Senin, 26 November 2018

MAKALAH USHUL FIQH - 'URF


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim dan muslimat karena berisi tentang bagaimana hukum-hukum Islam. Banyak sekali pembahasan mengenai sumber hukum Islam selain yang termaktub dalam al-Qur’an dan hadits. Yakni tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, dan ‘urf.
Setiap sumber hukum Islam tersebut memiliki tingkat kehujjahan dan syarat serta kaidah yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak mudah dipahami. Oleh karena itu sangat penting dibutuhkan sebuah pengantar dari ilmu tersebut supaya dapat mengarahkan pemahaman masyarakat menuju Ilmu Ushul Fiqh yang sesungguhnya.
Maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai bagaimana kehujjahan ‘urf sebagai salah satu sumber hukum Islam, yang mana bersumber dari tradisi atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Yang kemudian dilestarikan oleh Islam jika membawa pada kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syara’.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi ‘urf?
2.      Apa saja macam-macam ‘urf?
3.      Bagaimana kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’?
4.      Apa saja syarat-syarat pemakaian ‘urf sebagai sumber hukum?


PEMBAHASAN

A.    Definisi ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti sesuatu yang dikenal. Sedangkan secara terminologi, ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan, atau tidak melakukan sesuatu.[1] Dengan kata lain ‘urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan.
Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut sebagai adat.[2] Selain itu, menurut istilah para ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan. Seperti pendapat sebagian ushuliyyin, yakni al-Nasafi, dari kalangan Hanfi, Ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarkh kitab al-Mannar dan Ibnu Nujaim dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir berperndapat bahwa ‘urf sama dengan adat.
Contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shighat lafzhiyyah (ungkapan melalui perkataan). Sedangkan ‘urf yang bersifat pemutlakan lafazh al walad” terhadap anak laki-laki, bukan anak perempuan, dan saling pengertian mereka untuk tidak memutlakkan lafazh “al-lahm” (daging) terhadap ikan.
Namun, pendapat sebaliknya bagi sebagian ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi, keduanya membedakan antara adat dan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menerapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedang ‘urf ialah kebiasaan mayaoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini pengertian adat lebih luas dari pada ‘urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘urf, tetapi tidak sebaliknya.[3]
‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekali pun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat dan kelompok elite mereka. Ini berbeda dengan ijma’, karena sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.[4]

B.     Macam-Macam ‘Urf
Dilihat daris segi objeknya, ‘urf dibagi menjadi dua. Yaitu ‘urf lafzhi dan ‘urf amali.
1.      ‘Urf Lafzhi
Ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas di pikiran masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat Arab menggunakan kata walad untuk anak laki-laki, padahal menurut makna aslinya kata itu berarti anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan kata lahm untuk daging binatang darat, padahal al-Qur’an menggunkan kata itu untuk semua jenis daging termasuk daging ikan, penggunaan kata dabbah untuk binatang berkaki empat, padahal kata ini menurut aslinya mencakup semua binatang melata.
2.      ‘Urf Amali
Ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa adanya akad, kebiasaan sewa kamar mandi tanpa dibatasi jumlah air yang digunakan, kebiasaan sewa perabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu untuk dimakan, mengunjungi tempat-tempat rekreasi pada hari libur, kebiasaan masyarakat membeli kado pada acara ulang tahun, dan lain-lain.
Dilihat dari segi cakupannya ‘urf dibagi menjadi dua, yaitu ‘urf amm dan ‘urf khash.
1.      ‘Urf Amm
Ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Contoh dalam bentuk perbuatan misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa adanya akad tersendiri atau biaya tambahan. Sedangkan contoh dalam ucapan adalah misalnya pemakaian/ pemaknaan kata thalaq untuk lepasnya ikatan perkawinan dan lain-lain.
2.      ‘Urf Khas
Ialah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan masyarakat Jawa merayakan lebaran ketupat, sekatenan, atau kebiasaan masyarakat Bengkulu merayakan tabot pada bulan Muharram. Demikian juga kebiasaan yang berlaku pada bidang pekerjaan atau profesi tertentu, seperti kebiasaan di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dilakukannya harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya dan kebiasaan mencicip buah tertentu bagi calon pembeli untuk mengetahui rasanya.[5]
Dari segi di terima atau di tolaknya urf di bagi menjadi dua yaitu Urf sahih dan ‘Urf Fasid.
1.      ‘Urf sahih, ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan masalah mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih adalah urf yang baik dan dapat di terima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan masyarakat bersalaman dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.
2.      ‘Urf Fasid, yaitu urf yang tidak baik dan tidak dapat di terima  karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian. Atau seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.[6]

C.     Kehujjahan ‘Urf  sebagai Hukum Syara’
Para ulama memandang ‘urf sebagai salah satu dalil untuk menginstinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama, misalnya: adat istiadat itu dapat dijadikan hukum, sesuatu yang telah dikenal kebaikannya oleh ‘urf itu seperti sesuatu yang disyaratkan, sesuatu yang ditetapkan dengan ‘urf itu seperti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’ dan lain-lain.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut ini:
1.      Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199 Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh.
Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
2.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud yang artinya: Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.[7]
Ungkapan Abdullah bin Masud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Di samping dalil-dalil di atas para ulama menggunakan ‘urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argumen kehujjahan ‘urf:
1.      Kita mendapati Allah meresapi urf-urf orang Arab yang dipandang baik. Seperti diakuinya beberapa sistem perdagangan dan perserikatan, baik berupa jual beli, mudharabah, ijarah dan lain-lain. Beberapa jenis transaksi tersebut menunjukkan bahwa Allah melestarikan ‘urf sahih yang sesuai dengan kemaslahatan manusia. Sementara di sisi lain Allah juga menolak dan membatalkan beberapa ‘urf yang dipandang bertentangan dengan syara’, seperti pembatalan pengangkatan anak, dan pembatalan kebiasaan orang Arab yang tidak memberikan hak waris kepada perempuan.
2.      ‘Urf pada dasarnya disandarkan kepada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah,  seperti Ijma’, Maslahah Mursalah dan Sad al-zharai’. Di antara ‘urf yang disandarkan pada Ijma’ misalnya akad Istishna’. Kebolehan Istishna’ telah menjadi Ijma’ ulama dan Ijma’ ulama adalah dalil yang mu’tabar.
3.      Para ulama dari masa ke masa telah menggunakan Ijma' sebagai dalil atau hujjah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama mengakuinya sebagai dalil.[9]

D.    Syarat-Syarat Pemakaian ‘Urf Sebagai Sumber Hukum
Urf dapat dijadikan sumber penemuan hukum Islam harus memenuhi persyaratan-persyararan tertentu. Apabila dilihat dari nas-nas yang dijadikan sandaran bolehnya menggunakan ‘urf sebagai metode penemuan hukum Islam, maka dapat dinyatakan bahwa ‘urf tersebut harus merupakan ‘urf yang mengandung kemaslahatan dan ‘urf yang dipandang baik. Untuk itu, para ahli metodologi hukum Islam (ahli ushul) mensyaratkan beberapa syarat sebagai berikut:
1.      'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau ucapan) berlaku secara umum, artinya 'Urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
2.      Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku. Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku untuk semua peristiwa tanpa kecualinya, sedang yang dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku dalam kebanyakan peristiwa.[10]
3.      'Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya. 'Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
4.      'Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, maka ‘Urf itu tidak berlaku lagi.  Atau dengan kata lain tidak terdapat persyaratan yang mengakibatkan Urf atau adat kebiasaan itu tidak dapat diterapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Karena ‘Urf itu secara implisit berkedudukan sebagai syarat.
5.      'Urf itu tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara. Jadi ‘Urf dapat dijadikan sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara khusus melarang melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Contohnya, kebiasaan masyarakat dalam menyelenggarakan pesta atau hajatan yang disertai mabuk-mabukan untuk lebih memeriahkan suasana.[11]


KESIMPULAN

A.    Definisi ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti sesuatu yang dikenal. Sedangkan secara terminologi, ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan, atau tidak melakukan sesuatu.[12] Dengan kata lain ‘urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan.
B.     Macam-Macam ‘Urf
1.      Dilihat daris segi objeknya, ‘urf dibagi menjadi dua. Yaitu ‘urf lafzhi dan ‘urf amali.
2.      Dilihat dari segi cakupannya ‘urf dibagi menjadi dua, yaitu ‘urf amm dan ‘urf khash.
3.      Dari segi di terima atau di tolaknya urf di bagi menjadi dua yaitu Urf sahih dan ‘Urf Fasid.
C.     Kehujjahan ‘Urf  sebagai Hukum Syara’
1.      Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199
2.      Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud
D.    Syarat-Syarat Pemakaian ‘Urf Sebagai Sumber Hukum
1.      'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau ucapan) berlaku secara umum.
2.      Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku.
3.       'Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.
4.       'Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
5.      'Urf itu tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang.
Suwarijin. 2012. Ushul Fiq., Yogyakarta: Teras,.
Syafe’I, Sucipto. 2015. “Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam”. ASAS, Vol. 7, No. 1


[1] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 148.
[2] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 128.
[3] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 149.
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), hlm. 123.
[5] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 149-150.
[6] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 151.
[7] Sucipto, “Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam”. ASAS, Vol. 7, No. 1, Januari 2015, hlm. 29.
[8] Sucipto, “Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam”,…. hlm. 29.
[9] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 153.
[10] Hanafi Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
[11] Sucipto, “Urf Sebagai Metode Dan Sumber Penemuan Hukum Islam”. ASAS, Vol. 7, No. 1, Januari 2015, hlm. 32.
[12] Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar