleh membaca nashob atau jer, hal ini terdapat 3 perincian:
1.      Ketika mashdar tersebut sepi dari al dan peng-idhofah-an. Dalam hal ini yang paling banyak berlaku adalah dengan membaca nashob mashdar tersebut menjadi maf’ul min ajlih, sedangkan membaca jer dalam hal ini sedikit sekali penggunaanya.

Contoh:
و قف الناس احتراما للعا لم
Ketika mashdar bersamaan dengan al, maka yang paling banyak dalam penggunaanya adalah dengan membaca jer dengan memakai huruf jer. Untuk nashob sedikit dalam penggunaannya.
Contoh:
سافرت للر غبت في العلم
2.      Ketika mashdar bersamaan dengan al, maka yang paling banyak dalam penggunaannya adalah dengan membaca jer dengan menggunakan huruf jer.
Contoh: سا فر ت للر غب ة العلم . Untuk nashob sedikit dalam penggunaannya.
3.      Ketika masdar di-idhofah-kan maka untuk nashob dan jer-nya sama dalam sisi penggunannya.[9]
Idhofah secara bahasa الأسناد atau 'bersandar', ini karena idhofh terjadi atas dua lafazh di mana lafazh yang satu disandarkan pada lafazh yang lainnya.


Sedangkan idhofah secara ilmu nahwu ialah sebagi berikut:
نسبة تقيد بية بين شيءين تو جب لثا نيهما جرا ابدا
Artinya:
Nisbah taqyidiyyah (pertalian) antara dua perkara (dua isim) yang menyebabkan isim keduanya yang berharakat jer.


[1] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu Terjemahan Mutammimah Ajurumiyah,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), hlm 254.
[2] Nurul Huda, Mudah Belajar Bahasa Arab, (Jakarta: Amzah, 2011) hlm 175.
[3] Siti Rosita, Journal of Arabic Learning and Teaching, Lisanul Arab 3 (5), Juni 2014, hlm 33.
[4] Moch.Anwar, Ilmu Nahwu Terjemahan Matan al Jurumiyah dan Imrithy, (Bandung: Sinar baru
Algensindo, 2013), hlm 155.
[5] M. Fathu Lillah, Jurumiyah Kajian & Tanya Jawab, (Kediri: Santri Salaf Press, 2016), hlm 327.
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu Terjemahan Mutammimah Ajurumiyah,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), hlm 254-255.
[7] M. Fathu Lillah, Jurumiyah Kajian & Tanya Jawab, (Kediri: Santri Salaf Press, 2016), hlm 329.
[8] M. Fathu Lillah, Jurumiyah Kajian & Tanya Jawab, (Kediri: Santri Salaf Press 2016), hlm 327
330
[9] M. Fathu Lillah, Jurumiyah Kajian & Tanya Jawab, (Kediri: Santri Salaf Press 2016), hlm 330.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar