Rabu, 07 November 2018

Makalah Ulumul Hadits - MACAM-MACAM HADITS DAN PEMBAGIAN HADITS SECARA KUALITATIF


PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HADITS
SECARA KUALITATIF

A.    Pendahuluan
Hadits, oleh umat Islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Quran. Dalam tatanan aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural hadits merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat global. Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam Al-Quran, maka kita harus merujuk kepada penjelasan yang terdapat dalam hadits.
Oleh karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termasuk dalam Al-Quran. Apalagi di kehidupan sehari-hari jaman sekarang masih banyak terdapat orang yang masih belum memahami apa arti dan kegunaan dari hadits itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun akan menguraikan tentang macam-macam hadist berdasarkan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan supaya bisa mengetahui apa saja pembagian hadits-hadits secara kualitatif sehingga akan memdudahkan pemahamam masyarakat.


B.     Pembahasan
1.      Hadits Mutawatir dan Hadist Ahad
a.       Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berasal dari kata al-mutatabi yang artinya datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.  Menurut beberapa ulama’ salah satunya adalah Mahmud at-Tahhan dalam bukunya Tafsir fii Mustalah al-Hadits, menyatakan:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi secara tradisi”.[1]
Jadi menurut istilah hadis mutawatir dapat disebut sebagai sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak (perawi) yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta sejak awal sanad hingga akhir sanad.[2]
Syarat-syarat hadis ditetapkan sebagai hadis mutawatir, yakni apabila:
1)      Diriwayatkan Oleh Banyak Perawi
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Ada yang berpendapat 3 orang, 4 orang, 5 orang, 10 orang, bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Dengan adanya jumlah perawi yang banyak inilah yang akan memungkinkan bahwa hadis yang disampaikan tidak memiliki keraguan terhadap kebenaran hadis tersebut.
2)      Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya
Terdapat berbagai pendapat mengenai keseimbangan perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat berikutnya. Ada yang berpendapat bahwa, apabila jumlah perawi pada tingkatan awalnya tidak sama dengan tingkatan selanjutnya maka hadis tersebut tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.
3)      Mustahil Bersepakat Bohong
Berdasarkan jumlah perawi yang banyak, maka periwayatan suatu hadis ini secara logika sangat sulit untuk bersepakat berbohong dalam periwayatannya, karena mengingat bahwa hadis yang diriwayatkan tersebut dalam jumlah yang banyak.
Dalam pembagiannya, sebagian ulama membagi hadis mutawatir menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada pula yang membaginya menjadi tiga, yakni dengan menambahkan hadis mutawatir ‘amali. Penjelasannya sebagai berikut:
1)      Mutawatir Lafdzhi
Maksudnya adalah bahwa hadis mutawatir Lafdzhi ini merupakan hadis yang periwayatannya masih dalam satu lafaz. Menurut Tharir Al-Jaza'iri dalam kitabnya Tawjih An-Nadzar yang dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy disebutkan mutawatir lafzhi adalah :
"Hadis yang sesuai lafal para perawinya, baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas. " [3]
2)      Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya.[4]
3)      Mutawatir Amali
Yaitu hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan rasulullah yang disaksikan dan ditiru oleh banyak orang tanpa adanya perbedaan, kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh generasi-generasi berikutnya.[5]
Hadis mutawatir memberi faedah ilmu dharuri atau yakin, dan wajib diamalkan. Artinya, suatu keharusan seseorang meyakini kebenaran berita dari Nabi yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun sebagaimana seseorang menyaksikan sendiri suatu peristiwa dengan mata kepalanya, maka ia mengetahuinya secara yakin. Ilmu dharuri adalah ilmu yang tidak memerlukan pemikiran karena permasalahannyasudah jelas dan gamblang tanpa dipikir terlebih, seperti arah atas, bawah, kanan dan kiri. Ilmu yang dihasilkan secara dharuri diyakini kebenarannya (ilmu yakin) dan pasti kebenarannya (qath'i), tidak ada keraguan.
Seseorang yang mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan dengan jalan periwayatan mutawatir, sama halnya mengingkari ilmu dharuri dengan jalan penyaksian. Dalam hadis mutawatir, dengan jumlah banyak perawi yang tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong sudah cukup dijadikan sebagai alat mencapai tujuan akhir. Oleh karena itu, penelitian sifat-sifat perawi tidak diperlukan sebagaimana dalam hadis ahad.

b.      Hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadits yang para rawinya tidak melebihi jumlah rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir serta tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits: “Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”[6]

2.      Hadits Maqbul, Mardud, dan Musytarak
a.       Hadits Maqbul
Hadits maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat qobul yaitu syarat-syarat diterimanya sebuah hadits sehingga bisa dijadikan dasar sebuah hukum. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Bersambungnya sanad
2)      Keadilan para rawinya
3)      Kedhabithan para perawinya (Perawi hadits harus kuat hafalannya dan tidak pelupa).
4)      Hendaknya hadits tersebut selamat dari syadz.
Syadz adalah pertentangan antara hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqoh (yang adil dan kuat hafalannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih kuat lagi hafalannya.
5)  Hadits tersebut selamat dari illat (penyakit)
6)  Adanya jalan lain yang menguatkan hadits yang lemah
b.      Hadits Mardud
Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima.Secara istilah, Hadits mardud adalah hadits yang tidak kuat kebenaran pembawa beritanya.Ini terjadi karena hilangnya satu atau lebih syarat-syarat diterimanya hadits, seperti yang telah dibahas pada topik hadits shahih.
Hadits mardud terbagi menjadi:
1)      Disebabkan gugur pada sanadnya, atau sanadnya tidak sambung;
2)      Disebabkan cacat pada perawi.
c.       Hadits Musytarak
Yaitu hadits yang berstatus banyak. Untuk menentukan apakah shahih, hasan ataupun dha’if diperlukan penelitian lebih lanjut. Status kehujjahan hadits musytarak juga masih belum dipastikan.[7]
3.      Hadits Ma’mul Bih dan Ghairu Ma’mul Bih
a.       Hadits Ma’mul Bih
Hadits Ma’mul Bih adalah hadits yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat diamalkan. Yang termasuk kategori ini meliputi:
1)      Hadits Muhkam
Muhkam menurut bahasa artinya dikokohkan atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hokum lantaran dapat diamalkan secara pasti, tanpa syuhbat sedikit pun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2)      Hadits Mukhtalaf
Mukhtalaf artinya yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan, dan siamalkan kedua-duanya.
Untuk mendudukan hadits-hadits yang mukalaf ini, para ulamma menggunkan dua cara yaitu:
a)      Thariqotul Jam’I, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang kelihatan berlawanan yang kemudian didudukkan satu-persatu sehingga semua hadits tersebut dapat dipakai.
b)      Thariqotut Tarijh, yaitu hadits-hadits yang dhahir kelihatan bertentangan satu dengan yang lain kemudian dicari keterangan yang paling kuat.
3)      Hadits Rajih[8]
Hadits Rajih yaitu sebuah hadits yang terkuat di antara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya. Riwayat yang tidak dipakai dinamai marjuh artinya yang tidak diberati, yang tidak kuat.
Contoh: Hadits tentang riwayat yang mengatakan Nabi menikah pada saat ihlal. Riwayat Yazid bin Asham itu disebut sebagai rajah dan riwayat Abbas di sebut marjuh.
4)      Hadist Nasikh
Yaitu sebuah hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukun yang terkandung dalam hadits yang datang mendahuluinya. Hadits yang dihapuskan ketentuan hukumnya dinamakan mansukh.
b.      Hadits Ghairu Ma’mul Bih
Hadits ghairu ma’mul bih ialah hadits-hadits maqbul yang tidak bisa di amalkan.
1)      Hadits Marjuh
Yitu sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits maqbul lain yang lebih kuat. Kalau ynag ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukun disebut hadits marjuh.
2)      Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, yakni hadist maqbul yang telah dihapus oleh hadist mqbul yang datang kemudian.
3)      Hadits Mutawaqqaf Fihi
Yaitu dau buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, ditarjihkan dan dipisahkan. Kedua hadits ini mestilah dibekukan sementara.[9]

4.      Hadits Shahih dan Hadits Hasan
a.       Hadits Shahih
Hadist shahih yaitu hadist yang bersambung-sambung sanad-nya atau pertalian perawi-perawinya dengan orang-orang yang adil lagi cukup teguh ingatannya serta terlepas dari segala kegajilan (syudzudz) dan cacat.
Hadist shahih ada 2 macam, yaitu:
1)      Hadist shahih li dzatihi
Maksudnya ialah syarat-syarat lima terseebut benar-benar telah terbukti adanya, bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah satu dan khilaf bagi kepercayaan.
2)      Hadist shahih li ghoirihi
Maksudnya ialah hadist tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadist sahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
b.      Hadist Hasan
Hadist hasan yaitu hadist yang besambung-sambung sanad-nya dengan orang-orang yang adil, tetapi sedikit kurang dari segi ingatan.
Klasifikasi hadist hasan yaitu:
1)      Hadist hasan li-dzatih
Hadist yang pada sanadnya bersambung dengan periwatannya yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak hadist.
2)      Hadist hasan li-ghairih
Hadist yang pada sanadnya ada perawi yang tidka diketahui keahliannyab, tetapi dia bukanlah orang yang terlalau banyak kesalakan dalam meriwayatkan hadist, kemudian ada riwayat dengan sanad lainnya yang bersesuai dengan maknanya.[10]


C.     Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1.      Hadits secara umum terbagi menjadi dua, hadits mutawatir dan hadits ahad.
2.      Hadits ahad berdasarkan kualitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu maqbul, mardud, dan musytarak.
3.      Hadits maqbul ditinjau dari segi implementasinya dibedakan menjadi dua, yaitu ma’mul bih dan ghairu ma’mul bih.
4.      Hadits maqbul ditinjau dari segi urutan kualitasnya  terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Semarang: PT Pustaka Riski Putra.
Khon, Abdul Majid. 2013 Ulumul Hadits. Jakarta: AMZAH.
Mahmud Yunus, H. Mahmud Aziz. Ilmu Musthohalah Hadits. 1984. Jakarta: PT
Hadikarya Agung.
Noorhayati, Salamah. Diklat Ulumul Hadits. 2002. Surabaya: STAIN Tulungagung
Rahmawati, Mohammad Gufron. 2017. Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah. Yogyakarta: Kalimedia


[1] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka Riski Putra: Semarang, 2009)
[2] Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, (Kalimedia: Yogyakarta, 2017), hlm. 105.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (AMZAH: Jakarta, 2013)
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka Riski Putra: Semarang, 2009)
[5] Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, (Kalimedia: Yogyakarta, 2017), hlm. 108.
[6] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka Riski Putra: Semarang, 2009)
[7] Salamah Noorhayati, Diklat Ulumul Hadits, (STAIN Tulungagung, 2002), hlm. 94.
[8] H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Musthohalah Hadits, (PT Hadikarya Agung: Jakarta, 1984)
[9] H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Musthohalah Hadits, (PT Hadikarya Agung: Jakarta, 1984)
[10] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (PT Pustaka Riski Putra: Semarang, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar