BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Aliran Khawarij
Kata khawarij
secara etimologis berasal dari Bahasa Arab kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Adapun khawarij yang dimaksud dalam
terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte/ kelompok/ aliran pengikut Ali bin
Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali
yang menerima arbritase/ tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/ 648
M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khilafah.[1]
Kisah yang
terjadi adalah seperti ini, yakni pada tahun 37 H
Mu’awiyah, Gubernur Syiria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin Ali bin
Abi Thalib. Pemberontakan itu muncul karena di latar belakangi oleh pembunuhan
Usman, sehingga Ali mengeluarkan keputusan untuk memecat Mu’awiyah dari Gubernur
Syiria. Mu’awiyah memiliki dua alasan kenapa dia memberontak. Yang pertama
adalah karena ingin menuntut balas atas kematian Usman yang notabene
adalah keluarganya sendiri, sedangkan yang kedua adalah ingin mempertahankan
jabatannya sebagai gubernur. Sungguh sebuah tipu daya yang licik tengah dilancarkan oleh Mu’awiyah.
Dapat diungkap bahawa kelahiran aliran Khawarij merupakan
ide dari Amru bin Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan Ali
dengan mengangkat lembaran mushaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai
isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Menurut Amru, tawaran bertahkim kepada
Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut Ali dan akan ditolak oleh
yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat juga
tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu
peperangan dapat berhenti. [2]
Dalam Perang Siffin yang terjadi, kelompok Khawarij pada
mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali
merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara
Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang
sah. Berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada
peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Mu’awiyah, kemenangan hampir diraih itu raib.[3]
Ketika akan mengalami kekalahan, Mu’awiyah menyuruh
tentaranya supaya mengangkat mushaf atas ujung lembing dan meminta supaya
menyerahkan masalah peperangan ini kepada keputusan Al-Qur’an. Ali menyuruh
tentaranya supaya terus bertempur, namun ada sebagian tentaranya menentang.
Kebanyakan mereka menghendaki diadakan perdamaian dan menerima ajakan
Mu’awiyah. Ali menampik tawaran itu karena Ali mengetahui bahwa Mu’awiyah, Amr
bin Ash, Ibnu Abi Sarh, dan Ibnu Maslamah adalah tokoh-tokoh politik yang
pandai memperdayakan lawan.[4]
Tetapi Mis’ar bin Fadki at-Tamimi, Zaid bin
Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’ yang mendesak
Ali untuk menerima tahkim tersebut. Awalnya memang Ali menolak, tapi mereka
bahkan mengancam akan memperlakukan Ali seperti apa yang telah mereka lakukan
kepada Usman.[5]
Akhirnya Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka.
Al-Asy’asts bin Qais menawarkan diri untuk menemui
Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya. Mua’wiyah mengatakan: “Mari
kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an.
Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang
yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah,
kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati.” Dengan segera usulan Mu’awiyah
itu disetujui sepenuhnya oleh pasukan sendiri dan mereka sepakat mengutus Amru
bin Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak Ali, kelompok yang tadi
memaksa Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada Ali. Mereka
menunjuk Abu Musa al-Asy’ari, sementara Ali menginginkan Abdullah bin Abbas.[6]
Perundingan di Daumah al-Jandal mengungkap keberhasilan
Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali Usman paling berhak
dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian Usman. Ketika Amru
membicarakan keterlibatan Ali dapan pembunuhan Usman, Abu Musa tidak mau melayani.
Akan tetapi Abu Musa menyelewengkan pembicaraannya dan mengajak Amru untuk
membicaraka hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Dari perbincangan keduanya
tidak menghasilkan kesepakatan bahwa siapa yang akan diangkat menjadi khalifah,
akhirnya disepakati bahwa mereka menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum
muslim.
Seletah perundingan selesai mereka berbalik menentang
tahkim, padahal tadinya mereka juga mendesak Ali menerima tahkim. Sekarang
mereka kemukakan alas an-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung
pandangan dan sikap politik mereka. Menurut mereka, tahkim salah karena hukum
Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kelompok Ali lah yang
berada dipihak yang benar. Menurut kelompok Ali yang beriman, tahkim berarti
meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an.
Mereka teriakan lahukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum
Allah) mereka meminta Ali mengaku salah, bahkan mengakui dia telah kafir karena
menerima tahkim. Mereka mendesak Ali untuk membatalkan hasil kesepakatan
tahkim. Benar-benar mereka adalah golongan kamu
munafik yang hanya memilih bersembunyi di balik banteng yang kuat saja.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi Ali, akhirnya
mereka meninggalan kelompok Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura
yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harurah inilah, maka untuk
pertama kali mereka dikenal dengan nama golongan Al-Haruriyah. Karena
mereka keluar dari golongan Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan Al-Khawarij
bentuk jamak dari khariji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut kharij, adalah
siapa saja yang keluar dari barisan imam yang telah disepakati oleh jamaah,
baik keluar pada masa sahabat dibawah pimpinan Amminah Ar-Rasyiddin atau
pada masa tabi’in atau pada masa imam manapun disetiap masa. Secara etimologis
Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi historis nama khawarih
hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari golongan Ali.
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura
semakin besar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah
mencapai 12.000 orang. Dan mereka kemudian pindah ke Jukha dan berusaha
berunding, akan tetapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam mereka pergi
meninggalkan Jukha, berencana pindah ke Al-Madain tapi ditolak
oleh gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan.[7]
Sejak peristiwa Nahrawan itulah kelompok Khawarij yang
terpecah di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. Antara tahun 39 dan 40 H
berulang kali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras Ali untuk
menghadapinya. Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh Abdurrahman bin
Muljam Al-Murdi. Yang anggota k[8]eluarganya
terbunuh di Nahrawan. Setelah Ali wafat, Mu’awiyah menjabat kedudukan Amirul
Mu’minin selama pemerintahannya 20 tahun tidak mampu membujuk apalagi menumpas Khawarij.[9]
B. Doktrin Doktrin Aliran Kawarij
Di antara doktrin-doktrin pokok aliran khawarij adalah:
1.
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam,
2.
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,
3.
Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat,
4.
Khalifah dipilih secara permanen selama bersangkutan bersikap adil
dna menjalankan syarat islam. Ia dijatuhkan bahakan dibunuh jika melakukan
kezaliman,
5.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa ke kekhilafahannya, Utsman r.a. dianggap
telah menyeleweng,
6.
Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah menjadi arbitrase, ia dianggap menyeleweng,
7.
Mu'awiyah dan Amr bin As-Ash serta Abu Musa Al-Asy'ari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir,
8.
Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir,
9.
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya
harus dibunuh. Mereka menggap bahwa seorang muslim tidak lagi
muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap
kafir, dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula,
10.
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.
Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al hab (negara musuh), sedangkan
golongan mereka dianggap berada dalam dar
al islam (negara islam).
11.
Seseorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng,
12.
Adanya wa'ad dan wa'id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yabg jahat harus masuk
ke dalam neraka),
13.
Amar makruf nahi mungkar,
14.
Memanglingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasyabihat (samar),
15.
Al-Quran adalah makhluk,
16.
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan,
17.
Dosa kecil akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus,
18.
Tidak boleh taqiyyah
(menyembunyikan pendirian),
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum
khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu politik, teologi,
dan sosial. Melihat pengertian politik secara praktis yaitu kemahiran
bernegara, atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh
kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi, dan hasrat manusia
ingin memperoleh kekuasaan. Politik merupakan doktrin sentral khawarij,
timbulnya doktrin ini merupakan reaksi terhadap keberadaan Mu'awiyah yang
sescara teoretis tidak pantasan memimpin negara karena ia seorang tulaqa'. Kebencian khawarij terhadap
Mu'awiyah ditambah dengan kenyataan
bahwa keislamannya belum lama.
Kelompok khawarij
menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang
ditempuh adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahkannya menjadi
khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pula
doktrin teologi tentang dosa besar yakni seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim karenanya harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang
muslim tidak lagi muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang
telah dianggap kafir, dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
Akibatnya doktrinnya menentang pemerintah, khawarij harus menanggung
akibatnya.
Doktrin teologi
khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung doktrin
sentralnya, yaitu doktrin politik. Radikalisasi itu sangat dipengaruhi oleh
sisi budaya yang radikal. Hal lain yang menyebabkan radikalitas itu adalah
asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat badawi dan pengembara padang
pasir tandus. Hal itu telah membentuk watak dan tata pikirnya menjadi keras,
berani, tidak tergantung kepada orang lain, bebas dan tidak gentar hati.
Adapun Selanjutnya
yaitu doktrin teologis-sosial, doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok
khawarij. Sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin-doktrin ini lebih mirip
dengan doktrin Mu'tazilah, meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana
kelompok khawarij masih patut mendalam. Sebab, dapat diasumsikan bahwa
orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama, sebagaimana
dilakukan kelompok khawarij, cenderung
berwatak tekstualis, sehingga menjadi fundamentalis. Seperti halnya seseorang
harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng dan manusia bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari Tuhan.
Keberadaan
mereka yang sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang
aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang
simplistis, telah menjadi mereka bersikap ekstrem. Hal ini sama sekali bukan cerminan dari
agama Islam yang kita kenal. Sudah sepatutnya kita menghindari aliran-aliran
Islam yang bertentangan dengan akidah Islam tersebut.
C.
Perkembangan Aliran Khawarij
1.
Pemikiran dan Gaya
Penafsiran Khawarij terhadap Alquran
Perkembangan
pemikiran sekte khawarij setelah menyatakan keluar dari golongan Ali dan
melahirkan berbagai doktrin-doktrin yang sudah dijelaskan di atas, berikutnya
adalah masalah kedaulatan Tuhan. Artinya, kewenangan bersumber dari Tuhan,
Dengan kata lain, berbagai otoritas yang berada dalam genggaman manusia pada
prinsipnya adalah melaksanakan otoritas Tuhan. Jadi bukan berarti mereka
melenceng terutama dalam hal mempertahankan eksistensi Syari’at, inilah paham
aliran khawarij yang kita anggap keliru.
Dalam aspek
penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran khawarij tidak memiliki kedalaman ilmu
tentang takwil dan mereka juga tidak mau peduli dengan apa yang menjadi maksud
sebenarnya dari ayat-ayat yang bersangkutan. Selain itu mereka tidak membebani
diri dengan berusaha mencari tahu apa sebenarnya arti atau penafsiran ayat-ayat
Alquran, begitu juga berbagai rahasia-rahasia yang tersimpan dibaliknya. Mereka
hanya berhenti pada sebatas lafazh saja. Inilah alasan kenapa khawarij
memalingkan terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat (samar).
Khawarij memiliki
pandangan yang dangkal pada ayat-ayat Alquran.[11]
Di kalangan khwarij sendiri, terdapat banyak mazhab-mazhab yang mempunyai
pemikiran atau pendapat yang berbeda satu dan lainnya. Walaupun mereka berkata
bahwa mereka tetap menisbahkan dan mengakui adanya Alquran. Jadi hal yang perlu
kita koreksi di sini adalah mengenai cara penisbahan kepada Alquran, khawarij
akan menjadikan ayat Alquran sebagai pijakan atas pendapat mereka, jika
ayat-ayat tersebut mendukung pendapat mereka. Sebaliknya, jika persoalan ayat
tersebut tidak sependapat dengan pendapat atau pendirian mereka, mereka
berupaya sekuat tenaga untuk lepas dan mulai memalingkan ayat Alquran sehingga
tidak bertentangan dengan pendapat mereka.
2.
Golongan-Golongan Khawarij
Golongan khawarij
tetap dalam satu kesatuan sampai mereka meninggalkan Abdullah ibn Zubair.
Sebagian pergi ke Bashrah, yang sebagian lagi pergi ke Al-Yamamah.[12]
Golongan khawarij yang berada di Bashrah dipimpin oleh Nafi’ ibn Al-Azraq al-Hanafi
merupakan golongan yang paling kuat dan paling banyak jumlahnya. Mereka
memungut pajak dan mengadakan perdebatan-perdebatan dengan masyarakat. Kemudian
terjadi perbedaan pendapat antara Nafi’ dengan Najdah ibn Amr dan Abdullah ibn
Abi Ibad at-Tamimi. Akhirnya Najdah dan Abdullah memisahkan diri dari golongan
khawarij. Dari sinilah perpecahan golongan khawarij bermula.
Di antara
partai-partai atau mazhab yang dianut oleh golongan khawarij yaitu:
1.
Azraqiah
Yaitu
pengikut-pengikut Nafi’ ibn Al-Azraq, mereka adalah golongan terkuat dan banyak
jumlahnya. Mereka dapat menguasi Ahwaz dan derah-daerah sekitarnya.[13]
Mazhab ini memiliki beberapa prinsip sebagai berikut:
a.
Mereka mengkafirkan selain
dari kelompok mereka,
b.
Haram mengkonsumsi selain
sembelihan dari kelompok mereka,
c.
Haram menikahi yang bukan
dari kelompok mereka,
d.
Tidak boleh mendapat warisan
selain dari kelompok mereka,
e.
Bermuamalah dengan selain
kelompok mereka sama dengan bermualah antara orang kafir dan orang musrik.
Yang menjadi
titik tekan pada partai Azraqiah adalah terkait perbedaan yang begitu besar
antara anggota kelompok dan yang bukan anggota mereka.
2.
Al-Najdad
Merupakan
pengikut Najdah bin Amir, golongan ini berpendapat bahwa berdusta lebih jahat
dari pada berzina, tetapi mengerjakan dosa kecil merupakan syirik, mengerjakan
dosa besar tidak terus-menerus tidaklah merupakan syirik dan bahwa darah ahlul
ahdi wadzdzimmah di dalam darut taqqiyah, halal ditumpahkan.[14]
Di antara
prinsip-prinsip mereka adalah tidak ada keperluan manusia kepada Imam
selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka perlu diangkat
dan jika tidak diperlukan maka tidak boleh diangkat.[15]
Dalam hal ini jelas bahwa partai Al-Najdad tidak memperdulikan terkait pemimpin
mereka, pemimpin akan dipilih jika memang diperlukan dan begitu pula
sebaliknya.
Selain itu, dalam
partai Al-Najdad juga memperbolehkan anggotanya untuk saling menikah, saling
mewarisi, boleh makan sembelihan mereka, boleh diterima kesaksian mereka, tidak
boleh menghianati amanah mereka, boleh memelihara diri dengan jalan
menyembunyikan hal-hal yang tak dapat dilakukan secara terang-ternagan.[16]
Hal ini merupakan kebalikan dari partai Azraqiah.
3.
Al-Safariyyah
Golongan ini
merupakan pengikut dari Abdullah ibn Saffar. Mereka dinamakan demikian karena
wajah mereka pucat lantaran banyak beribadah malam dan mereka menyalahi
golongan-golongan yang telah lalu dalam beberapa urusan. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
a.
Orang yang mengerjakan dosa
besar yang tidak dikenakan hukum had seperti tidak mengerjakan sholat,
dipandang kafir. Orang yang mengerjakan dosa besar yang ada hukuman had seperti
zina, mencuri tidak boleh dikatakan kafir, tetapi hanya dikatakan pezina,
pencuri, dan sebagainya. Golongan ini sependapat dengan golongan Azraqiah.
b.
Orang yang tidak turut
bertempur bersama mereka tidak dikafirkan asal sependirian dalam bidang akidah.[17]
4.
Al-Ibadhiah
Merupakan pengikut Abdullah
bin Ibad, kelompok ini adalah golanhgan khawarij yang paling sederhana atau
moderat ajarannya. [18]
Prinsip-prinsip mazhab atau golongan Ibadhiah adalah orang yang mengerjakan
dosa besar tetap dipandang orang yang meng-Esa-kan Allah, tetapi tidak
dinamakan mukmin lantaran tidak menyempurnakan makna iman dan tidak dinamakan
musyrik karena pada mereka ada dasar tauhid.[19]
Itulah keempat golongan khawarij yang terkenal di antara
golongan-golongan yang lain. Semua aliran yang bersifat radikal, pada
perkembangan lebih lanjut dikategorikan sebagai aliran khawarij selama terdapat
indikasi doktrin yang identic dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini
Harun, seorang ahli Ilmu Kalam mengidentifikasikan beberapa indikasi aliran
yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij masa kini, di antaranya yaitu:
1.
Mudah mengkafirkan orang
yang tidak segolongan dengan mereka, walupun orang tersebut adalah penganut
Agama Islam.
2.
Islam yang benar adalah
Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islam sebagaimana dipahami dan
diamalkan oleh golongan lain tidaklah benar.
3.
Orang-orang Islam yang
tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada Islam yang sebenarnya,
yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
4.
Karena pemerintahan dan ulama
yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, mereka memilih imam dan
golongannya, yaitu imam dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
5.
Mereka bersifat fanatik
dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk
mencapai tujuannya.[20]
D.
Ibrah Kisah Aliran Khawarij
Dari
sejarah Khawarij itu kita bisa dapat mengambil pelajaran bahwa
persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa
mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang
yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat sempit.
Dari
penjelasan di atas, mulai dari latar belakang munculnya aliran khawarij,
berbagai doktrin dari aliran khawarij, dan perkembangan aliran khwarij itu
sendiri, maka kita dapat mengambil ibrah atau nilai yang dapat kita petik sehingga
kita tidak kehilangan arah nantinya. Di
antara ibrah yang dapat kita ambil, adalah sebagai berikut:
1. Selama tidak melanggar akidah, umat Islam bisa saja
menggunakan cara atau sistem yang berlaku setempat untuk membela atau
mempertahankan akidah Islam.
2. Dakwah yang dilakukan oleh da’i harus dilakukan tepat
pada tempat dan waktu atau situasi diperlukan untuk menjawab setiap
permasalahan umat Islam.
3. Kaum muslimin wajib mempersiapkan kader, juru dakwah,
diplomat yang mampu memaparkan masalah dengan baik, serta dapat menangkis ajaran-ajaran
yang bertolak belakang dengan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
Dari
penjelasan materi yang sudah dituliskan, kita dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya aliran khawarij adalah karena
adanya ketidak puasan golongan pendukung Ali, terkait peristiwa tahkim
sehingga mereka memilih keluar dari golongan tersebut. Golongan inilah yang
nantinya menjadi golongan khawarij.
2. Terdapat berbagai doktrin-doktrin yang diterapkan oleh
golongan khawarij yang kebanyakan mengacu pada anggota golongan khawarij serta
berbagai doktrin lain yang terkesan menyeleweng dari ajaran Alquran.
3. Golongan khawarij memiliki berbagai aliran atau
mazhab, di antaranya ada empat mazhab yang paling terkenal yaitu Azraqiah,
Al-Najdad, Al-Saffariyyah, dan Al-Ibadhiah.
4. Ibrah yang dapat kita ambil dari kisah khawarij antara
lain:
a. Selama tidak melanggar akidah, umat Islam bisa saja
menggunakan cara atau sistem yang berlaku setempat untuk membela atau
mempertahankan akidah Islam.
b. Dakwah yang dilakukan oleh da’i harus dilakukan tepat
pada tempat dan waktu atau situasi diperlukan untuk menjawab setiap
permasalahan umat Islam.
c. Kaum muslimin wajib mempersiapkan kader, juru dakwah,
diplomat yang mampu memaparkan masalah dengan baik, serta dapat menangkis
ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan ajaran Islam
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar, Abdul Rozak. 2015. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung:
Pustaka
Setia.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad. 2010. Sejarah &
Pengantar Ilmu
Tauhid/ Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Saputra.
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Ilmu Kalam.
Bumiayu: Teras.
Ubaidillah. 2017. Ilmu Kalam. Purwokerto:
Tanpa Penerbit.
Abrahamov, Binyamin. 1998. Ilmu Kalam Tradisionalisme
dan Rasionalisme
dalam
Teologi Islam. Serambi Ilmu Semesta: Jakarta.
[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 63-64.
[4] Teuku Muhammad
dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 128.
[9] Abdul Rozak dan Rohison Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), hlm. 65-66
[12] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar
Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang:
Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 133.
[14] Teuku Muhammad dan Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang: Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 136.
[16] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar
Ilmu Tauhid/ Kalam, …., hlm. 135-136.
[17] Teuku Muhammad dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar
Ilmu Tauhid/ Kalam (Semarang:
Pustaka Rizki Saputra, 2010), hlm. 139.
[20] Abdul Rozak dan Rohison Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), hlm. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar