BAB II
PEMBAHASAN
A.
Idealisme
1.
Pengertian Idealisme
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang
berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk
realita adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah
idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Di dalam filsafat,
idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit).
Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[1]
Kata idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari
arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat mengandung beberapa
pengertian, antara lain: Seorang yang menerima ukuran moral yang tinggi,
estetika, dan agama serta menghayatinya. Orang yang dapat melukiskan dan
menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti
dari kata ide daripada kata ideal. W.E. Hocking, seorang
idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan daripada idealism.
Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari
ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan
benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu
(primer) daripada materi. Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa
mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak
mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan
bukan hakikat. Sebab, jika seseorang akan memikirkan materi dalam hakikatnya
yang terdalam, dia harus memiliki roh atau akal.
2.
Jenis-jenis Idealisme
Ada beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif,
idealisme objektif, dan idealisme personal.
a.
Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan
bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini
tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau
di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri,
atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari
dirinya sendiri atau ide manusia.[2]
b.
Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di
luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa
yang sudah terdapat dalam susunan alam. Menurut idealisme objektif segala
sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide
universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang
bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia.
c.
Idealisme Personal (personalisme)
Idealisme personal yaitu nilai-nilai perjuangannya untuk
menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes terhadap
materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas
dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus,
akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
3.
Tokoh-tokoh Idealisme
a.
J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di
Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu
prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan
seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan
teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan
diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama
ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis.
Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri,
dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan
disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang
Aku.
b.
G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus
1770.[3]
Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya
yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki
sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong
anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki
Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor,
selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher.
Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur
surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah
ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
B.
Realisme
Realisme adalah reaksi terhadap
keabstrakan dan “kedunia- lainan” dari filsafat idealisme. Titik tolak utama
realisme adalah bahwa objek- objek dari indera muncul dalam bentuk apa adanya.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, realisme merupakan paham atau ajaran yang
selalu bertolak dari kenyataan, aliran kesenian yang berusaha melukiskan
(menceritakan sesuatu sebagaimana kenyataannya). Realisme adalah
paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan.[5] Realisme
merupakan filsafat yang memandang realitas sebagai dualitas, yaitu dunia fisik
dan dunia rohani. Dalam pengertian filsafat, realisme berarti anggapan bahwa objek indera kita
adalah real, benda-benda ada, adanya itu
terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan
atau ada hubungannnya dengan pikiran kita.[6] Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui
dan adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan
manusia.[7]
Dari beberapa pengertian diatas
dapat kita ketahui bahwa realisme adalah paham yang mengutamakan kerealan atau
kenyataan, aliran yang menyatakan bahwa segalanya ditafsirkan sesuai dengan
kenyataan. Aliran
ini berbeda dengan Idealisme yang memandang hakekat dunia pada dunia spiritual
semata dan Materialisme yang memandang hakekat kenyataan adalah kenyataan yang
bersifat fisik semata. Realisme memandang dunia ini mempunyai hakekat keduanya,
yaitu dunia fisik dan dunia rohani. Realisme adalah filsafat yang timbul pada
zaman modern.[8]
Orang dapat memiliki pengetahuan yang kurang tepat mengenai benda yang
sesungguhnya namun sebaliknya sesorang dapat memiliki gambaran yang tepat
mengenai apa yang nampak, yang terlihat di depan matanya.
Menurut
Kneller yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh bahwasanya realisme terbagi menjadi
dua bentuk, yaitu realisme rasional dan realisme naturalis.
1.
Realisme
Rasional
Realisme
rasional terbagi menjadi dua bagian yakni
realisme klasik dan realisme religius. Kedua aliran ini sepakat
bahwa dunia materi adalah nyata dan Tomisme (yang menganut paham Thomas
Aquinas) berpandangan bahwa materi dan jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan jiwa
lebih penting dari pada materi karena Tuhan adalah rohani yang sempurna.
Manusia adalah perpaduan kesatuan materi dan rohani dimana badan dan roh
menjadi satu. Manusia bebas dan bertanggung jawab untuk bertindak namun juga
lahir kedunia untuk mencintai dan mengasihi pencipta, karena manusia mencari
kebahagian abadi.[9]
a. Realisme
Klasik
Realisme klasik
berpandangan bahwa manusia pada hakekatnya memiliki ciri rasional. Dengan
demikian manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Eksistensi Tuhan merupakan
penyebab pertama dan utama realistas alam semesta, adanya alam ini pasti ada
yang menciptakan, maka dengan adanya ciri rasional inilah manusia dapat
mengetahui adanya pencipta alam semesta ini (Tuhan). Dunia dikenal
melalui akal, dimulai dengan prinsip self evident. self evident merupakan
hal yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas
pembuktian tentang realitas dan kebenaran sekaligus.[10]
b. Realisme
religius
Realisme
religius berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas “order
natural” dan “order supernatural”. Kedua order tersebut berpusat
pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan abadi. Pendidikan merupakan
suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai yang abadi.[11] Sedikit mengenal tokoh dari realisme
religius, tokoh dari paham realisme ini
adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Dia dilahirkan dekat kota Aquio, dan disebut
Thomas Aquinas, masa mudanya ai menjadi murid Albertus di Paris.
Kemudian ia mengikuti jejak gurunya menjadi pembesar Ordo di Jerman,
sekembalinya di Paris ia menjadi dosen di sana.[12]
Mengenai moral,
realisme religius menyetujui bahwa manusia dapat memahami banyak hukum moral
dengan menggunakan akal, namun hukum-hukum moral tersebut diciptakan oleh
Tuhan. Tuhan telah memberkahi manusia dengan kemampuan rasional yang sangat
tinggi untuk memahami hukum moral tersebut.[13]
2.
Realisme
Naturalis
Teori
pengetahuan (epistemologi) realisme natural mengatakan bahwa dunia yang diamati
bukan hasil kreasi akal atau jiwa manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya.
Aturan-aturan alam tersebut merupakan penampakan atau penampilan dari dunia
atau alam itu sendiri.[14] Teori
pengetahuan ralisme natural ini berpendapat bahwa semua yang ada di dunia ini
tidak ada pengaruh dari manusia, melainkan bersumber asli dari alam itu sendiri
sebagaimana adanya.
Realisme
natural juga mengajarkan bahwa baik dan salah adalah pemahaman manusia tentang
alam, bukan dari prinsip-prinsip nilai agama atau dari luar alam ini. Moralitas
dilandasi oleh hasil penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya
pada manusia sebagai spisies tertinggi dari hewan.[15] Konsep
teori realisme natural mengemukakan bahwa pendidikan berkaitan dengan dunia di
sini dan sekarang. Dunia bukanlah suatu yang eksternal melainkan diatur oleh
hukum alam. Alam yang mengatur segala apa yang ada di dunia, jiwa merupakan
produk alam dan bersifaf bilogis, berkembang dengan cara menyesuaikan diri
dengan alam. Dengan demikian pendidikan haruslah ilmiah dan yang menjadi objek
penelitiannya adalah kenyataan dalam alam, yakni segala yang ada di dunia ini
semuanya bersumber dari alam.
C.
Perenialisme
1.
Pengertian Aliran Perenialisme
Yang dimaksud aliran perenialisme adalah sesuai dengan makna
istilah yang menjadi nama aliran ini, yaitu perennial yang berarti everlasting
dalam Bahasa Inggris, atau yang berarti abadi. Dalam Bahasa Indonesia berarti
dapat hidup beberapa tahun terus-menerus. Inti dari aliran ini adalah
nilai-nilai, norma-norma, dan ajaran-ajaran yang bersifat kekal atau abadi.[16]
Pengertian ini dapat kita analogikan seperti bunga yang terus
menerus mekar dari musim ke musim. Dari gejala kehidupan bunga mekar dari musim
ke musim ini merupakan teras, karena merupakan gejala yang terus ada dan sama.
Bila gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu sama lain seolah-olah
merupakan benang dengan corak warna yang khas, terus menerus sama (Bernardib,
1994).
Atas dasar pandangan tersebut di atas, maka setiap kejadian perlu
diteliti tentang adanya hal-hal atau sesuatu yang selalu berulang kembali dan
sama itu. Tanpa usaha yang semacam itu manusia akan kehilangan jejak dan
faktor-faktor yang menstabilkan peradabannya sendiri.
2.
Tokoh-Tokoh Aliran Perenialisme
Contoh aliran perenialisme dapat dianalogikan dengan pekerjaan
dokter, yaitu pekerjaan pengobatan yang dilakukan oleh Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Bahwa tokoh-tokoh tersebut dapat memberikan pengobatan bagi
yang sedang sakit di zaman mereka, meskipun dokter-dokter lain yang dapat
memberikan pengobatan juga tidak boleh diabaikan.
Dalam aliran perenialisme, berpendapat bahwa yang dapat memberikan
pengobatan adalah tokoh-tokoh tersebut, yakni Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aguinas, karena mereka memiliki pemikiran pengobatan yang masih dapat pula
dipertimbangkan sebagai dasar dan pedoman kebudayaan pada abad seperti sekarang
ini. Hal ini membuktikan bahwa, tiga tokoh tersebut memiliki pengaruh yang
besar terhadap konsep-konsep perenialisme.
3.
Hubungan Perenialisme dengan Pendidikan
Dalam pendidikan, kaum perelianisme berpandangan bahwa dalam dunia
yang tidak menentu dan penuh kekacauan bahkan membahayakan seperti sekarang
ini. Hakikatnya, manusia akan menemukan sebuah problematika dalam hidupnya baik
itu kecil maupun besar. Jika hal ini terjadi maka hal terakhir yang dilakukan
adalah dengan jalan kembali pada kebudayaan atau kepercayaan dahulu.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad
pertengahan perlu dijadikan dasar Pendidikan sekarang.[17]
Dengan kata lain, perenialisme memberikan suatu solusi pemecahannya
dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau”, yaitu kepada kebudayaan
yang dianggap ideal. Karena perenialisme memandang sebagai jalan kembaliatau
prose pengembalian keadaan manusia sekarang menjadi seperti dalam kebuadayaan
ideal yang dimaksud, dalam Bahasa Inggris
disebut “education as cultural regression” (Syam 18.)[18]
D.
Eksistenisialisme
Pengertia eksitensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam
fisafat eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya
di dalam filsafat eksistensialisme istilah
eksitensi memeliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini
berada dengan cara berada benda benda, sebab
benda benda tidak sadar akan keberedayaan sebagai sesuatu yang memiliki hubungan
dengan cara yang lainnya, dan berada di samping yamg lain. secara
lengkap eksitensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping
yang lain.
Secara lengkap eksitensi memiliki makna bahwa manusia berdiri
sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar
bahwa dirinya ada. Amat sukar mengatakan apa eksitensialisme itu karena di
dalamnya terkandung beberapa aliran yang sungguh sungguh tidak sama. Dalam
keterangan ini yang amat sederhana ini akan kami najukan sifat sifat umum bagi
penganut dan pengikut yang dinamai orang eksistensilisme itu:
1. Orang menyuguhkan dirinya (exstere) dalam kesungguhan
yang tertentu
2. Orang yang harus berhubungan dengan dunia
3. Orang merupakan kesatuan sebelum ada
perpisahan antara jiwa dan badan
4. Orang berhubungan dengan ada
Walaupun dalam sifat sifat
yang umum di atas itu ternyata bahwa manusia (orang) terdapat pada pusat kendali yakni
pemikiran eksistensisme, ini filsafat manusia (antropologia), bukan yang
terjadi tujuanya ialah mengerti akan realitas seluruhnya, untuk menyadari
apakah sebenarnya mengerti itu, maka orang harus mempunyai pengetahuan tentang
manusia, yang tau itu. [19]
Keberadaan tersebut tampak nyata dalam pemikiran tokoh tokohnya, seperti
Martin Heidegger, Jean Paul Sarte Kart Jaspers dan pada umumnya pola piker dan
pemikiran mereka di tekankan kepada masalah “berada”. Satu satunya berda yang
sendiri dapat di mengerti sebagai berada ialah berada”-nya manusia .harus
dibedakan antara berada (seni) dan “yang
berada” (seined). Ungkapan yang berlaku bagi benda benda, yang bukan manusia.
1.
Sejarah berdirinya eksistensialisme
Eksistensialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang lahir menantang zamanya. Ia lahir sebagai
raksi atau penggerak utama terhadap cara berfikir yang telah ada seperti
materialisme dan idialisme, dan barang kali juga kekecewaan terhadap agama
(Kristen). Hal ini terjadi perang dunia, baik yang pertama maupun yang kedua.
Eksistensialisme
menentang ajaran materilisme setelah memperhatikan manusia sedalam dalamnya.
Materialismde mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda,akibat dari proses unsur usur kimia,
manusia sama saja benda lain, seperti
kerbau, pohon dan sebagainya. Tidak berda sama sekali keduanya, sekalipun ada
kelebihan manusia apabila di perlihatkan dan di perhatikan pembentuknya[20].
Dengan demikian,
materialisme merupakan usaha atau cara
manusia berada di dunia karera kenyatan
manusia berjuang manghadapi dunia. Manusia tidak semata mata ada di dalam
dunia. Tetapi ia sadar , hidup dan mengalami adanya. Dunia dihadapi manusia
dengan memahami arti dan guna dari semuanya benda sehingga ia mengerti apa yg
ada di hadapanya. manusia adalah subyek yang sadar. Oleh karena itu, kesalahan yang dintentang oleh eksistensialisme karena materialisme
memandang manusia dengan materi semata mata tanpa memperhatikan unsur lain.
materialisme merupakan unsur potensi
batiniyah yang ada di dalam hati atau tak terlihat, rohaniya yang jelas
keliatan atau badan manusia utuh. Padahal, manusia mempunyai karna bersatu dengan realitas di
sekitarnya[21]
E.
Pragmatisme
1.
Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (Bahasa Yunani) yang berarti
tindakan. Pragmatisme merupakan suatu kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai
suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya),
yang bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.[22]
Pada dasarnya pragmatisme berpegang teguh pada praktik.[23]
Karena itu penganut pragmatisme memandang hidup manusia sebagai suatu
perjuangan untuk hidup yang dilakukan secara terus-menerus dan yang terpenting
adalah adanya konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis atau adanya nilai
yang diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang
bersifat praktis tersebut erat hubungannya dengan kebenaran.
2.
Tokoh-Tokoh Aliran Pragmatisme
Salah seorang di antara peletak dasar pragmatisme adalah C. S.
Peirce, mengatakan demikian: “Untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh
sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi
praktis apakah yang niscaya akan timbul dari kebenaran konsepsi tersebut.” Jika
tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang praktis, maka sudah barang tentu
tidak ada makna yang dikandungnya.[24]
Selain tokoh C. S. Peirce di atas, dalam perkembangan aliran
pragmatisme muncul tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William
James. Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik
beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan kegunaannya secara praktis.
Tokoh lain dalam paham ini adalah John Dewey dan F. C. S. Schiller.
Bagi William James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar,
jika pada praktik dapat digunakan, sedangkan putusan yang tak dapat
dipergunakan itu keliru. Hal ini menegaskan bahwa dalam aliran pragmatisme
sebuah pernyataan atau putusan akan dianggap benar apabila terbukti dapat
dipergunakan dalam lingkungan ilmu, seni, dan agama.[25]
Selain tokoh-tokoh aliran pragmatis di atas, Ibnu Khaldun adalah
tokoh Islam satu-satunya yang menganut aliran ini. Kaitannya dengan Pendidikan
Islam, dia memandang bahwa tujuan Pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis
dan lebih berorientasi pada aplikatif-praktis. Dia mengklasifikasikan ilmu
pengetahuan berdasar tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansial
semata. Berkaitan dengan hal ini, ia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan
ke dalam kurikulum Pendidikan menjadi dua bagian:
a.
Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, semisal ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan):
Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam; Ontologi dan Teologi dari cabang Filsafat.
b.
Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu
jenis pertama, semisal kebahasa-Araban, ilmu hitung dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy,
logika bagi filsafat dan bahkan menurut ulama’ Muta’akhirin, dimasukkan
pula ilmu Kalam dan Ushul Fiqh.[26]
3.
Makna dan Kebenaran Berhubungan dengan Konsekuensi-Konsekuensi
Seorang penganut pragmatisme melakukan pendekatan terhadap
penyelesaian masalah dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh orang yang berpikir. Karena berpikir adalah suatu cara untuk menyelesaikan
masalah-masalah kita. Dengan demikian, maka berpikir secara lurus adalah dengan
menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide tersebut memimpin kita
untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam kegiatan menyelesaikan masalah.
Jika ditemukan suatu penyelesaian masalah maka itulah kebenaran. Dalam
kaitannya dengan aliran pragmatisme, kita dapat mengatakan bahwa suatu ide atau
tanggapan akan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan
sesuatu atau nilai praktis, dalam hal ini yang dimaksud adalah penyelesaian
masalah yang dihadapi.
Pragmatisme membuat kebenaran menjadi pengertian yang dinamis dan
nisbi; maksudnya adalah kebenaran akan ditemukan seiring berjalannya waktu,
karena setiap masalah adalah hal yang nisbi. Dalam contoh yang diberikan oleh
A.C. Lovejoy di dalam tulisannya yang termasyhur yang berjudul “The Thirteen
Pragmatisme” dikatakan bahwa orang Yahudi sejak berabad-abad lalu
mempercayai adanya seorang Juru Selamat yang pada waktu tertentu akan
datang. Memang secara kasat mata hal tersebut tidak atau belum terjadi, tetapi
secara biologis, pernyataan atau gagasan tersebut sangat berpengaruh, karena
menyebabkan kelangsungan hidup orang Yahudi.[27]
Dari contoh yang diberikan oleh A.C. Lovejoy di atas dapat
dikatakan bahwa seorang penganut pragmatisme memiliki konsekuensi atau
pertimbangan mereka tersendiri yang bersifat menyelesaikan masalah-masalah
nisbi tersebut.
KESIMPULAN
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang
berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Adapun beberapa
jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan
idealisme personal.
Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan “kedunia- lainan”
dari filsafat idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek- objek
dari indera muncul dalam bentuk apa adanya. Menurut
Kneller yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh bahwasanya realisme terbagi menjadi
dua bentuk yaitu, realisme rasional dan realisme naturalis.
Eksistensialimse adalah memiliki makna bahwa manusia berdiri
sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar
bahwa dirinya ada.
Yang dimaksud aliran perenialisme adalah sesuai dengan makna
istilah yang menjadi nama aliran ini, yaitu perennial yang berarti everlasting
dalam Bahasa Inggris, atau yang berarti abadi. Dalam Bahasa Indonesia berarti
dapat hidup beberapa tahun terus-menerus. Inti dari aliran ini adalah
nilai-nilai, norma-norma, dan ajaran-ajaran yang bersifat kekal atau abadi.
Sedangkan tokoh aliran ini diantaranya yaitu, Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas.
Pragmatisme merupakan suatu kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai
suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya),
yang bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Dengan tokohnya
yakni, C. S. Peirce, William James (1842-1910) dan Ibnu Khaldun.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib
Imam. 1985. Filsafat Pendidikan Pengantar mengenai sistem dan metode.
Yogyakarta: IKIP.
Kaderi, M. Alwi. 2017. “Perenialisme di Era
Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah Vol. 6 No.1
Kattsoff, Louis
O. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Knight, Goerge
R. 2007. Filsafat Pendidikan. Penerjemah: dr. Mahmud Arif, M.Ag.
Yogyakarta: Gama Media.
Mahmudah.2009”Filsafat
Eksistensilisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di
Indonesia”. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14
Poedjawijatna.
1994. Pembimbing kearah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Ridla, Muhammad
Jawwad. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002.
Sadullah Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Titus, Nolan, Smith. 1984. Living Issues in Philosophy. Penerjemah:
HM Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
[1] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1996), hlm. 126.
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 332.
[3] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta, penerbit Rineka Cipta, 2001),
hlm. 329.
[4] Goerge R Knight, Filsafat Pendidikan, penerjemah: dr. Mahmud Arif,
M.Ag., (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm. 81.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 23.
[6] Titus, Nolan, Smith, Living Issues in Philosophy, penerjemah: HM Rasjidi, (Jakarta: Buan
Bintang, 1984), hlm. 328.
[7] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2003), hlm. 103.
[8]Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar
mengenai sistem dan metode, (Yogyakarta: IKIP, 1985), hlm. 23.
[9] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2003), hlm. 103- 104.
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, ..., hlm. 104.
[11] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2003), hlm. 105.
[13] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2003), hlm. 106.
[14] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, ..., hlm. 108.
[15] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2003), hlm. 109.
[16] M. Alwi Kaderi, “Perenialisme di Era Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah
Vol. 6 No.1, Januari-Juni 2017, hlm. 61.
[17] Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2017), hlm. 57.
[18] M. Alwi Kaderi, “Perenialisme di Era Globalisasi”. Jurnal Tarbiyah
Vol. 6 No.1, Januari-Juni 2017, hlm. 63
[20] Mahmudah..”Filsafat
Eksistensilisme: Telaah Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di
Indonesia”. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14 No. 3, Sep-Des
2009, hlm. 2.
[21] Mahmudah..”Filsafat Eksistensilisme: Telaah
Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia”. Jurnal
Pemikiran Alternatif Kependidikan Vol. 14 No. 3, Sep-Des 2009, hlm. 3.
[22] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[23] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1992), hlm. 129.
[24] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, …, hlm. 130.
[25] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta, Rineka Cipta,
2001), hlm. 336
[26] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002), hlm. 104-105.
[27] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1992), hlm. 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar