Minggu, 25 November 2018

MAKALAH ISLAMIC BUILDING - PENDIDIKAN ISLAM


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan telah menjadi ikon yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan dikritisi demi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[1] Bukan hanya oleh pemerhati pendidikan melainkan juga oleh para praktisi pendidikan, masyarakat, dan lain sebagainya. Hal ini karena seiring dengan perkembangan zaman yang tidak dapat terelakkan, menuntut setiap orang memiliki pengetahuan di bidang sains dan teknologi. Maka mau tak mau setiap orang yang tidak ingin tergerus oleh zaman haruslah berproses di pendidikan.
Pendidikan dalam kaitannya dengan agama Islam, Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Melalui pengertian ini kita tahu bahwa pendidikan Islam memfokuskan perubahan tingkah laku manusia atau dengan kata lain sama dengan pendidikan etika.
Sebagai umat Islam sudah sepatutnya kita mengamalkan nilai-nilai pendidikan Islam itu sendiri. Karena pendidikan Islam memiliki prinsip bahwa pendidikan merupakan proses perbantuan pencapaian tingkat keimanan dan berilmu dalam hal ini yang sesuai dengan ajaran agama Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat pendidikan Islam?
2.      Bagimana kaitan antara pendidikan Islam dan kemanusiaan?


PEMBAHASAN

A.    Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (Kemampuan dasar) ana didik melalui ajaran islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Pendidikan, secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasaan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam maka harus berproses melalui sistem kependidikan Islam, baik melalui kelembagaan maupun melalui sistem kurikuler.
Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri manusia itu terletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak (moralitas) dan pengalamannya. Dan keempat potensi esensial ini menjadi tujuan fungsional pendidikan Islam. Oleh karenanya, dalam strategi pendidikan islam, keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik pusat dari lingkaran proses pendidikan, yaitu manusia dewasa yang mukmin atau muslim, muhsin, dan muhlisin mutakin.[2]

1.      Proses dan Produk Pendidikan Islam
Bilamana pendidikan Islam kita artikan sebagai proses, maka diperlukan adanya sistem dan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai dengan proses melalui sistem tertentu, Hal ini karena proses didikan tanpa sasaran dan tujuan yang jelas berarti suatu oportunisme, yang akan menghilangkan nilai hakiki pendidikan.  Oleh karena itu, adanya sasaran dan tujuan merupakan kemutlakan dalam proses kependidikan. Sasaran yang hendak dicapai yang dirumuskan secara jelas dan akurat itulah yang mengarahkan proses kependidikan  Islam ke arah pengembangan optimal pada ketiga aspek kemampuan tersebut yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan, evaluasi merupakan alat pengoreksi kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam proses yang berakibat pada produk yang tidak tepat. Proses mengandung pengertian sebagai penerapan cara-cara atau sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan.[3]

2.      Objek Pendidikan Islam
Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, pendidikan Islam mengidentifikasikan sasarannya pada empat pengembangan fungsi manusia, yaitu :
a.       Menyadarkan manusia sebagai makhluk individu, yaitu makhluk yang hidup di tengah-tengah makhluk lain, manusia haruse bisa memerankan fungsi dan tanggung jawabnya, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama di antara makhluk lainnya dan memfungsikan sebagai khalifah di muka bumi ini.
b.      Menyadarkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial (Homo sosius) manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamannya dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang persamaan, persaudaraan, gotong royong, dan musyawarah sebagai upaya membentuk masyarakat menjadi suatu persekutuan hidup yang utuh.
c.       Menyadarkan manusia sebagai hamba Allah SWT. Manusia sebagai Homo divinans (Makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya.[4]
3.      Pola Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian menuju arah tujuan yang ditetapkan sesuai ajaran Islam. Jalannya proses itu bersifat konsisten dan konstan (tetap) bila dilandasi pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian suatu sistem pendidikan Islam harus berkembang dari pola yang membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama dengan pola dasar tersebut.
Meletakkan pola dasar pendidikan Islam berarti harus meletakkan nilai-nilai dasar agama yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses kependidikan islam dalam rangka mencapai tujuan. Untuk tujuan itu, harus memahami falsafah pendidikan Islam, karena ia mnejadin dasarnya dan sekaligus mengarahkan tujuan.
Oleh karena menyangkut permasalahan falsafah maka dalam pola dasar pendidikan Islam itu mengandung pandangan Islam tentang prinsip-prinsip kehidupan alam raya, prinsip-prinsip kehidupan manusia sebagai pribadi, dan prinsip-prinsip kehidupannya sebagai makhluk sosial. Ketiga prinsip tersebut akan melibatkan pembahasan secara mendalam menurut Istilah teknis filosofis berturut-turut adalah Onologi, Epistemologi, Aksiologi.[5]




B.     Hubungan Pendidikan Islam dengan Kemanusiaan
1.      Dimensi Kefitrahan Manusia
Hakekat kesempurnaan dan kemuliaan derajat manusia antara lain adalah dibekalinya manusia dengan potensi fitrah.[6] Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Kata-kata ini biasanya digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya atau melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya menjadikan, yang diletakkan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa.[7]
Dalam dimensi kefitrahan terkandung makna bahwa individu manusia itu bersih dan mengarahkan diri kepada hal-hal yang benar dan luhur, serta menolak hal-hal yang salah, tidak berguna dan remeh, serta tidak terpuji. Dengan demikian pada hakikatnya manusia adalah diciptakan dalam keadaan fitrahnya yaitu bersih dan suci. Sedangkan segala hal-hal negatif yang timbul adalah terjadi karena pendidikan dan lingkungan yang diperoleh. Maka dari itu pendidikan Islam yang baik dan benar sangatlah dibutuhkan untuk mengembangkan manusia sesuai dengan fitrahnya.
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian bahwa pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakikat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaan, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam Islam.
a.       Hakikat Wujud Manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki jasmani dan ruhani paling mulia. Karena kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik atau pun ruhaninya. Dari segi fisik adalah ketika penciptaan jasad atau fisik manusia menggunakan tanah, setelah itu berproses menjadi bentuk manusia, seperti dijelaskan dalam Q.S al-Hijr: 28. Sedangkan dari segi ruhani, adalah ketika Allah meniupkan ruh kepada manusia ketika masih berada dalam kandungan. Sejak saat inilah manusia menjadi makhluk jasmani dan rohani yang mulia.
b.      Tujuan Penciptaan
1)      Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah Swt (Q.S. Az-Zariyah: 56)
2)      Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30, Q.S. Yunus: 14, Q.S. Al-An’am: 165).
3)      Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat yang saling kenal mengenal, hormat menghormati, dan tolong menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13).
c.       Sumber Daya Manusia
Agar manusia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Allah Swt tidak membiarkan manusia hidup begitu saja tanpa bekjal yang memadai. Allah Swt dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya memberikan potensi insani atau Sumber Daya Manusia (SDM) untuk dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya. Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah Swt”, yang sesungguhnya terdapat dalam fitrah manusia.[8]
d.      Citra Manusia dalam Islam
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakikat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambarlah secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan Islam:
1)      Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
2)      Perjuangan hidup manusia bukan sekadar trial and error belaka, tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas, dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yanag Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manusia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
3)      Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat.[9]

2.      Struktur Fitrah Manusia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa struktur fitrah manusia paling kurang mencakup 5 sebagai berikut. Pertama, fitrah beragama yang bertumpu pada keimanan sebagai intinya. Muhammad Abduh, Ibn Qayyim al Jauziyah, Abul A’la al-Maududi, dan Sayyid Qutub dalam hal ini berpendapat, bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah.
Kedua, fitrah dalam bentuk bakat (mahabib) dan kecenderungan yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian, fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut. Hal tersebut terjadi, karena iman bagi seorang mukmiin merupakan daya penggerak utama (elan vital) dalam dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki dari Allah.[10]
Ketiga, fitrah berupa naluri dan kewahyuan  (revilasi), yang keduannya bagaikan dua sisi dari satu mata uang logam keduannya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan Langgulung yang mengatakan, bahwa fitrah dapat dilihat dari dua segi yakni , pertama dari segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir , dan yang kedua dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan  yang diturunkan kepada Nabi-Nabi-Nya.
Keempat, fitrah berupa kemampuan dasar untuk beragama secara umum, yakni tidak terbatas pada agama Islam saja, melainkan pada agama lainya.
Kelima, fitrah memiliki komponen yang meliputi 1) kecerdasaran yaitu suatu kemampuan bawaan yang pontensial yang mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (professional dalam berbagai bidang kehidupan). 2) insting (naluri) atau gharizah, yaitu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa proses belajar belajar terlebih dahulu. Kemampuan insting ini merupakan bawaan sejak lahir
Berbagai kecakapan yang dibawa sejak lahir ini dapat ditumbuhkan, dikembangankan dan dibina lebih lebih lanjut dan menjadi mahir dan terampil melalui pendidikan dan pengetahuan, dan di sinilah salah satu letak hubungan yang fungsional dan simbiotis antara fitrah dan kegiatan pembelajaran.[11]

3.      Hubungan Struktur Fitrah Manusia dan Kegiatan Bejalar Mengajar.
Kegiatan belajar mengajar sebagaimana telah diurutkan diatas dapat diartikan sebagai upaya memengaruhi jiwa anak didik agar mereka mau melakukan berbagai kegiatan belajar, seperti membaca, memahami, menganalisa, membandingkan, menyimpulkan dan sebaginya dengan motivasi yang tinggi, dan dalam suasana yang menyenangkan, menggairahkan dan mengembirakan. Dalam melalukan kegiatan belajar tersebut, para peserta seperti kecendurungannya yang serba ingin tahu (curiosity), panca indra yang dimilikinya, bakat, minat, kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pandangan tentang fitrah yang demikian itu akan memengaruhi kegiatan proses pembelajaran yang bukan semata-mata ditentukan oleh input (kemampuan dan bakat anak didik) semata, melainkan ditentukan oleh proses-thruput yang dilakukan oleh guru, dan kehendak Allah SWT. Dengan pandangan yang demikian itu, maka kegiatan belajar mengajar harus dimulai dengan menyiapkan anak didik untuk siap mengikuti kegiatan belajar serta berbagai sara prasarana, termasuk guru, lingkungan dan lain sebagainya, sambal tetap memohon petunjuk dari Allah SWT.
Selanjutnya, dengan mengetahi fitrah anak didik berupa, bakat, minat, kecendurungan, kecerdasan dan lainnya, maka setiap guru dapat menyiapkan program pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan latar belakang fitrah-nya itu. Dengan memerhatikan latar belakang fitrah anak didik ini, maka kegiatan pembelajaran akan menjadi menarik dan penuh gairah, karena didasarkan pada keinginan, bakat, dan kecenderungan anak didik. Pelaksanaan proses pembelajar yang demikian itu akan berimplikasi pada ketersediaannya sebagai komponen pendidikan lainnya.[12]


KESIMPULAN

            Dari materi yang telah diuraikan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa hakikat Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (Kemampuan dasar) ana didik melalui ajaran islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Hubungan Pendidikan Islam dengan Kemanusiaan yaitu dengan mengetahi fitrah anak didik berupa, bakat, minat, kecendurungan, kecerdasan dan lainnya, maka setiap guru dapat menyiapkan program pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan latar belakang fitrah-nya itu.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. 2008. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Idris, Muh. Pendidikan Pembebasan (Telaah Terhadap Pemikiran Paulo Freire). Jurnal IAIN Samarinda.
Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Umami, Ida. 2015. “Pengembangan Dimensi Kemanusiaan dalam Islam”. Didaktika Religia Vol. 3, No. 2.



[1] Muh. Idris, Pendidikan Pembebasan (Telaah Terhadap Pemikiran Paulo Freire), Jurnal IAIN Samarinda.
[2] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 22.
[3] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 22-23.
[4] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,…, hlm. 24.
[5] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 37.
[6] Ida Umami, “Pengembangan Dimensi Kemanusiaan dalam Islam”. Didaktika Religia Vol. 3, No. 2 Tahun 2015, hlm. 40.
[7] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 41.
[8] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 61-64.
[9] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.72.
[10] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 78.
[11] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 78-80.
[12] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 80-82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar