Senin, 26 November 2018

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM - ALIRAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Idealisme
1.      Pengertian Idealisme
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[1]
Kata idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain: Seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya. Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan daripada idealism. 
Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, jika seseorang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memiliki roh atau akal.

2.      Jenis-jenis Idealisme
Ada beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal.
a.    Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.[2]
b.    Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam. Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia.
c.    Idealisme Personal (personalisme)
Idealisme personal yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.

3.      Tokoh-tokoh Idealisme
a.      J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
b.      G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel  lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770.[3] Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).


B.     Realisme
Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan “kedunia- lainan” dari filsafat idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek- objek dari indera muncul dalam bentuk apa adanya.[4] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, realisme merupakan paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan, aliran kesenian yang berusaha melukiskan (menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya). Realisme adalah paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan.[5] Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas sebagai dualitas, yaitu dunia fisik dan dunia rohani. Dalam pengertian filsafat, realisme  berarti anggapan bahwa objek indera kita adalah  real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannnya dengan pikiran kita.[6] Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui dan adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.[7]
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa realisme adalah paham yang mengutamakan kerealan atau kenyataan, aliran yang menyatakan bahwa segalanya ditafsirkan sesuai dengan kenyataan. Aliran ini berbeda dengan Idealisme yang memandang hakekat dunia pada dunia spiritual semata dan Materialisme yang memandang hakekat kenyataan adalah kenyataan yang bersifat fisik semata. Realisme memandang dunia ini mempunyai hakekat keduanya, yaitu dunia fisik dan dunia rohani. Realisme adalah filsafat yang timbul pada zaman modern.[8] Orang dapat memiliki pengetahuan yang kurang tepat mengenai benda yang sesungguhnya namun sebaliknya sesorang dapat memiliki gambaran yang tepat mengenai apa yang nampak, yang terlihat di depan matanya.
Menurut Kneller yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh bahwasanya realisme terbagi menjadi dua bentuk, yaitu realisme rasional dan realisme naturalis.
1.         Realisme Rasional
Realisme rasional terbagi menjadi dua bagian yakni  realisme klasik dan realisme religius. Kedua aliran ini sepakat bahwa  dunia materi adalah nyata dan Tomisme (yang menganut paham Thomas Aquinas) berpandangan bahwa materi dan jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan jiwa lebih penting dari pada materi karena Tuhan adalah rohani yang sempurna. Manusia adalah perpaduan kesatuan materi dan rohani dimana badan dan roh menjadi satu. Manusia bebas dan bertanggung jawab untuk bertindak namun juga lahir kedunia untuk mencintai dan mengasihi pencipta, karena manusia mencari kebahagian abadi.[9]
a.    Realisme Klasik
Realisme klasik berpandangan bahwa manusia pada hakekatnya memiliki ciri rasional. Dengan demikian manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Eksistensi Tuhan merupakan penyebab pertama dan utama realistas alam semesta, adanya alam ini pasti ada yang menciptakan, maka dengan adanya ciri rasional inilah manusia dapat mengetahui adanya pencipta alam semesta ini (Tuhan). Dunia  dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip self evident. self evident merupakan hal yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas pembuktian tentang realitas dan kebenaran sekaligus.[10]
b.    Realisme religius
Realisme religius berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas “order natural” dan “order supernatural”. Kedua order tersebut berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan abadi. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai yang abadi.[11]  Sedikit mengenal tokoh dari realisme religius, tokoh dari paham realisme  ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Dia dilahirkan dekat kota Aquio, dan disebut Thomas Aquinas, masa mudanya ai menjadi murid Albertus di Paris. Kemudian ia mengikuti jejak gurunya menjadi pembesar Ordo di Jerman, sekembalinya di Paris ia menjadi dosen di sana.[12]
Mengenai moral, realisme religius menyetujui bahwa manusia dapat memahami banyak hukum moral dengan menggunakan akal, namun hukum-hukum moral tersebut diciptakan oleh Tuhan. Tuhan telah memberkahi manusia dengan kemampuan rasional yang sangat tinggi untuk memahami hukum moral tersebut.[13]
2.         Realisme Naturalis
Teori pengetahuan (epistemologi) realisme natural mengatakan bahwa dunia yang diamati bukan hasil kreasi akal atau jiwa manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya. Aturan-aturan alam tersebut merupakan penampakan atau penampilan dari dunia atau alam itu sendiri.[14] Teori pengetahuan ralisme natural ini berpendapat bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada pengaruh dari manusia, melainkan bersumber asli dari alam itu sendiri sebagaimana adanya.
Realisme natural juga mengajarkan bahwa baik dan salah adalah pemahaman manusia tentang alam, bukan dari prinsip-prinsip nilai agama atau dari luar alam ini. Moralitas dilandasi oleh hasil penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya pada manusia sebagai spisies tertinggi dari hewan.[15] Konsep teori realisme natural mengemukakan bahwa pendidikan berkaitan dengan dunia di sini dan sekarang. Dunia bukanlah suatu yang eksternal melainkan diatur oleh hukum alam. Alam yang mengatur segala apa yang ada di dunia, jiwa merupakan produk alam dan bersifaf bilogis, berkembang dengan cara menyesuaikan diri dengan alam. Dengan demikian pendidikan haruslah ilmiah dan yang menjadi objek penelitiannya adalah kenyataan dalam alam, yakni segala yang ada di dunia ini semuanya bersumber dari alam.

C.     Perenialisme
1.      Pengertian Aliran Perenialisme
Yang dimaksud aliran perenialisme adalah sesuai dengan makna istilah yang menjadi nama aliran ini, yaitu perennial yang berarti everlasting dalam Bahasa Inggris, atau yang berarti abadi. Dalam Bahasa Indonesia berarti dapat hidup beberapa tahun terus-menerus. Inti dari aliran ini adalah nilai-nilai, norma-norma, dan ajaran-ajaran yang bersifat kekal atau abadi.[16]
Pengertian ini dapat kita analogikan seperti bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim. Dari gejala kehidupan bunga mekar dari musim ke musim ini merupakan teras, karena merupakan gejala yang terus ada dan sama. Bila gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu sama lain seolah-olah merupakan benang dengan corak warna yang khas, terus menerus sama (Bernardib, 1994).
Atas dasar pandangan tersebut di atas, maka setiap kejadian perlu diteliti tentang adanya hal-hal atau sesuatu yang selalu berulang kembali dan sama itu. Tanpa usaha yang semacam itu manusia akan kehilangan jejak dan faktor-faktor yang menstabilkan peradabannya sendiri.
2.      Tokoh-Tokoh Aliran Perenialisme
Contoh aliran perenialisme dapat dianalogikan dengan pekerjaan dokter, yaitu pekerjaan pengobatan yang dilakukan oleh Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Bahwa tokoh-tokoh tersebut dapat memberikan pengobatan bagi yang sedang sakit di zaman mereka, meskipun dokter-dokter lain yang dapat memberikan pengobatan juga tidak boleh diabaikan.
Dalam aliran perenialisme, berpendapat bahwa yang dapat memberikan pengobatan adalah tokoh-tokoh tersebut, yakni Plato, Aristoteles, dan Thomas Aguinas, karena mereka memiliki pemikiran pengobatan yang masih dapat pula dipertimbangkan sebagai dasar dan pedoman kebudayaan pada abad seperti sekarang ini. Hal ini membuktikan bahwa, tiga tokoh tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap konsep-konsep perenialisme.
3.      Hubungan Perenialisme dengan Pendidikan
Dalam pendidikan, kaum perelianisme berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan bahkan membahayakan seperti sekarang ini. Hakikatnya, manusia akan menemukan sebuah problematika dalam hidupnya baik itu kecil maupun besar. Jika hal ini terjadi maka hal terakhir yang dilakukan adalah dengan jalan kembali pada kebudayaan atau kepercayaan dahulu. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar Pendidikan sekarang.[17]
Dengan kata lain, perenialisme memberikan suatu solusi pemecahannya dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau”, yaitu kepada kebudayaan yang dianggap ideal. Karena perenialisme memandang sebagai jalan kembaliatau prose pengembalian keadaan manusia sekarang menjadi seperti dalam kebuadayaan ideal yang dimaksud, dalam Bahasa Inggris  disebut “education as cultural regression” (Syam 18.)[18]

D.    Eksistenisialisme
Pengertia eksitensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam fisafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah  eksitensi memeliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada  dengan cara berada benda benda, sebab benda benda tidak sadar akan keberedayaan sebagai sesuatu yang memiliki  hubungan  dengan cara yang lainnya, dan berada di samping yamg lain. secara lengkap eksitensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain.
Secara lengkap eksitensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada. Amat sukar mengatakan apa eksitensialisme itu karena di dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh sungguh tidak sama. Dalam keterangan ini yang amat sederhana ini akan kami najukan sifat sifat umum bagi penganut dan pengikut yang dinamai orang eksistensilisme itu:
1. Orang menyuguhkan dirinya (exstere) dalam kesungguhan yang tertentu
2. Orang yang harus berhubungan dengan dunia
3. Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badan
4. Orang berhubungan dengan ada
Walaupun dalam sifat sifat  yang umum di atas itu ternyata bahwa manusia  (orang) terdapat pada pusat kendali yakni pemikiran eksistensisme, ini filsafat manusia (antropologia), bukan yang terjadi tujuanya ialah mengerti akan realitas seluruhnya, untuk menyadari apakah sebenarnya mengerti itu, maka orang harus mempunyai pengetahuan tentang manusia, yang tau itu. [19]
Keberadaan tersebut tampak nyata dalam pemikiran tokoh tokohnya, seperti Martin Heidegger, Jean Paul Sarte Kart Jaspers dan pada umumnya pola piker dan pemikiran mereka di tekankan kepada masalah “berada”. Satu satunya berda yang sendiri dapat di mengerti sebagai berada ialah berada”-nya manusia .harus dibedakan antara  berada (seni) dan “yang berada” (seined). Ungkapan yang berlaku bagi benda benda, yang bukan manusia.
1.         Sejarah  berdirinya  eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir menantang zamanya. Ia lahir sebagai raksi atau penggerak utama terhadap cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan idialisme, dan barang kali juga kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini terjadi perang dunia, baik yang pertama maupun yang kedua.
Eksistensialisme menentang ajaran materilisme setelah memperhatikan manusia sedalam dalamnya. Materialismde mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya  benda,akibat dari proses unsur usur kimia, manusia  sama saja benda lain, seperti kerbau, pohon dan sebagainya. Tidak berda sama sekali keduanya, sekalipun ada kelebihan manusia apabila di perlihatkan dan di perhatikan pembentuknya[20].
Dengan demikian, materialisme merupakan  usaha atau cara manusia berada  di dunia karera kenyatan manusia berjuang manghadapi dunia. Manusia tidak semata mata ada di dalam dunia. Tetapi ia sadar , hidup dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia dengan memahami arti dan guna dari semuanya benda sehingga ia mengerti apa yg ada di hadapanya. manusia adalah subyek yang sadar. Oleh karena itu, kesalahan  yang dintentang  oleh eksistensialisme karena materialisme memandang manusia dengan materi semata mata tanpa memperhatikan unsur lain. materialisme merupakan unsur  potensi batiniyah yang ada di dalam hati atau tak terlihat, rohaniya yang jelas keliatan atau badan manusia utuh. Padahal, manusia  mempunyai karna bersatu dengan realitas di sekitarnya[21]

E.     Pragmatisme
1.      Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (Bahasa Yunani) yang berarti tindakan. Pragmatisme merupakan suatu kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya), yang bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.[22] Pada dasarnya pragmatisme berpegang teguh pada praktik.[23] Karena itu penganut pragmatisme memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang dilakukan secara terus-menerus dan yang terpenting adalah adanya konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis atau adanya nilai yang diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis tersebut erat hubungannya dengan kebenaran.
2.      Tokoh-Tokoh Aliran Pragmatisme
Salah seorang di antara peletak dasar pragmatisme adalah C. S. Peirce, mengatakan demikian: “Untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praktis apakah yang niscaya akan timbul dari kebenaran konsepsi tersebut.” Jika tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang praktis, maka sudah barang tentu tidak ada makna yang dikandungnya.[24]
Selain tokoh C. S. Peirce di atas, dalam perkembangan aliran pragmatisme muncul tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William James. Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan kegunaannya secara praktis. Tokoh lain dalam paham ini adalah John Dewey dan F. C. S. Schiller.
Bagi William James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktik dapat digunakan, sedangkan putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru. Hal ini menegaskan bahwa dalam aliran pragmatisme sebuah pernyataan atau putusan akan dianggap benar apabila terbukti dapat dipergunakan dalam lingkungan ilmu, seni, dan agama.[25]
Selain tokoh-tokoh aliran pragmatis di atas, Ibnu Khaldun adalah tokoh Islam satu-satunya yang menganut aliran ini. Kaitannya dengan Pendidikan Islam, dia memandang bahwa tujuan Pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif-praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansial semata. Berkaitan dengan hal ini, ia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum Pendidikan menjadi dua bagian:
a.     Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam; Ontologi dan Teologi dari cabang Filsafat.
b.    Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, semisal kebahasa-Araban, ilmu hitung dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat dan bahkan menurut ulama’ Muta’akhirin, dimasukkan pula ilmu Kalam dan Ushul Fiqh.[26]
3.      Makna dan Kebenaran Berhubungan dengan Konsekuensi-Konsekuensi
Seorang penganut pragmatisme melakukan pendekatan terhadap penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang yang berpikir. Karena berpikir adalah suatu cara untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Dengan demikian, maka berpikir secara lurus adalah dengan menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide tersebut memimpin kita untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam kegiatan menyelesaikan masalah. Jika ditemukan suatu penyelesaian masalah maka itulah kebenaran. Dalam kaitannya dengan aliran pragmatisme, kita dapat mengatakan bahwa suatu ide atau tanggapan akan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu atau nilai praktis, dalam hal ini yang dimaksud adalah penyelesaian masalah yang dihadapi.
Pragmatisme membuat kebenaran menjadi pengertian yang dinamis dan nisbi; maksudnya adalah kebenaran akan ditemukan seiring berjalannya waktu, karena setiap masalah adalah hal yang nisbi. Dalam contoh yang diberikan oleh A.C. Lovejoy di dalam tulisannya yang termasyhur yang berjudul “The Thirteen Pragmatisme” dikatakan bahwa orang Yahudi sejak berabad-abad lalu mempercayai adanya seorang Juru Selamat yang pada waktu tertentu akan datang. Memang secara kasat mata hal tersebut tidak atau belum terjadi, tetapi secara biologis, pernyataan atau gagasan tersebut sangat berpengaruh, karena menyebabkan kelangsungan hidup orang Yahudi.[27]
Dari contoh yang diberikan oleh A.C. Lovejoy di atas dapat dikatakan bahwa seorang penganut pragmatisme memiliki konsekuensi atau pertimbangan mereka tersendiri yang bersifat menyelesaikan masalah-masalah nisbi tersebut.












KESIMPULAN

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Adapun beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan idealisme personal.
Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan “kedunia- lainan” dari filsafat idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek- objek dari indera muncul dalam bentuk apa adanya. Menurut Kneller yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh bahwasanya realisme terbagi menjadi dua bentuk yaitu, realisme rasional dan realisme naturalis.
Eksistensialimse adalah memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada.
Yang dimaksud aliran perenialisme adalah sesuai dengan makna istilah yang menjadi nama aliran ini, yaitu perennial yang berarti everlasting dalam Bahasa Inggris, atau yang berarti abadi. Dalam Bahasa Indonesia berarti dapat hidup beberapa tahun terus-menerus. Inti dari aliran ini adalah nilai-nilai, norma-norma, dan ajaran-ajaran yang bersifat kekal atau abadi. Sedangkan tokoh aliran ini diantaranya yaitu, Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Pragmatisme merupakan suatu kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya), yang bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Dengan tokohnya yakni, C. S. Peirce, William James (1842-1910) dan Ibnu Khaldun.



DAFTAR PUSTAKA

Barnadib Imam. 1985. Filsafat Pendidikan Pengantar mengenai sistem dan metode. Yogyakarta: IKIP.
Kaderi, M. Alwi. 2017. “Perenialisme di Era Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah Vol. 6 No.1
Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Knight, Goerge R. 2007. Filsafat Pendidikan. Penerjemah: dr. Mahmud Arif, M.Ag. Yogyakarta: Gama Media.
Mahmudah.2009”Filsafat Eksistensilisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14
Poedjawijatna. 1994. Pembimbing kearah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Ridla, Muhammad Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Sadullah  Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Titus, Nolan, Smith. 1984. Living Issues in Philosophy. Penerjemah: HM Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.








[1] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), hlm. 126.
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 332.
[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta, penerbit Rineka Cipta, 2001), hlm. 329.
[4] Goerge R Knight, Filsafat Pendidikan, penerjemah: dr. Mahmud Arif, M.Ag., (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm. 81.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 23.
[6] Titus, Nolan, Smith, Living Issues in Philosophy,  penerjemah: HM Rasjidi, (Jakarta: Buan Bintang, 1984), hlm. 328.

[7] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 103.
[8]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar mengenai sistem dan metode, (Yogyakarta: IKIP, 1985), hlm. 23.

[9] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 103- 104.
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, ..., hlm. 104.

[11] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 105.
[12] Poedjawijatna, Pembimbing kearah Alam Filsafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 89.
[13] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 106.
[14] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, ..., hlm. 108.

[15] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 109.

[16] M. Alwi Kaderi, “Perenialisme di Era Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah Vol. 6 No.1, Januari-Juni 2017, hlm. 61.
[17] Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017), hlm. 57.
[18] M. Alwi Kaderi, “Perenialisme di Era Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah Vol. 6 No.1, Januari-Juni 2017, hlm. 63
[19] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 345.
[20] Mahmudah..”Filsafat Eksistensilisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14 No. 3, Sep-Des 2009, hlm. 2.
[21] Mahmudah..”Filsafat Eksistensilisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia”. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14 No. 3, Sep-Des 2009, hlm. 3.
[22] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[23] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 129.
[24] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, …, hlm. 130.
[25] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Rineka Cipta, 2001), hlm. 336
[26] Muhammad  Jawwad  Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002), hlm. 104-105.
[27] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar