Minggu, 25 November 2018

MAKALAH SKI - DINASTI ABBASIYAH


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan, sejarah memegang peranan yang sangat penting. Setiap kegiatan yang dilakukan setiap hari, berkaitan erat dengan sejarah yang pernah terjadi di masa lampau. Mulai dari aspek sosial hingga keagamaan, semua dipengaruhi oleh latar belakang sejarah.
Salah satu sejarah penting yang pernah terjadi di muka bumi adalah sejarah peradaban Islam. Kenapa kita harus mengkaji mengenai materi tersebut? Karena sebagai umat Islam sudah sepantasnya kita mengetahui seluk beluk agama kita sendiri. Mengetahui bagaimana perjuangan para pemimpin masa lampau serta perkembangannya sehingga melahirkan suatu peradaban baru.
Terlebih, peradaban Islam mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah. Sebuah dinasti yang berdiri setelah Dinasti Umayyah runtuh di Damaskus. Dinasti Abbasiyah membangun peradaban Islam atas asas ilmu pengetahuan.[1] Dinasti Abbasiyah banyak mengkaji Alquran secara rasional berkat aliran Muktazilah yang pada waktu itu diangkat menjadi aliran resmi negara. Menjadikan Dinasti Abbasiyah memiliki peranan yang penting dalam peradaban dunia. Tidak hanya bagi dunia peradaban Islam, melainkan dunia peradaban Barat yang tak pernah lepas dari pengaruh peradaban Islam. Hal ini menjelaskan bahwa sangatlah penting untuk mengkaji sejarah peradaban Islam khususnya Dinasti Abbasiyah.
Dalam makalah ini penyusun memberikan materi Dinasti Abbasiyah adalah tak lain agar masyarakat tidak melupakan bagaimana sejarah Islam yang begitu gemilang. Bangga sebagai umat Islam dan memiliki integritas tinggi dalam melestarikan nilai-nilai Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang melatar belakangi lahirnya Daulah Abbasiyah?
2.      Bagaimana perkembangan politik, ilmu pengetahuan, sains, dan pendidikan pada waktu itu?
3.      Bagaimana kondisi masyarakat Islam pada masa Dinasti Buwaih, Dinasti Saljuk, Dinasti Fatimiyyah, dan Dinasti Mamluk?
4.      Apa akibat bagi dunia Islam terkait meletusnya Perang Salib?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Revolusi Abbasiyah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan term revolusi diartikan dengan “perubahan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan, seperti dengan perlawanan bersenjata”.[2] Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat kekerasan atau melalui kekerasan.[3] Maka, dalam revolusi perubahan yang terjadi dapat secara langsung juga dapat secara tidak langsung.
Para ahli sejarah mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepaa salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini, ada empat teori yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya yaitu:
1.         Teori faksionalisme atau teori kelompok kebangsaan.
Berdasarkan teori ini, Dinasti Umayah pada dasarnya adalah sebuah monarki Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan-kepentingan orang-orang non-Arab. Implikasi tindakan diskriminatif pihak penguasa tersebut menyebabkan orang-orang Mawali (orang-orang yang dimerdekakan) merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayah yang berpusat di Damaskus. Berdasarkan teori ini, jatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab, sedangkan bangkitnya Dinasti Abbasiyah adalah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.
2.         Teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan paham keagamaan.
Berdasarkan perspektif teori ini,  kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umaiyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umaiyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.
3.         Teori faksionalisme kesukuan.
Menurut teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut.[4]
4.         Teori yang menekankan kepada ketidak adilan ekonomi dan disparitas regional.
Teori ini mengatakan bahwa orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan mendapat keuntungan-keuntungan tertentu dari Dinasti Umayyah seperti memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi sosial.[5]
Dalam Revolusi Abbasiyah, terdapat langkah dan propaganda Revolusi Abbasiyah dimana pada waktu itu Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang sistematis, di antaranya yaitu:
1.         Membuat propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah, serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah.
2.         Membantuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu dalam satu tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah.
3.         Ide tentang persamaan antara orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada isu yang paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak pernah terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni:
1.      Dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pemimpinnya yang berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn Ali.
2.      Menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.[6] Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.

B.     Perkembangan Politik Dinasti Abbasiyah
Berkat keijakan politik yang dibangun oleh khalifah pada masa dinasti Bani Abbas, kehidupan masyarakat serta gaya hidup masyarakat pada masa itu menjadi lebih baik. Salah satu dampak positif dari kebijakan khalifah pada masa dinasti abbasiyah yakni dampak positif terhadap kebebasan wanita untuk berkarya sehingga banyak wanita yang memberikan sumbangan prestasi terhadap negara. Kebijakan ini terjadi pada pemerintahan, disamping itu kedudukan budak dn antan budak yang tadinya sangat hina dapat bergeser pada derajat yang lebih baik. Khusus dibidang perdagangan dan Industri, kebijakan khalifah dalam melibatkan jaringan perdagana Internasional. Perdagangan paling awal adalah dengan melibatkan orang kristen dan yahudi sementara pada masa berikutnya lebih melibatkan orang-orang Islam Arab yang pandai berdagang. Kebijakan ini ditetapkan mengingat luasnya wilayah kekuasaan khalifah.
Kebijakan lain yang juga ditetapkan oleh khalifah adalah mengembangkan industri pertanian, islamisasi kerajaan dan sebagainya. Disamping kebijakan politik di atas, khalifah juga memiliki program yang meliputi peningkatan kualitas dan kapasitas keilmuan dan sastra. Program Keilmuan yang paling terkenal pada saat itu dan banyak diproduksi diantaranya adalah ilmu kedokteran, Filsafat Islam, kajian astronomi dan matematika, perkembangan dalam bidang kimia, kajian geografi, hitoriografi teologi, hukum dan etika Islam serta perkembangan sastra dan bidang kesenian lainnya. Tatanan Negeri dibawa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah membawa pengarung yang sangat bersar terhadap peradaban dunia karena pada waktu itu Dinasti Bani Abbasiyah memiliki sistem politik yang luar biasa tertata rapi. Mulai dari penataan sumber pemasukan Negara, penyetaraan dan penguatan biro-biro pemerintahan, penguatan sistem organisasi militer serta penguatan administrasi wilayah pemerintahan. Berangkat dari sistem politik itulah sehingga Dinasti Bani Abbasiyah berkembang dengan pesatnya, bahkan tercatat dalam sejarah islam sebagai Dinasti terlama yaitu selama 5 abad lebih. Inilah catatan pada tinta emas sejarah islam yang berhasil ditorehkan oleh kekhalifaan Dinasti Bani Abbas.

C.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sains Dinasti Abbasiyah
Abad X Masehi disebut pembangunan daulah Islamiyah di mana dunia Islam, mulai dari Cordova di Spanyol sampai ke Multan Pakistan, mengalami pembangunan di segala bidang teknologi dan seni. Di dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap, bodoh, dan Primitif.[7] Pada saat itu dunia Islam sudah menerapkan berbagai penyelidikan di laboraturium dan berbagai observaterium dan muncul berbagai disiplin ilmu yang baru. Hal ini sangat bertolak belakang dengan dunia Barat yang masih tenggelam dalam gelimang kebodohan, mereka buta akan ilmu pengetahuan. Hal ini dilatar belakangi oleh Nabi Muhammad yang memberikan dorongan masyarakat Islam melahirkan sebuah peradaban baru. Peradaban tersebutlah yang nantinya akan melahirkan berbagai ilmu pengetahuan.
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur. Setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H/ 762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia adalah pencetus usaha pembukuan ilmu agama, seperti Fiqh, Tafsir, Tauhid, Hadits, atau ilmu lain seperti Ilmu Bahasa dan Ilmu Sejarah, dan lain-lain.
Perkembangan ilmu tersebut melahirkan adanya ilmu naqli dan aqli yang akhirnya menjadi sebuah disiplin ilmu yang kita kenal seperti sekarang, perkembangan ilmu naqli antara lain:
1.      Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir sebenarnya sudah ada pada masa sahabat, yaitu dilakukan dengan cara menafsirkan ayat dengan hadits atau kejadian yang mereka saksikan ketika ayat tersebut turun.[8] Akan tetapi, ilmu tafsir baru menjadi sebuah disiplin ilmu yang terpisah dari ilmu hadits pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini penafsiran dilakukan dengan menggunakan akal, seperti yang dilakukan oleh golongan Mu’tazilah.
2.      Ilmu Hadits
Merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Masa ini merupakan penyempurnaan penulisan hadits dari masa sebelumnya. Dan melahirkan sebuah sejarah penulisan hadits yang gemilang. Dari masa ini muncullah tokoh-tokoh ahli hadits seperti al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), serta al-Nasa’I (w. 303 H).
3.      Ilmu Tasawuf
Merupakan bentuk mistisme dalam Islam, bukan merupakan satu tatanan ajaran, tetapi lebih sebagai modus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama.
4.      Ilmu Bahasa Arab
Pada masa Abbasiyah, ilmu bahasa Arab tumbuh dan berkembang dengan pesat dan menjadi bahasa internasional. Kota Basrah dan Kufah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa. Keduanya berlomba-lomba dalam bidang tersebut hingga terkenal dengan sebutan aliran Basrah dan alirah Kufah.
5.      Ilmu Fiqh
Zaman Abbasiyah, merupakan zaman keemasan Islam yang telah melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang tersohor dengan kitab-kitab fiqhnya yang terkenal.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tergolong dalam ketegori ilmu aqli antara lain:
1.      Ilmu Filsafat
Setelah kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke bahasa Arab di zaman khalifah Harun ar-Rasyid dan khalifah Ma’mun, barulah kaum muslimin sibuk mempelajari filsafat, bahkan menafsirkan dan mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga lahirlah para filsuf Islam yang menjadi bintang dalam dunia filsafat seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd.
2.      Ilmu Kedokteran
Minat orang Arab terhadap ilmu kedokteran diilhami oleh hadits Nabi yang membagi pengetahuan menjadi dua kelompok, yakni teologi dan kedokteran. Dengan demikian seorang dokter adalah sekaligus merupakan seorang yang ahli metafisika, filsuf, dan sufi. Tokoh-tokohnya adalah ar-Razi, Ali ibn al-Abbas al-Majusi, dan Ibn Sina.[9]
3.      Ilmu Astronomi
Penulisan ilmu astronomi dimulai sejak diterjemahkannya buku-buku Sidharta dari bahasa India ke bahasa Arab oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari.

4.      Ilmu Hitung
Angka Arab pada mulanya diperkenalkan oleh seorang yang bernama Sidharta dari India, yang bekerja di masjid al-Manshur sebagai seorang ahli astronomi. Angka Arab tersebut akhirnya disempurnakan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang merupakan tokoh utama dalam kajian matematika Arab.
5.      Ilmu Kimia
Dalam studi-studi tentang ilmu kimia dan ilmu hitung, sarjana-sarjana muslim memperkenalkan cara penelitian objektif yang menentukan jalan keluat bagi spekulatif yang membingungkan orang-orang Yunani. Tokonya adalah Jabir bin Hayyan dan ar-Razi.
6.      Ilmu sejarah dan Geografi
Pada periode Abbasiyah, ilmu sejarah telah matang untuk melahirkan karya formal yang didasarkan atas legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi. Dalam geografi, Ibn Khurdazbah yang hidup di awal abad III dan telah meninggalkan buku Geografi al-Masalik wa al-Mamalik, dipandang sebagai ahli Geografi Islam terdahulu yang menjadi pedoman bagi pelaut yang menjelajahi lautan.[10]

Lembaga Pendidikan sudah mulai berkembang, pada awal kebangkitan Islam masa Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Lembaga pendidikan terdiri atas dua tingkat:
1.      Maktab/ Kuttab dan Masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat tempur anak-anak mengenai dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh, dan bahasa.
2.      Tingkat pendalaman, di mana pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang yang ahli dalam bidangnya. Pada umumnya ilmu-ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama yang berlangsung di masjid-masjid atau rumah-rumah ulama yang bersangkutan.
Lembaga Pendidikan kemudian berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan dalam masa itu lebih ke seperti sebuah universitas karena di samping terdapat kitab-kitab, juga dapat digunakan untuk membaca, menulis, dan diskusi.[11] Perkembangan Lembaga Pendidikan pada masa ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan peradaban Bani Abbasiyah.
Telah disebut bahwa sejak khalifah Ma'mun di tubuh pemerintah, istana, maupun di kalangan tentara pengaruh Persia sangat dominan yang menyebabkan tentara Turki diundang khalifah mu'tashim untuk mengurangi pengaruh mereka. Hal ini menjadi bumerang, dan bagaikan menggali sungai mengundang buaya. Di kemudian hari para tentara itu menguasai istana dan memerintah anaknya sebagai Amir Al Umara. Hal ini berlanjut sampai masa Khalifah khalifah berikutnya. Untuk melepaskan khalifah dari hegemoni pengaruh Turki ini, Karena tidak tahan perbuatan-perbuatan kasar dari sikap kasar terhadap penduduk Baghdad, maka Khalifah Al mustakfi bi Allah terpaksa mengundang dan meminta bantuan kepada pemimpin buwayhia, Ahmad Ibn Abu Shuza' yang beraliran Syiah. Sate ini muncul di Dylam, pesisir Utara Laut Kaspia sekitar awal abad ke-10 M, kemudian menguasai ispahan, Kirman, Ahwas, dan sekitarnya dengan shiraj sebagai ibu kota.
Ahmad menyerang padat dan berhasil mengusir tentara Turki. Akhirnya mereka lari dari Baghdad. Hal ini merupakan peluang besar bagi Ahmad menjadikan khalifah lemah dan bonekanya. Atas namanya, dinasti ini disebut dinasti buwayhia. Pendiri buaya dengan mengambil gelar Mu'iz al-Daulah dari khalifah mustakfi Billah, Iya memerintah sebagai hasil utama dan mengambil segala kekuasaan atas orang Sunni. Untuk mengurangi hingga menutupi wewenang khalifah dalam pemerintahan, Ahmad memakai gelar Sultan. Dengan mencetak mata uang atas namanya, menyebut namaNya dalam khutbah Jumat, Nourish menghabisi kedaulatan khalifah dengan cara ia mencukil mata Khalifah menjadi buta dan mendudukkan Mukti, anak khalifah muktadir sebagai Khalifah. Setelah Mu'iz, putrany, 'Iz al-Daulah berkuasa. Sejak itu, kekuasaan mutlak ada di tangan para Wazir/Sultan dari dinasti buwayhia. Periode ini adalah masa paling buruk dalam sejarah institusi kekhalifahan Abbasiyah yang berpaham Sunni.’Iz al-Daulah dilengser oleh Sultan Ada al-Daulah. Iya memakai dua gelar sekaligus shahanshah dan sultan. Ia bukan hanya membacakan namanya dalam khutbah Jumat dan mencetak mata uang atas namanya, Iya menyambut duta besar dari Khalifah Al fatimiyah di Afrika. Periode ini wilayah kekuasaannya sama luasnya semacam kekuasaan khalifah Harun.
Kemajuan dalam berbagai bidang mulai sejak periode Mu'iz, namun pada era 'Adz al-Daulah dalam berbagai bidang terutama ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah maju pesat yang mencapai puncaknya. Daerah kekuasaannya meluas dari isphan sampai shiraj dan dari Laut Kaspia sampai Teluk Persia. Setelah Mu'iz wafat putranya memakai gelar Shams al-Daulah dan Shams al-Millah. Terakhir dijatuhkan oleh saudaranya, Shaf al-Daulah. Sesudahnya ia wafat, tidak ada Sultan buwayhia yang cakap semuanya lemah. Pada masa Khalifah, abad ke 25, Qodir bi Allah, Dinasti Abbasiyah terbelah-belah dan berkeping-keping. Demikian juga pada masanya kekuasaan buwayhia menuju ke titik kehancuran. Dengan kelemahan mereka mengundang orang saljuk menguasai politik badan pada 1055 M.[12]

Dalam sejarah Islam kemunculan dinasti saljuk sebagai suatu kekuatan Turki yang berasal dari daerah yang membentang antara Kirgistan sampai bukara. Tughril Beg, cicit dari pendiri dinasti ini, bersama saljuk mengalah (1037M) kekuatan Turki cabang lain, dinasti Ghazni di Merv, kemudian menguasai Hamadan, Tabaristan, Ray, Ispahan, dan lain-lain.[13]
Terjadinya perpecahan yang diikuti oleh invasi kekuatan baru oleh kaum pengembara yang mengguncang dunia Islam sejak abad ke-11 masehi berakibat pada perpecahan sosial, perubahan politik dan kehidupan keagamaan yang baru. Sejak periode awal Abbasiyah, budak Militer Turki di perbatasan bagian timur dikirim ke Timur dekat dengan menikmati kemajuan dan kejayaan yang telah berada dalam kompetisi dengan dinasti Iran. Sejak akhir abad ke 10 masehi invasi Turki di bawah kepemimpinan Keluarga Si Juki melepaskan diri di bagian timur yang secara mendasar telah terproyek geografis maupun politik.
Baju Syria dan Mesir mencapai puncak kehancuran setelah serangan banu Hilal dilakukan oleh keturunan Fatimah sebagai balasan melawan pemberontakan zirids (1049). Demikian juga pada abad ke-11 Masehi, suku barbar yang memeluk Islam mengalami kemajuan mulai dari wilayah atlas bagian utara, menduduki merokok dan di sana diperoleh keuntungan dari kepemilikan wilayah Andalusia.
Dinasti saljuk dan suku oghuz memberikan pernyataan politik dan kepemimpinan strategis kepada kekuatan suku Turki. Menyerahnya suku Haznafiyah (1040M), penduduk Bagdad oleh tughril Beg (1055M) dan kekalahan tentara Byzantium oleh Alp  Arslan (1071M) merupakan tonggak sejarah dari perjalanan dinasti saljuk.
Setelah penaklukan Bagdad, dinasti Saljuk mengambil alih kekuasaan leluhur mereka pelantikan jabatan oleh sang khalifah (yang memberikan mereka gelar Sultan) dan mereka menggunakan model pemerintahan Islam Iran-pemerintahan Islam sebagai dasar kekuasaan. Kemudian seperti halnya Buwaihi, mereka tetaplah tentara yang mandiri dan dibayar oleh tuan tanah (iqtan). Sekarang sistem ini diperluas secara sistematis dan pada awalnya di bawah kontrol ketat, menjadi sebuah maksud kepastian stabilitas. Setelah bangsa saljuk runtuh yaitu pada abad ke 12 M, kekuatan makan menjadi kuat, tanah yang tadinya dihibahkan kepada para tentara kemudian beralih menjadi milik pemerintahan daerah (di bawah otoritas atbek).
Dalam menghadapi persaingan antara khalifah dengan sultan sebagai kekuatan politik, otoritas agama bertanggung jawab atas pengajaran hukum. Sultan seljuk dan pengikutnya menganggap mereka sebagai penjaga sunnah, khususnya dalam penyebaran melawan kaum  radikal syi'ah Ismaliyah; dan berusaha melegalkan sikap keagamaan mereka sendiri secara penuh dengan memberi apresiasi kepada  para guru proses yang berlanjut dari abad ke-9 Masehi dan seterusnya hingga akhirnya muncul institusionalisasi sunnah,tradisionalisme pragmatisme dan sekolah hukum sebagai representasi kelompok Ortodoks Islam yang sebenarnya. Juga sufisme saat itu mengatur menjadi lembaga keagamaan yang anti intelektualisme di dunia Islam. Saljuk yang besar berubah menjadi kesultanan kesultanan kecil dan seiring dengan serangan bangsa Eropa terhadap dinasti tersebut.[14]

1.      Khalif Muiz Lidinillah
Panglima besar jafar Al Siqili pada tahun 358 H/968 M mulai membangun ibu kota yang baru di mesir bagi Dinasti Fatimiyyah atau Daulat fathimiah ( 297 567 H/ 910 1171 M ), yaitu Al quhariah pada pinggir barat sungai Nil, dan mempersiapkan istana untuk tempat kediaman Khalif muiz Lidnillah ( 341-365 / 952 – 975 M ).
Pada masa pemerintahannya yang 23 tahun itu wilayah kekuasaan Daulat Fathimiah, kecuali meliputi Afrika Utara dan Afrika Barat, maka juga telah menguasai Palestina dan Syria dan Kilikia pada belahan utara dan pesisir barat Arabia, termasuk wilayah tanah suci pada belahan tenggara, beserta wilayah Nubia dan pada belahan selatan. Masa pemerintahanya yang 23 tahun itu, demikian Dirasat Tarikhil-Islami, ditandai dengan berbagi ciri dibawah ini :
a.       Bersikap lapang terhadap berbagai keyakinan keagamaan dan aliran paham yang hidup di dalam masyarakat.
b.      Menerbitkan kembali administrasi pemerintahan,dan membentuk departemen khusus bagi urusan mesir depar temen khusus bagi wilayah belahan barat.
c.       Ikhtiar yang terus menurus bagi memperbaiki sumber kehidupan setiap lapisan masyarakat dalam bidang pertanian maupun perdagangan.
d.      Membangun galangan kapal pada pinggiran ibukota yang bernama Magus hingga daulat fathimiah dewasa itu tercatat memiliki angakatan armada sejumlah 600 buah kapal perang.
Khalif Aziz billah (365 386 H/ 975 996) yang memerintah 21 tahun lamanya melanjutkan kebijakasaan bapanya hingga kemakmuran melimpah. Pernemdaharaan negara (bait al- Mali) yang gemuk telah memberikan kesempatan baginya untuk membangun berbagai istana hingga makin memberikan sumber kerja kepada pihak umum.
3.      Khalif hakim Biamrillah
Khalif hakim Biamrillah (486-411 H / 996-1020 M) mengantikan bapanya dan memerintah 25 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya penuh oleh keganjilan-keganjilan pada tindakan yang dilakukannya. Contohnya kelainan jiwanya antara lain:
a.       Ia memerintahkan menutup seluruh toko pada siang hari dan Cuma boleh dibuka malam hari.
b.      Dia melarang kaum wanita keluar rumah dan siapa yang melanggar perintahnya itu dikenakan hukum cambuk.
c.       Minuman keras, bahkan nira dan manisan, diumumkan sebagai minuman terlarang.[15]
Tetapi di samping tindak lakunya yang negatif ada pula beberapa kebijaksannya contohnya:
a.       Ia membangun dar-al hikmah,dan mengeluarkan pembiayaan yang besar untuk memlengkapi perbendaharan dan perpustakaan yang kaya raya.
b.      Ia menyelesaikan bangunan Masjid agung yang dimulai pembangunnya oleh bapanya, dan sampai kini terpandang seni arsitektur yang mengagumkan.
c.       Ia amat gemar kepada masalah masalah astronomi seperti membangun observatorium.

H.    Dinasti Mamluk al-Bahriah
Kemenangan Hulagu Khan yang terus menerus terhadap pihak Islam, hingga berhasil merebut dan menduduki ibu kota Baghdad. Paus Alexander IV (1254-1261M) Hulagu Khan dan panglima Kitbogha pada tahun 1260 M maju dengan pasukannya menuju Syria dengan tujuan  merebut dan menguasai palestina dan mesir sesuai dengan Khakan Mangu (1251-1265). Sulthan Al Zhahir Baibars (1259-1277 M) naik menjabat pada tahun 658 H/ 1259 M dia terpandang sebagai panglima perang perkasa dan seorang negarawan yang cakap.
Pada periode keruntuhan pemerintahan mamluk pada walnya kemenangan (1491M) ini muncuk melawan perluasan kekuatan Utsmani setelah persaingan Panjang daerahnya ditimur dekat (1516-1517 M) kemunculan Utsmani telah mulai abad keempat belas. Di awal periode utsmani dipengaruhi dengan semangat ghazis (perang untuk imam) yang mengilhami Turkoman di asia tengah sejak perang perbatasan di Oxus dan Jaxartes di asia tengah dan memacu mereka dalam perang melawan Byzantium dan Balkan Kristen. Pada akhirnya mereka mengambil alih ide imperial pemerintahan dan organisasi pendahuluan mereka dalam kerajaan Khalif Arab.[16]
Perang salib adalah sebua peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, yaitu antara tahun 1095-1295 M. Faktor faktor yang menyebabkan perang salib ada 3 yaitu :
a.       Faktor agama
Pada tahun 471 H Dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiah yang berkedudukan di Mesir sejak itu. Pada tahun 1095 M Paus urbanus II berpidato di kalangan kaum Kristen ysng terkenal dan cuku memukau yang menggema ke seluruh penjuru Eropa.
Dari apa yang dilakukan oleh Paus dan Peter di atas berhasil membangkitkan fanatisme umat Kristen Eropa dengan terhimpunnya suatu kekuatan besar yang meimpah ruah memasuki Konstantinopel tahun 1097 M dan kemudian mereka membuat serangan peprangan besar terhadap umat islam dan mereka berhasil merebut Kota Yerussalem  pada tahun 1099 M dan mereka berhasil mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya yang bernama Godfrey.
Dinasti Saljuk dapat meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Byzantium setelah pertempuran Manzikart tahun 1071 M telah mengancam kota Konstantinopel sendiri. Paus Urbanus II dalam pidatonya di Clemont tahun 1095 ia menyerukan kepada umat Kristen melakkan perang suci menentang aggressor muslim. Pada sisi lain di tubuh Dinasti Saljuk juga terjadi perpecahan di samping juga adanya bahaya kelaparan dan wabah penyakit pada masa khalifah al-Mustanshir, turut menguntungkan kaum Salib mendapatkan kesuksesannya merebut bait al-Maqdis, tanah suci mereka.[17]
Faktor ekonomi yang dimaksud adalah bahwa para pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Veneria, Genoa dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Dalam peperangan Salib ini, mayoritas masyarakat Eropa ikut ambil bagian di dalamnya. Segenap elemen masyarakat di banyak negara negara, baik raja, bangsawan, petani dan rakyat jelata mempunyai pandangan yang tidak berbeda terhadap perang salib. Dengan kata lain, perang Salib bagi bangsa-bangsa Eropa merupakan perekat kesatuan moral. Akibat dari meletusnya Perang Salib adalah umat Islam mengalami kerugian antara lain:
a.       Orang-orang Kristen memperoleh keuntungan dan pengalaman yang cukup berarti dari kebudayaan dan peradaban islam, misalnya mengetahui kemajuan dunia intelektual di wilayah islam, industri, irigasi, persenjataan, daln lain-lain.
b.      Di bidang perindustrian, pasukan salib banyak yang menemukan kain tenun dan sekaligus peralatan tenunnya, berbagai parfum, dan getah Arab untuk mengharumkan ruangan.
c.       Memberikan pengetahuan mengenai teknologi irigasi dalam sistem pertanian dan penemuan gula bagi umat Kristen.
d.      Di bidang militer, dunia Barat menemukan persenjataan dan teknik berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya, seperti penggunaan bahan-bahan peledak, teknik melatih burung merpati untuk kepentingan informasi militer dan sebagainya.[18]





BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari materi di atas antara lain sebagai berikut:
1.      Revolusi Abbasiyah menurut para ahli dikarenakan karena berbagai teori yang menjadi sebab utama yaitu teori faksionalisme atau teori kelompok kebangsaan, teori faksionalisme sektarian atau teori pengelompokan golongan berdasarkan paham keagamaan, Teori faksionalisme kesukuan. Dan teori yang menekankan kepada ketidak adilan ekonomi dan disparitas regional.
2.      Pada masa Dinasti Abbasiyah telah mengalami berbagai perkembangan antara lain dalam bidang politik, Ilmu Pengetahuan, Sains, dan Pendidikan.
3.      Pada masa Dinasti Abbasiyah terdapat beberapa dinasti yang memiliki peranan penting dalam mengukir sejarah Islam, di antaranya adalah Dinasti Buwaih, Dinasti Saljuk, Dinasti Fatimiyyah, dan Dinasti Mamluk.
4.      Terjadinya Perang Salib merupakan salah satu penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah dan meninggalkan berbagai kerugian bagi umat Islam.









DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, A. Najili.“Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban dan Intelektual”
Dkk, Machfud Syaefudin. 2013. Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta.
Ebta Setiawan, 2010, KBBI Freeware offline versi 1,1.
Fu’adi, Imam. 2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras.
Iqbal. 2015. “Peranan Dinasti Abbasiyah terhadap Peradaban  Dunia”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. 11 No. 2 Desember.
Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka.
Mudzhar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos
Sou’yb, Joesoef. 1978 Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang.
Sulaiman, Rusydi. 2014. Pengantar Metodologi Studi Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


[1] Iqbal, “Peranan Dinasti Abbasiyah terhadap Peradaban  Dunia”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. 11 No. 2 Desember 2015, hlm. 268.
[2] Ebta Setiawan, 2010, KBBI Freeware offline versi 1,1.
[4] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 86-89
[5] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 86-89.
[6] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos 1997), hlm. 88.

[7] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013), hlm. 73.
[8] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013), hlm. 75.
[9] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013), hlm. 76-79.
[10] Machfud Syaefudin, dkk., Dinamika Peradaban Islam Perspektif Historis, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group Yogyakarta, 2013), hlm. 80-81.
[11] A. Najili Aminullah, “Dinasti Bani Abbasiyah, Politik, Peradaban dan Intelektual”, hlm. 25-26.
[12] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: pustaka, 2007), hlm.156-158.
[13] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: pustaka, 2007), hlm.158.
[14] Rusydi  Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),  hlm. 256-266.
[15] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm 232-237.
[16] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm 232-237.
[17] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 113-122.
[18] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 123-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar