PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan, sejarah memegang peranan yang sangat penting. Setiap
kegiatan yang dilakukan setiap hari, berkaitan erat dengan sejarah yang pernah
terjadi di masa lampau. Mulai dari aspek sosial hingga keagamaan, semua
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah.
Salah satu sejarah penting yang pernah terjadi di muka bumi adalah
sejarah peradaban Islam. Kenapa kita harus mengkaji mengenai materi tersebut?
Karena sebagai umat Islam sudah sepantasnya kita mengetahui seluk beluk agama
kita sendiri. Mengetahui bagaimana perjuangan para pemimpin masa lampau serta
perkembangannya sehingga melahirkan suatu peradaban baru.
Terlebih, peradaban Islam mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah.
Sebuah dinasti yang berdiri setelah Dinasti Umayyah runtuh di Damaskus. Dinasti
Abbasiyah membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan.[1]
Dinasti Abbasiyah banyak mengkaji Alquran secara rasional berkat aliran
Muktazilah yang pada waktu itu diangkat menjadi aliran resmi negara. Menjadikan
Dinasti Abbasiyah memiliki peranan yang penting dalam peradaban dunia. Tidak
hanya bagi dunia peradaban Islam, melainkan dunia peradaban Barat yang tak
pernah lepas dari pengaruh peradaban Islam. Hal ini menjelaskan bahwa sangatlah
penting untuk mengkaji sejarah peradaban Islam khususnya Dinasti Abbasiyah.
Dalam makalah ini penyusun memberikan materi Dinasti Abbasiyah adalah tak
lain agar masyarakat tidak melupakan bagaimana sejarah Islam yang begitu
gemilang. Bangga sebagai umat Islam dan memiliki integritas tinggi dalam
melestarikan nilai-nilai Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang melatar belakangi
lahirnya Daulah Abbasiyah?
2.
Bagaimana perkembangan
politik, ilmu pengetahuan, sains, dan pendidikan pada waktu itu?
3.
Bagaimana kondisi masyarakat
Islam pada masa Dinasti Buwaih, Dinasti Saljuk, Dinasti Fatimiyyah, dan Dinasti
Mamluk?
4.
Apa akibat bagi dunia Islam terkait
meletusnya Perang Salib?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Revolusi Abbasiyah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan term revolusi diartikan dengan “perubahan ketatanegaraan
(pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan, seperti
dengan perlawanan bersenjata”.[2] Revolusi adalah perubahan
sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau
pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat kekerasan atau
melalui kekerasan.[3]
Maka,
dalam revolusi perubahan yang terjadi dapat secara langsung juga dapat secara
tidak langsung.
Para ahli sejarah mengemukakan
beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepaa salah satu aspek sebab
utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini, ada empat
teori yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya
yaitu:
1.
Teori faksionalisme atau teori kelompok kebangsaan.
Berdasarkan
teori ini, Dinasti Umayah pada dasarnya adalah sebuah monarki Arab yang
mengutamakan kepentingan-kepentingan
orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab.
Implikasi tindakan diskriminatif pihak penguasa tersebut menyebabkan
orang-orang Mawali (orang-orang yang dimerdekakan) merasa kecewa dan menggalang
kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayah yang berpusat di Damaskus.
Berdasarkan teori ini, jatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan
dan kepentingan Arab, sedangkan bangkitnya Dinasti Abbasiyah adalah merupakan
kebangkitan bagi orang-orang Persia.
2.
Teori
faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan paham
keagamaan.
Berdasarkan perspektif teori ini, kaum Syiah selamanya adalah lawan dari
Dinasti Umaiyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi
Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan
Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umaiyah, dari perspektif teori
ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.
3.
Teori
faksionalisme kesukuan.
Menurut teori ini bahwa persaingan antara suku
Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada
masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara
satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang
dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal
dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah
didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung
salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai
oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan
berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti
Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah
sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari
manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.[4]
4.
Teori yang
menekankan kepada ketidak adilan ekonomi dan disparitas regional.
Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari
Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu
dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak
pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang
Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh
perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup
tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun
akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan
atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an
diskriminasi sosial.[5]
Dalam Revolusi
Abbasiyah, terdapat langkah dan propaganda Revolusi Abbasiyah dimana pada waktu
itu Muhammad
Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang
sistematis, di antaranya yaitu:
1.
Membuat
propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta
menanamkan ide-ide tentang hak khalifah.
2.
Membantuk
faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu
dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah.
3.
Ide tentang
persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada
isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak
pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda
Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni:
1.
Dilaksanakan
dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas
nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam
kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150
orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya
adalah Muhammad Ibn Ali.
2.
Menggabungkan
para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.[6]
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat
Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar
melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan
cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih
berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap
Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang
Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah
Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.
B.
Perkembangan
Politik Dinasti Abbasiyah
Berkat
keijakan politik yang dibangun oleh khalifah pada masa dinasti Bani Abbas,
kehidupan masyarakat serta gaya hidup masyarakat pada masa itu menjadi lebih
baik. Salah satu dampak positif dari kebijakan khalifah pada masa dinasti
abbasiyah yakni dampak positif terhadap kebebasan wanita untuk berkarya
sehingga banyak wanita yang memberikan sumbangan prestasi terhadap negara.
Kebijakan ini terjadi pada pemerintahan, disamping itu kedudukan budak dn antan
budak yang tadinya sangat hina dapat bergeser pada derajat yang lebih baik.
Khusus dibidang perdagangan dan Industri, kebijakan khalifah dalam melibatkan
jaringan perdagana Internasional. Perdagangan paling awal adalah dengan
melibatkan orang kristen dan yahudi sementara pada masa berikutnya lebih
melibatkan orang-orang Islam Arab yang pandai berdagang. Kebijakan ini
ditetapkan mengingat luasnya wilayah kekuasaan khalifah.
Kebijakan
lain yang juga ditetapkan oleh khalifah adalah mengembangkan industri
pertanian, islamisasi kerajaan dan sebagainya. Disamping kebijakan politik di
atas, khalifah juga memiliki program yang meliputi peningkatan kualitas dan
kapasitas keilmuan dan sastra. Program Keilmuan yang paling terkenal pada saat
itu dan banyak diproduksi diantaranya adalah ilmu kedokteran, Filsafat Islam,
kajian astronomi dan matematika, perkembangan dalam bidang kimia, kajian
geografi, hitoriografi teologi, hukum dan etika Islam serta perkembangan sastra
dan bidang kesenian lainnya. Tatanan Negeri dibawa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah
membawa pengarung yang sangat bersar terhadap peradaban dunia karena pada waktu
itu Dinasti Bani Abbasiyah memiliki sistem politik yang luar biasa tertata
rapi. Mulai dari penataan sumber pemasukan Negara, penyetaraan dan penguatan
biro-biro pemerintahan, penguatan sistem organisasi militer serta penguatan
administrasi wilayah pemerintahan. Berangkat dari sistem politik itulah
sehingga Dinasti Bani Abbasiyah berkembang dengan pesatnya, bahkan tercatat
dalam sejarah islam sebagai Dinasti terlama yaitu selama 5 abad lebih. Inilah
catatan pada tinta emas sejarah islam yang berhasil ditorehkan oleh kekhalifaan
Dinasti Bani Abbas.
Abad X Masehi disebut pembangunan daulah Islamiyah di mana dunia Islam,
mulai dari Cordova di Spanyol sampai ke Multan Pakistan, mengalami pembangunan
di segala bidang teknologi dan seni. Di dunia Islam pada waktu itu dalam
keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap,
bodoh, dan Primitif.[7]
Pada saat itu dunia Islam sudah menerapkan berbagai penyelidikan di
laboraturium dan berbagai observaterium dan muncul berbagai disiplin ilmu yang
baru. Hal ini sangat bertolak belakang dengan dunia Barat yang masih tenggelam
dalam gelimang kebodohan, mereka buta akan ilmu pengetahuan. Hal ini dilatar
belakangi oleh Nabi Muhammad yang memberikan dorongan masyarakat Islam
melahirkan sebuah peradaban baru. Peradaban tersebutlah yang nantinya akan
melahirkan berbagai ilmu pengetahuan.
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah
Ja’far al-Manshur. Setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/ 762 M) dan
menjadikannya sebagai ibu kota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli
dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia adalah pencetus
usaha pembukuan ilmu agama, seperti Fiqh, Tafsir, Tauhid, Hadits, atau ilmu
lain seperti Ilmu Bahasa dan Ilmu Sejarah, dan lain-lain.
Perkembangan ilmu tersebut melahirkan adanya ilmu naqli dan aqli
yang akhirnya menjadi sebuah disiplin ilmu yang kita kenal seperti
sekarang, perkembangan ilmu naqli antara lain:
1. Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir sebenarnya
sudah ada pada masa sahabat, yaitu dilakukan dengan cara menafsirkan ayat
dengan hadits atau kejadian yang mereka saksikan ketika ayat tersebut turun.[8]
Akan tetapi, ilmu tafsir baru menjadi sebuah disiplin ilmu yang terpisah dari
ilmu hadits pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini penafsiran dilakukan
dengan menggunakan akal, seperti yang dilakukan oleh golongan Mu’tazilah.
2. Ilmu Hadits
Merupakan sumber hukum
yang kedua setelah al-Qur’an. Masa ini merupakan penyempurnaan penulisan hadits
dari masa sebelumnya. Dan melahirkan sebuah sejarah penulisan hadits yang
gemilang. Dari masa ini muncullah tokoh-tokoh ahli hadits seperti al-Bukhari
(w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H),
al-Tirmidzi (w. 279 H), serta al-Nasa’I (w. 303 H).
3. Ilmu Tasawuf
Merupakan bentuk
mistisme dalam Islam, bukan merupakan satu tatanan ajaran, tetapi lebih sebagai
modus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama.
4. Ilmu Bahasa Arab
Pada masa Abbasiyah,
ilmu bahasa Arab tumbuh dan berkembang dengan pesat dan menjadi bahasa
internasional. Kota Basrah dan Kufah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan
ilmu bahasa. Keduanya berlomba-lomba dalam bidang tersebut hingga terkenal
dengan sebutan aliran Basrah dan alirah Kufah.
5. Ilmu Fiqh
Zaman Abbasiyah, merupakan zaman keemasan Islam yang
telah melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang tersohor dengan
kitab-kitab fiqhnya yang terkenal.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tergolong dalam ketegori ilmu aqli
antara lain:
1. Ilmu Filsafat
Setelah kitab-kitab
filsafat Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab di zaman khalifah Harun ar-Rasyid
dan khalifah Ma’mun, barulah kaum muslimin sibuk mempelajari filsafat, bahkan
menafsirkan dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran
Islam. Sehingga lahirlah para filsuf Islam yang menjadi bintang dalam dunia
filsafat seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd.
2. Ilmu Kedokteran
Minat orang Arab
terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadits Nabi yang membagi pengetahuan
menjadi dua kelompok, yakni teologi dan kedokteran. Dengan demikian seorang
dokter adalah sekaligus merupakan seorang yang ahli metafisika, filsuf, dan
sufi. Tokoh-tokohnya adalah ar-Razi, Ali ibn al-Abbas al-Majusi, dan Ibn Sina.[9]
3. Ilmu Astronomi
Penulisan ilmu
astronomi dimulai sejak diterjemahkannya buku-buku Sidharta dari bahasa India
ke bahasa Arab oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari.
4. Ilmu Hitung
Angka Arab pada mulanya
diperkenalkan oleh seorang yang bernama Sidharta dari India, yang bekerja di
masjid al-Manshur sebagai seorang ahli astronomi. Angka Arab tersebut akhirnya
disempurnakan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang merupakan tokoh utama
dalam kajian matematika Arab.
5. Ilmu Kimia
Dalam studi-studi
tentang ilmu kimia dan ilmu hitung, sarjana-sarjana muslim memperkenalkan cara
penelitian objektif yang menentukan jalan keluat bagi spekulatif yang
membingungkan orang-orang Yunani. Tokonya adalah Jabir bin Hayyan dan ar-Razi.
6. Ilmu sejarah dan Geografi
Pada periode Abbasiyah,
ilmu sejarah telah matang untuk melahirkan karya formal yang didasarkan atas
legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi. Dalam geografi, Ibn
Khurdazbah yang hidup di awal abad III dan telah meninggalkan buku Geografi al-Masalik
wa al-Mamalik, dipandang sebagai ahli Geografi Islam terdahulu yang menjadi
pedoman bagi pelaut yang menjelajahi lautan.[10]
Lembaga Pendidikan sudah mulai berkembang, pada awal kebangkitan Islam
masa Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Lembaga pendidikan terdiri atas dua
tingkat:
1. Maktab/ Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat
tempur anak-anak mengenai dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; tempat para
remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh, dan
bahasa.
2. Tingkat pendalaman, di mana pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang
yang ahli dalam bidangnya. Pada umumnya ilmu-ilmu
yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama yang berlangsung di masjid-masjid atau
rumah-rumah ulama yang bersangkutan.
Lembaga Pendidikan kemudian berkembang pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan dalam masa
itu lebih ke seperti sebuah universitas karena di samping terdapat kitab-kitab,
juga dapat digunakan untuk membaca, menulis, dan diskusi.[11]
Perkembangan Lembaga Pendidikan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan
peradaban Bani Abbasiyah.
Telah disebut bahwa sejak khalifah Ma'mun di tubuh pemerintah,
istana, maupun di kalangan tentara pengaruh Persia sangat dominan yang
menyebabkan tentara Turki diundang khalifah mu'tashim untuk mengurangi pengaruh
mereka. Hal ini menjadi bumerang, dan bagaikan menggali sungai mengundang
buaya. Di kemudian hari para tentara itu menguasai istana dan memerintah
anaknya sebagai Amir Al Umara. Hal
ini berlanjut sampai masa Khalifah khalifah berikutnya. Untuk melepaskan khalifah dari hegemoni pengaruh Turki ini, Karena
tidak tahan perbuatan-perbuatan kasar dari sikap kasar terhadap penduduk
Baghdad, maka Khalifah Al mustakfi bi Allah terpaksa mengundang dan meminta
bantuan kepada pemimpin buwayhia, Ahmad Ibn Abu Shuza' yang beraliran Syiah.
Sate ini muncul di Dylam, pesisir Utara Laut Kaspia sekitar awal abad ke-10 M,
kemudian menguasai ispahan, Kirman, Ahwas, dan sekitarnya dengan shiraj
sebagai ibu kota.
Ahmad menyerang padat dan berhasil
mengusir tentara Turki. Akhirnya mereka lari dari Baghdad. Hal ini merupakan
peluang besar bagi Ahmad menjadikan khalifah lemah dan bonekanya. Atas namanya,
dinasti ini disebut dinasti buwayhia. Pendiri buaya dengan mengambil gelar Mu'iz al-Daulah dari khalifah mustakfi
Billah, Iya memerintah sebagai hasil utama dan mengambil segala kekuasaan atas
orang Sunni. Untuk mengurangi hingga menutupi wewenang khalifah dalam
pemerintahan, Ahmad memakai gelar Sultan. Dengan mencetak mata uang atas
namanya, menyebut namaNya dalam khutbah Jumat, Nourish menghabisi kedaulatan
khalifah dengan cara ia mencukil mata Khalifah menjadi buta dan mendudukkan
Mukti, anak khalifah muktadir sebagai Khalifah. Setelah Mu'iz, putrany, 'Iz
al-Daulah berkuasa. Sejak itu, kekuasaan mutlak ada di tangan para Wazir/Sultan
dari dinasti buwayhia. Periode ini adalah masa paling buruk dalam sejarah
institusi kekhalifahan Abbasiyah yang berpaham Sunni.’Iz al-Daulah dilengser
oleh Sultan Ada al-Daulah. Iya memakai dua gelar sekaligus shahanshah dan sultan. Ia bukan hanya membacakan namanya dalam
khutbah Jumat dan mencetak mata uang atas namanya, Iya menyambut duta besar
dari Khalifah Al fatimiyah di Afrika. Periode ini wilayah kekuasaannya sama
luasnya semacam kekuasaan khalifah Harun.
Kemajuan dalam
berbagai bidang mulai sejak periode Mu'iz, namun pada era 'Adz al-Daulah dalam
berbagai bidang terutama ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah maju pesat yang
mencapai puncaknya. Daerah
kekuasaannya meluas dari isphan sampai shiraj dan dari Laut Kaspia sampai Teluk
Persia. Setelah Mu'iz wafat putranya memakai gelar Shams al-Daulah dan Shams
al-Millah. Terakhir dijatuhkan oleh saudaranya, Shaf al-Daulah. Sesudahnya
ia wafat, tidak ada Sultan buwayhia yang cakap semuanya lemah. Pada masa
Khalifah, abad ke 25, Qodir bi Allah, Dinasti Abbasiyah terbelah-belah dan
berkeping-keping. Demikian juga pada masanya kekuasaan buwayhia menuju ke titik
kehancuran. Dengan kelemahan mereka mengundang orang saljuk menguasai politik
badan pada 1055 M.[12]
Dalam sejarah Islam kemunculan dinasti saljuk sebagai suatu kekuatan
Turki yang berasal dari daerah yang membentang antara Kirgistan sampai bukara.
Tughril Beg, cicit dari pendiri dinasti ini, bersama saljuk mengalah (1037M)
kekuatan Turki cabang lain, dinasti Ghazni di Merv, kemudian menguasai Hamadan, Tabaristan, Ray, Ispahan, dan lain-lain.[13]
Terjadinya perpecahan yang diikuti oleh invasi kekuatan baru oleh
kaum pengembara yang mengguncang dunia Islam sejak abad ke-11 masehi berakibat
pada perpecahan sosial, perubahan politik dan kehidupan keagamaan yang baru. Sejak periode awal Abbasiyah, budak Militer Turki di perbatasan
bagian timur dikirim ke Timur dekat dengan menikmati kemajuan dan kejayaan yang
telah berada dalam kompetisi dengan dinasti Iran. Sejak akhir abad ke 10 masehi
invasi Turki di bawah kepemimpinan Keluarga Si Juki melepaskan diri di bagian
timur yang secara mendasar telah terproyek geografis maupun politik.
Baju Syria dan Mesir mencapai puncak
kehancuran setelah serangan banu Hilal dilakukan oleh keturunan Fatimah sebagai
balasan melawan pemberontakan zirids (1049). Demikian juga pada abad
ke-11 Masehi, suku barbar yang memeluk Islam mengalami kemajuan mulai dari
wilayah atlas bagian utara, menduduki merokok dan di sana diperoleh keuntungan
dari kepemilikan wilayah Andalusia.
Dinasti saljuk
dan suku oghuz memberikan pernyataan politik dan kepemimpinan strategis kepada
kekuatan suku Turki. Menyerahnya suku Haznafiyah (1040M), penduduk Bagdad oleh
tughril Beg (1055M) dan kekalahan tentara Byzantium oleh Alp Arslan (1071M) merupakan tonggak sejarah dari
perjalanan dinasti saljuk.
Setelah penaklukan Bagdad, dinasti Saljuk
mengambil alih kekuasaan leluhur mereka pelantikan jabatan oleh sang khalifah (yang
memberikan mereka gelar Sultan) dan mereka menggunakan model pemerintahan Islam
Iran-pemerintahan Islam sebagai dasar kekuasaan. Kemudian seperti halnya
Buwaihi, mereka tetaplah tentara yang mandiri dan dibayar oleh tuan tanah (iqtan).
Sekarang sistem ini diperluas secara sistematis dan pada awalnya di bawah
kontrol ketat, menjadi sebuah maksud kepastian stabilitas. Setelah bangsa
saljuk runtuh yaitu pada abad ke 12 M, kekuatan makan menjadi kuat, tanah yang
tadinya dihibahkan kepada para tentara kemudian beralih menjadi milik
pemerintahan daerah (di bawah otoritas atbek).
Dalam menghadapi persaingan antara khalifah
dengan sultan sebagai kekuatan politik, otoritas agama bertanggung jawab atas
pengajaran hukum. Sultan seljuk dan pengikutnya menganggap mereka sebagai
penjaga sunnah, khususnya dalam penyebaran melawan kaum radikal syi'ah Ismaliyah; dan berusaha
melegalkan sikap keagamaan mereka sendiri secara penuh dengan memberi apresiasi
kepada para guru proses yang berlanjut
dari abad ke-9 Masehi dan seterusnya hingga akhirnya muncul institusionalisasi
sunnah,tradisionalisme pragmatisme dan sekolah hukum sebagai representasi
kelompok Ortodoks Islam yang sebenarnya. Juga sufisme saat itu mengatur menjadi
lembaga keagamaan yang anti intelektualisme di dunia Islam. Saljuk yang besar
berubah menjadi kesultanan kesultanan kecil dan seiring dengan serangan bangsa
Eropa terhadap dinasti tersebut.[14]
1. Khalif Muiz Lidinillah
Panglima besar
jafar Al Siqili pada tahun 358 H/968 M mulai
membangun ibu kota yang baru di mesir bagi Dinasti Fatimiyyah atau Daulat fathimiah ( 297 567 H/ 910 1171 M ), yaitu Al
quhariah pada pinggir barat sungai Nil, dan mempersiapkan istana untuk
tempat kediaman Khalif muiz Lidnillah ( 341-365 / 952 – 975 M ).
Pada masa
pemerintahannya yang 23 tahun itu wilayah kekuasaan Daulat Fathimiah, kecuali
meliputi Afrika Utara dan Afrika Barat, maka juga telah menguasai Palestina dan
Syria dan Kilikia pada belahan utara dan pesisir barat Arabia, termasuk wilayah
tanah suci pada belahan tenggara, beserta wilayah Nubia dan pada belahan
selatan. Masa pemerintahanya yang 23 tahun
itu, demikian Dirasat Tarikhil-Islami, ditandai dengan berbagi ciri dibawah ini :
a.
Bersikap lapang terhadap berbagai keyakinan keagamaan dan aliran
paham yang hidup di dalam masyarakat.
b.
Menerbitkan kembali administrasi pemerintahan,dan membentuk
departemen khusus bagi urusan mesir depar temen khusus bagi wilayah belahan
barat.
c.
Ikhtiar yang terus menurus bagi memperbaiki sumber kehidupan setiap
lapisan masyarakat dalam bidang pertanian maupun perdagangan.
d.
Membangun galangan kapal pada pinggiran ibukota yang bernama Magus
hingga daulat fathimiah dewasa itu tercatat memiliki angakatan armada sejumlah
600 buah kapal perang.
Khalif Aziz
billah (365 386 H/ 975 996) yang memerintah 21 tahun lamanya melanjutkan kebijakasaan bapanya hingga kemakmuran
melimpah. Pernemdaharaan negara (bait al- Mali) yang gemuk telah
memberikan kesempatan baginya untuk membangun berbagai istana hingga makin
memberikan sumber kerja kepada pihak umum.
3.
Khalif hakim Biamrillah
Khalif hakim
Biamrillah (486-411 H / 996-1020 M) mengantikan
bapanya dan memerintah 25 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya penuh oleh
keganjilan-keganjilan pada tindakan yang dilakukannya. Contohnya kelainan jiwanya antara lain:
a.
Ia memerintahkan menutup seluruh toko pada siang hari dan Cuma
boleh dibuka malam hari.
b.
Dia melarang kaum wanita keluar rumah dan siapa yang melanggar
perintahnya itu dikenakan hukum cambuk.
Tetapi di samping tindak lakunya yang negatif ada pula beberapa
kebijaksannya contohnya:
a.
Ia membangun dar-al hikmah,dan mengeluarkan pembiayaan yang
besar untuk memlengkapi perbendaharan dan perpustakaan yang kaya raya.
b.
Ia menyelesaikan bangunan Masjid agung yang dimulai pembangunnya
oleh bapanya, dan sampai kini terpandang seni arsitektur yang mengagumkan.
c.
Ia amat gemar kepada masalah masalah astronomi seperti membangun
observatorium.
H. Dinasti Mamluk al-Bahriah
Kemenangan Hulagu Khan yang terus menerus terhadap pihak Islam, hingga
berhasil merebut dan menduduki ibu kota Baghdad. Paus Alexander IV (1254-1261M)
Hulagu Khan dan panglima Kitbogha pada tahun 1260 M maju dengan pasukannya
menuju Syria dengan tujuan merebut dan
menguasai palestina dan mesir sesuai dengan Khakan Mangu (1251-1265). Sulthan
Al Zhahir Baibars (1259-1277 M) naik menjabat pada tahun 658 H/ 1259 M dia
terpandang sebagai panglima perang perkasa dan seorang negarawan yang cakap.
Pada periode keruntuhan pemerintahan mamluk pada walnya kemenangan
(1491M) ini muncuk melawan perluasan kekuatan Utsmani setelah persaingan
Panjang daerahnya ditimur dekat (1516-1517 M) kemunculan Utsmani telah mulai
abad keempat belas. Di awal periode utsmani dipengaruhi dengan semangat ghazis
(perang untuk imam) yang mengilhami Turkoman di asia tengah sejak perang
perbatasan di Oxus dan Jaxartes di asia tengah dan memacu mereka dalam perang
melawan Byzantium dan Balkan Kristen. Pada akhirnya mereka mengambil alih ide
imperial pemerintahan dan organisasi pendahuluan mereka dalam kerajaan Khalif
Arab.[16]
Perang salib adalah sebua peperangan dengan rentang waktu yang
cukup panjang, yaitu antara tahun 1095-1295 M. Faktor faktor yang menyebabkan perang salib ada 3 yaitu :
a.
Faktor agama
Pada tahun 471
H Dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiah yang berkedudukan di Mesir sejak itu. Pada tahun 1095 M Paus urbanus II berpidato di kalangan kaum
Kristen ysng terkenal dan cuku memukau yang menggema ke seluruh penjuru Eropa.
Dari apa yang dilakukan oleh Paus dan Peter di atas berhasil
membangkitkan fanatisme umat Kristen Eropa dengan terhimpunnya suatu kekuatan
besar yang meimpah ruah memasuki Konstantinopel tahun 1097 M dan kemudian
mereka membuat serangan peprangan besar terhadap umat islam dan mereka berhasil
merebut Kota Yerussalem pada tahun 1099
M dan mereka berhasil mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya yang bernama
Godfrey.
Dinasti Saljuk
dapat meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Byzantium setelah
pertempuran Manzikart tahun 1071 M telah mengancam kota Konstantinopel sendiri. Paus Urbanus II dalam pidatonya di Clemont tahun 1095 ia menyerukan
kepada umat Kristen melakkan perang suci menentang aggressor muslim. Pada
sisi lain di tubuh Dinasti Saljuk juga terjadi perpecahan di samping juga
adanya bahaya kelaparan dan wabah penyakit pada masa khalifah al-Mustanshir,
turut menguntungkan kaum Salib mendapatkan kesuksesannya merebut bait
al-Maqdis, tanah suci mereka.[17]
Faktor ekonomi
yang dimaksud adalah bahwa para pedagang besar yang berada di pantai timur Laut
Tengah, terutama yang berada di kota Veneria, Genoa dan Pisa, berambisi untuk
menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut
Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Dalam peperangan Salib ini, mayoritas masyarakat Eropa ikut ambil
bagian di dalamnya. Segenap elemen masyarakat di banyak negara negara, baik
raja, bangsawan, petani dan rakyat jelata mempunyai pandangan yang tidak
berbeda terhadap perang salib. Dengan kata lain, perang Salib
bagi bangsa-bangsa Eropa merupakan perekat kesatuan moral. Akibat dari
meletusnya Perang Salib adalah umat Islam mengalami kerugian antara lain:
a.
Orang-orang Kristen memperoleh keuntungan dan pengalaman yang cukup
berarti dari kebudayaan dan peradaban islam, misalnya mengetahui kemajuan dunia
intelektual di wilayah islam, industri, irigasi, persenjataan, daln lain-lain.
b.
Di bidang perindustrian, pasukan salib banyak yang menemukan kain
tenun dan sekaligus peralatan tenunnya, berbagai parfum, dan getah Arab untuk
mengharumkan ruangan.
c.
Memberikan pengetahuan mengenai teknologi irigasi
dalam sistem pertanian dan penemuan gula bagi umat Kristen.
d.
Di bidang militer, dunia Barat menemukan persenjataan dan teknik
berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya, seperti penggunaan
bahan-bahan peledak, teknik melatih burung merpati untuk kepentingan informasi
militer dan sebagainya.[18]
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari materi di atas antara lain sebagai
berikut:
1. Revolusi Abbasiyah menurut para ahli
dikarenakan karena berbagai teori yang menjadi sebab utama yaitu teori faksionalisme atau teori kelompok kebangsaan, teori
faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan paham
keagamaan, Teori faksionalisme kesukuan. Dan teori
yang menekankan kepada ketidak adilan ekonomi dan disparitas regional.
2.
Pada masa Dinasti Abbasiyah telah mengalami berbagai
perkembangan antara lain dalam bidang politik, Ilmu Pengetahuan, Sains, dan
Pendidikan.
3.
Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat beberapa dinasti yang memiliki
peranan penting dalam mengukir sejarah Islam, di antaranya adalah Dinasti
Buwaih, Dinasti Saljuk, Dinasti Fatimiyyah, dan Dinasti Mamluk.
4.
Terjadinya Perang Salib merupakan salah satu penyebab
kemunduran Dinasti Abbasiyah dan meninggalkan berbagai kerugian bagi umat
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah,
A. Najili.“Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban dan Intelektual”
Dkk, Machfud
Syaefudin. 2013. Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis.
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta.
Ebta Setiawan, 2010, KBBI Freeware
offline versi 1,1.
Fu’adi,
Imam. 2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta:
Teras.
Iqbal. 2015.
“Peranan Dinasti Abbasiyah terhadap Peradaban Dunia”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 11 No. 2 Desember.
Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka.
Mudzhar, M.
Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos
Sou’yb,
Joesoef. 1978 Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang.
Sulaiman,
Rusydi. 2014. Pengantar Metodologi Studi Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1] Iqbal, “Peranan Dinasti Abbasiyah terhadap
Peradaban Dunia”. Jurnal Studi Agama
dan Masyarakat Vol. 11 No. 2 Desember 2015, hlm. 268.
[2] Ebta
Setiawan, 2010, KBBI Freeware offline versi 1,1.
[4] M.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 86-89
[5] M.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 86-89.
[7] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam
Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013),
hlm. 73.
[8] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam
Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013),
hlm. 75.
[9] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam
Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013),
hlm. 76-79.
[10] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam
Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013),
hlm. 80-81.
[12] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: pustaka, 2007), hlm.156-158.
[14] Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi
Studi
Sejarah,
(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm. 256-266.
[17] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 113-122.
[18] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 123-124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar