Minggu, 25 November 2018

MAKALAH FILSAFAT ISLAM - PEMIKIRAN FILUSUF AL-FARABI


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mempelajari Filsafat Islam tidak semudah membalikan telapak tangan, ia berkaitan erat dengan muatan teologis dan historis. Fakta bahwa pengetahuan filsafat itu berasal dari Yunani atau dari Islam tidak bisa dihindari. Begitu pula dalam pengetahuan teologis, penerimaan filsafat kerap kali berbenturan anatar keimanan sesorang dengan pemikiran liberal filsafat.
Munculnya klaim yang terjadi antara ilmuwan barat dan islam menjadi lembaran panjang sejarah filsafat. Contohnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakini diantaranya, Heraklitos, Plato, Aristoteles, dan sebagainya.  Para tokoh filsafat Yunani kuno tersebut menjadi sebab latar belakang lahirnya para filosof muslim, diantaranya adalah al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi dll.
Dalam hal ini, al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreatifitas, kebebasan berpikir dengan tingkat yang lebih tinggi. Al-Farabi menjadi salah satu tokoh ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh dalam Islam. Al-farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida Pendidikan filsafat dalam islam yang sejak itu terus dibangun denga tekun. Ia dikenal dengan sebutan guru kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Untuk itu kita sebagai umat islam perlu mengetahui bagaimana latar belakang al-Farabi selaku salah satu tokoh ilmuwan muslim.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi al-Farabi?
2.      Apa saja karya-karya al-Farabi?
3.      Bagaimana pandangan filsafat al-Farabi ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Lharkham ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wasij tahun 259 H/ 872 M, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran filsafat Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) sangat gemilang, sehingga beliau dijuluki sebagai guru kedua (al-mu’allin tsani) setelah Aristoteles. Diriwayatkan beliau telah belajar logika Baghdad dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w. 940 M), perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan perkumpulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah Kristen Nestorian sebagai tokoh logika ibn al-Sarraj. Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M. al-Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan pada tahun 339 H atau Desember 950 M.[1]
Al-Farabi berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam. Sehingga para filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau pemikiran filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar sehingga tidak dapat diketahui oleh sembarang orang, dengan demikian tidak akan membuat iman atau keyakinan seseorang menjadi kacau. Beliau juga berpandangan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa kepada kebenaran.[2]

B.     Karya-karya al-Farabi
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun tulisan sesuai esai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah  Aghr dh m Ba’da al-Th bi’ah, Al-Jam’u Baiana Ra’syai al-H kimai, karya tersebut menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.[3]
Karya lainnya antara lain Ihsha’ al-‘Ulum (klasifikasi ilmu), al-Madina al-Fadila (negara utama) dan Al-Musiqa al-Kabir (musik agung).[4] Di mana uraian tentang teori politik (al-Madina al-Fadila) al-Farabi memberikan penggambaran kota seperti badan-badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu dan memiliki fungsi yang berkaitan satu sama lain yang harus dijalankan untuk kepentingan seluruh badan.[5]

C.     Pandangan Filsafat al-Farabi
Al-Farabi lebih banyak membahas moral, politik dan psikologi. Ia menggeluti tingkah laku individu dan banyak mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Ia memfokuskan diri pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang didambakan manusia yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji melalui kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab menurut al-Farabi, kehendak merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik.
Dari aspek psikologis, al-Farabi membedakan antara iradah dan ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah (kehendak) dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa. Jadi sudah jelas bahwa menurut al-Farabi iradah adalah perbuatan yang timbul karena keinginan atau kehendak rasa, sedangkan ikhtiar didasari oleh pemikiran akan perbuatan yang akan dilakukan.
Al-Farabi telah menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika Ia berkehendak, karena Ia bebas untuk mewujudkan apa yang Ia kehendaki dan perbuat. Akan tetapi kebebasan ini tunduk kepada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai dengan kejadiannya, perhatian Allah mencakup segala hal yang berhubungan dengan tiap orang, dan setiap yang ada ini terjadi atas qodo qodar-Nya.[6]

Pokok-pokok pikiran filsafat Al-Farabi:
1.      Ketuhanan
Dalam Fushus al Hikmah, al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi).[7] Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu, yang ada sebagai yang ada dan ilahi. Dalam hal ini yang penting ialah bukan apakah yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, apakah barang atau sesuatu itu berwujud fisik atau tidak. Melainkan apakah barang atau sesuatu itu sungguh-sungguh ada. Maka jika mengikuti cara berpikir al-Farabi kita akan sampai pada pengakuan bahwa Allah Swt adalah esensi yang memang sungguh ada dan satu-satunya yang tidak dipengaruhi oleh hal lain.
Sedangkan wujud (eksistensi) hakikatnya adalah makhluk-makhluk Allah yang memiliki wujud (esensi) dan dipengaruhi oleh makhluk atau keadaan yang lain.
Filsafat al-Faid dalam filsafat Islam, pertama kali dipakai oleh al-Farabi, untuk memecahkan persoalan yang dilontarkan Plato dan Aristoteles yakni hubungan antara Tuhan yang gaib dan alam yang empiris. Beliau memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Dasar yang dipakainya ada dua yaitu pengadaan keharmonisan antara filsafat Plato dan Aristoteles sehingga sesuai dengan dasar-dasar Islam. Kedua, pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam.[8]
Pemikiran al-Farabi tentang jiwa sangat diwarnai oleh pemikiran para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles manusia adalah bagian dari alam yang terdiri dari dua unsur yaitu materi (badan) dan formal (jiwa). Jiwa dan badan sangat erat hubungannya. Badan tidak dapat ada tanpa wujud, yaitu jiwa.
Kesatuan antara jiwa dan badan merupakan kesatuan antara keduanya, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, jiwa disebut dengan al-Nafs Al-Mantiqah yang berasal dari alam ilahi sedangkan badan merupakan wujud yang timbul dari alam dunia dan kasat mata.
Negara umum (Al-Madinah al-Fadhillah) yang digambarkan al-Farabi adalah suatu masyarakat yang lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan sebagai suatu organisme tubuh manusia dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh akan merasakan penderitaan jika salah satu ada yang sakit demikian pula anggota negara utama yang digambarkan oleh al-Farabi. Hidup saling bantu membantu dengan kata lain senasib sepenanggungan masing-masing mereka harus diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka masing-masing.[9]


Al-Farabi mengelompokkan akal menjadi dua bagian, yaitu:
a.      Akal praktis (amaliyah) yaitu hasil-hasil pengalaman yang mengajak manusia untuk bekerja dan melanjutkan pengalaman baru.
b.      Akal teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis dibagi menjadi, akal fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh.[10]


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari materi yang kami sampaikan di antaranya sebagai berikut:
1.      Al Farabi yang bernama asli Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Lharkham ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wasij tahun 259 H/ 872 M. memiliki pemikiran filsafat dalam menjembatani pemikiran filsafat Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) yang sangat gemilang, sehingga beliau dijuluki sebagai guru kedua (al-mu’allin tsani) setelah Aristoteles.
2.      Di antara karya al-FArabi adalah  Aghr dh m Ba’da al-Th bi’ah, Al-Jam’u Baiana Ra’syai al-H kimai, karya tersebut menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles. Karya lainnya antara lain Ihsha’ al-‘Ulum (klasifikasi ilmu), al-Madina al-Fadila (negara utama) dan Al-Musiqa al-Kabir (musik agung).
3.      Al-Farabi lebih banyak membahas moral, politik dan psikologi. Ia menggeluti tingkah laku individu dan banyak mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Pokok-pokok pikiran filsafat Al-Farabi terdiri atas ketuhanan, Fisafat al-Faid, Filsafat al-Nafs (jiwa), Filsafat Al-Madinah al-Fadhillah, dan Akal.









DAFTAR PUSTAKA

Madkour, Ibrahim. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.

Majid, Abdul. Filsafat al-Farabi dalam Praktek Pendidikan Islam. Manarul Quran.

Salmah. Aktualisasi Filsafat al-Farabi dalam Era Modern (Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah Al-Fadhillah).

Wiyono, M. 2016. Pemikiran Filsafat al-Farabi.




[1] M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat al-Farabi”. Substantia Vol. 18 No. 1, April 2016, hlm. 69.
[2] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 97.
[3] M. Wiyono, “Pemikiran Filsafat al-Farabi”. Substantia Vol. 18 No. 1, April 2016, hlm. 70.
[4] Salmah, “Aktualisasi Filsafat al-Farabi dalam Era Modern (Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah Al-Fadhillah)”.
[5] Maftukhin, Filsafat Islam, …, hlm 103.
[6] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 231
[7] Abdul Majid, “Filsafat al-Farabi dalam Praktik Pendidikan Islam”. Manarul Quran, hlm. 9
[8] Abdul Majid, “Filsafat al-Farabi dalam Praktik Pendidikan Islam”. Manarul Quran, hlm. 8
[9] Salmah, “Aktualisasi Filsafat al-Farabi dalam Era Modern (Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah Al-Fadhillah)”.
[10] Salmah, “Aktualisasi Filsafat al-Farabi dalam Era Modern (Telaah Kritis Teori Kenegaraan al-Madinah Al-Fadhillah)”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar