PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
telah menjadi ikon yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan dikritisi demi
kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.[1]
Bukan hanya oleh pemerhati pendidikan melainkan juga oleh para praktisi
pendidikan, masyarakat, dan lain sebagainya. Hal ini karena seiring dengan
perkembangan zaman yang tidak dapat terelakkan, menuntut setiap orang memiliki
pengetahuan di bidang sains dan teknologi. Maka mau tak mau setiap orang yang
tidak ingin tergerus oleh zaman haruslah berproses di pendidikan.
Pendidikan dalam
kaitannya dengan agama Islam, Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu
pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi-profesi asasi dalam
masyarakat. Melalui pengertian ini kita tahu bahwa pendidikan Islam memfokuskan
perubahan tingkah laku manusia atau dengan kata lain sama dengan pendidikan
etika.
Sebagai umat
Islam sudah sepatutnya kita mengamalkan nilai-nilai pendidikan Islam itu
sendiri. Karena pendidikan Islam memiliki prinsip bahwa pendidikan merupakan
proses perbantuan pencapaian tingkat keimanan dan berilmu dalam hal ini yang
sesuai dengan ajaran agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat
pendidikan Islam?
2. Bagimana kaitan
antara pendidikan Islam dan kemanusiaan?
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta
perkembangan fitrah (Kemampuan dasar) ana didik melalui ajaran islam ke arah
titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.
Pendidikan, secara teoritis mengandung
pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga
mendapatkan kepuasaan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan”
kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada pertumbuhan sesuai dengan
ajaran Islam maka harus berproses melalui sistem kependidikan Islam, baik
melalui kelembagaan maupun melalui sistem kurikuler.
Esensi dari potensi dinamis dalam setiap diri
manusia itu terletak pada keimanan atau keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak
(moralitas) dan pengalamannya. Dan keempat potensi esensial ini menjadi tujuan
fungsional pendidikan Islam. Oleh karenanya, dalam strategi pendidikan islam,
keempat potensi dinamis yang esensial tersebut menjadi titik pusat dari
lingkaran proses pendidikan, yaitu manusia dewasa yang mukmin atau muslim,
muhsin, dan muhlisin mutakin.[2]
1. Proses dan
Produk Pendidikan Islam
Bilamana pendidikan Islam kita artikan sebagai proses, maka diperlukan
adanya sistem dan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai dengan proses melalui
sistem tertentu, Hal ini karena proses didikan tanpa sasaran dan tujuan yang
jelas berarti suatu oportunisme, yang akan menghilangkan nilai hakiki
pendidikan. Oleh karena itu, adanya
sasaran dan tujuan merupakan kemutlakan dalam proses kependidikan. Sasaran yang
hendak dicapai yang dirumuskan secara jelas dan akurat itulah yang mengarahkan
proses kependidikan Islam ke arah
pengembangan optimal pada ketiga aspek kemampuan tersebut yang didasari dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan, evaluasi merupakan alat pengoreksi
kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam proses yang berakibat pada
produk yang tidak tepat. Proses mengandung pengertian sebagai penerapan
cara-cara atau sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan.[3]
2. Objek
Pendidikan Islam
Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan
memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, pendidikan Islam
mengidentifikasikan sasarannya pada empat pengembangan fungsi manusia, yaitu :
a. Menyadarkan
manusia sebagai makhluk individu, yaitu makhluk yang hidup di tengah-tengah
makhluk lain, manusia haruse bisa memerankan fungsi dan tanggung jawabnya,
manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama di antara
makhluk lainnya dan memfungsikan sebagai khalifah di muka bumi ini.
b. Menyadarkan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial (Homo sosius)
manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya Islam mengajarkan tentang persamaan,
persaudaraan, gotong royong, dan musyawarah sebagai upaya membentuk masyarakat
menjadi suatu persekutuan hidup yang utuh.
c. Menyadarkan
manusia sebagai hamba Allah SWT. Manusia sebagai Homo divinans (Makhluk yang
berketuhanan), sikap dan watak religiusnya perlu dikembangkan sedemikian rupa
sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya.[4]
3. Pola Dasar
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan
kemungkinan berprosesnya bagian-bagian menuju arah tujuan yang ditetapkan
sesuai ajaran Islam. Jalannya proses itu bersifat konsisten dan konstan (tetap)
bila dilandasi pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan
pendidikan Islam. Dengan demikian suatu sistem pendidikan Islam harus
berkembang dari pola yang membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan
berwatak islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut
tidak akan keluar dari pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama dengan pola
dasar tersebut.
Meletakkan pola dasar pendidikan Islam berarti harus meletakkan nilai-nilai
dasar agama yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses kependidikan
islam dalam rangka mencapai tujuan. Untuk tujuan itu, harus memahami falsafah
pendidikan Islam, karena ia mnejadin dasarnya dan sekaligus mengarahkan tujuan.
Oleh karena menyangkut permasalahan falsafah maka dalam pola dasar
pendidikan Islam itu mengandung pandangan Islam tentang prinsip-prinsip
kehidupan alam raya, prinsip-prinsip kehidupan manusia sebagai pribadi, dan
prinsip-prinsip kehidupannya sebagai makhluk sosial. Ketiga prinsip tersebut
akan melibatkan pembahasan secara mendalam menurut Istilah teknis filosofis
berturut-turut adalah Onologi, Epistemologi, Aksiologi.[5]
B. Hubungan
Pendidikan Islam dengan Kemanusiaan
1. Dimensi
Kefitrahan Manusia
Hakekat kesempurnaan dan kemuliaan derajat
manusia antara lain adalah dibekalinya manusia dengan potensi fitrah.[6]
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan
ansyaa yang artinya mencipta. Kata-kata ini biasanya digunakan dalam
al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya
atau melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya
menjadikan, yang diletakkan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa.[7]
Dalam dimensi kefitrahan terkandung makna
bahwa individu manusia itu bersih dan mengarahkan diri kepada hal-hal yang
benar dan luhur, serta menolak hal-hal yang salah, tidak berguna dan remeh,
serta tidak terpuji. Dengan demikian pada hakikatnya manusia adalah diciptakan
dalam keadaan fitrahnya yaitu bersih dan suci. Sedangkan segala hal-hal negatif
yang timbul adalah terjadi karena pendidikan dan lingkungan yang diperoleh.
Maka dari itu pendidikan Islam yang baik dan benar sangatlah dibutuhkan untuk
mengembangkan manusia sesuai dengan fitrahnya.
Konsep fitrah manusia yang mengandung
pengertian bahwa pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau:
(1) Hakikat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaan, (3) Sumber Daya Insani (SDM),
(4) Citra manusia dalam Islam.
a. Hakikat Wujud
Manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki jasmani
dan ruhani paling mulia. Karena kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi
fisik atau pun ruhaninya. Dari segi fisik adalah ketika penciptaan jasad atau
fisik manusia menggunakan tanah, setelah itu berproses menjadi bentuk manusia,
seperti dijelaskan dalam Q.S al-Hijr: 28. Sedangkan dari segi ruhani, adalah
ketika Allah meniupkan ruh kepada manusia ketika masih berada dalam kandungan.
Sejak saat inilah manusia menjadi makhluk jasmani dan rohani yang mulia.
b. Tujuan
Penciptaan
1) Tujuan utama
penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah Swt (Q.S.
Az-Zariyah: 56)
2) Manusia dicipta
untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30, Q.S.
Yunus: 14, Q.S. Al-An’am: 165).
3) Manusia dicipta
untuk membentuk masyarakat yang saling kenal mengenal, hormat menghormati, dan
tolong menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13).
c. Sumber Daya
Manusia
Agar manusia dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya, Allah Swt tidak membiarkan manusia hidup begitu saja tanpa
bekjal yang memadai. Allah Swt dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya
memberikan potensi insani atau Sumber Daya Manusia (SDM) untuk dikembangkan dan
ditingkatkan kualitasnya. Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi
yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah
“kebebasan” dan “hidayah Allah Swt”, yang sesungguhnya terdapat dalam fitrah
manusia.[8]
d. Citra Manusia
dalam Islam
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakikat wujudnya,
tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambarlah secara jelas
bagaimana citra manusia menurut pandangan Islam:
1) Islam
berwawasan optimistik tentang manusia dan menolak sama sekali anggapan
pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia
sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung
jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
2) Perjuangan
hidup manusia bukan sekadar trial and error belaka, tetapi sudah
mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas, dan yang telah digariskan oleh
Tuhan Yanag Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manusia telah diberi pedoman
serta kemampuan, yakni akal dan agama.
3) Manusia makhluk
yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk
dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir, berkehendak, dan berbuat.[9]
2. Struktur Fitrah
Manusia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat
segera diketahui bahwa struktur fitrah manusia paling kurang mencakup 5 sebagai
berikut. Pertama, fitrah beragama yang bertumpu pada keimanan sebagai
intinya. Muhammad Abduh, Ibn Qayyim al Jauziyah, Abul A’la al-Maududi, dan
Sayyid Qutub dalam hal ini berpendapat, bahwa fitrah mengandung kemampuan asli
untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan
fitrah.
Kedua, fitrah dalam bentuk bakat (mahabib)
dan kecenderungan yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian,
fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut. Hal
tersebut terjadi, karena iman bagi seorang mukmiin merupakan daya penggerak
utama (elan vital) dalam dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari
kebenaran hakiki dari Allah.[10]
Ketiga, fitrah berupa naluri dan kewahyuan (revilasi), yang keduannya bagaikan dua sisi
dari satu mata uang logam keduannya saling terpadu dalam perkembangan manusia.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan Langgulung yang mengatakan, bahwa fitrah
dapat dilihat dari dua segi yakni , pertama dari segi naluri sifat pembawaan
manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir , dan
yang kedua dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan
yang diturunkan kepada Nabi-Nabi-Nya.
Keempat, fitrah berupa kemampuan dasar untuk beragama
secara umum, yakni tidak terbatas pada agama Islam saja, melainkan pada agama
lainya.
Kelima, fitrah memiliki komponen yang meliputi 1)
kecerdasaran yaitu suatu kemampuan bawaan yang pontensial yang mengacu kepada
perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (professional dalam
berbagai bidang kehidupan). 2) insting (naluri) atau gharizah, yaitu
kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa proses belajar belajar
terlebih dahulu. Kemampuan insting ini merupakan bawaan sejak lahir
Berbagai kecakapan yang dibawa sejak lahir ini
dapat ditumbuhkan, dikembangankan dan dibina lebih lebih lanjut dan menjadi
mahir dan terampil melalui pendidikan dan pengetahuan, dan di sinilah salah
satu letak hubungan yang fungsional dan simbiotis antara fitrah dan kegiatan
pembelajaran.[11]
3. Hubungan Struktur
Fitrah Manusia dan Kegiatan Bejalar Mengajar.
Kegiatan belajar mengajar sebagaimana telah diurutkan diatas dapat
diartikan sebagai upaya memengaruhi jiwa anak didik agar mereka mau melakukan
berbagai kegiatan belajar, seperti membaca, memahami, menganalisa,
membandingkan, menyimpulkan dan sebaginya dengan motivasi yang tinggi, dan
dalam suasana yang menyenangkan, menggairahkan dan mengembirakan. Dalam
melalukan kegiatan belajar tersebut, para peserta seperti kecendurungannya yang
serba ingin tahu (curiosity), panca indra yang dimilikinya, bakat, minat,
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pandangan tentang fitrah yang demikian itu akan memengaruhi kegiatan proses
pembelajaran yang bukan semata-mata ditentukan oleh input (kemampuan dan
bakat anak didik) semata, melainkan ditentukan oleh proses-thruput yang
dilakukan oleh guru, dan kehendak Allah SWT. Dengan pandangan yang demikian
itu, maka kegiatan belajar mengajar harus dimulai dengan menyiapkan anak didik
untuk siap mengikuti kegiatan belajar serta berbagai sara prasarana, termasuk
guru, lingkungan dan lain sebagainya, sambal tetap memohon petunjuk dari Allah
SWT.
Selanjutnya, dengan mengetahi fitrah anak didik berupa, bakat, minat,
kecendurungan, kecerdasan dan lainnya, maka setiap guru dapat menyiapkan
program pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan latar belakang fitrah-nya
itu. Dengan memerhatikan latar belakang fitrah anak didik ini, maka kegiatan
pembelajaran akan menjadi menarik dan penuh gairah, karena didasarkan pada
keinginan, bakat, dan kecenderungan anak didik. Pelaksanaan proses pembelajar
yang demikian itu akan berimplikasi pada ketersediaannya sebagai komponen
pendidikan lainnya.[12]
KESIMPULAN
Dari
materi yang telah diuraikan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa hakikat Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah
(Kemampuan dasar) ana didik melalui ajaran islam ke arah titik maksimal pertumbuhan
dan perkembangannya.
Hubungan Pendidikan Islam dengan Kemanusiaan yaitu dengan mengetahi fitrah anak didik berupa, bakat, minat, kecendurungan,
kecerdasan dan lainnya, maka setiap guru dapat menyiapkan program pendidikan
dan pengajaran yang sesuai dengan latar belakang fitrah-nya itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi. 2008. Ideologi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Idris, Muh. Pendidikan
Pembebasan (Telaah Terhadap Pemikiran Paulo Freire). Jurnal IAIN Samarinda.
Nata, Abuddin.
2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Umami, Ida.
2015. “Pengembangan Dimensi Kemanusiaan dalam Islam”. Didaktika Religia
Vol. 3, No. 2.
[1] Muh. Idris, Pendidikan Pembebasan (Telaah Terhadap Pemikiran
Paulo Freire), Jurnal IAIN Samarinda.
[6] Ida Umami, “Pengembangan Dimensi Kemanusiaan dalam Islam”. Didaktika
Religia Vol. 3, No. 2 Tahun 2015, hlm. 40.
[10] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 78.
[11] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 78-80.
[12] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 80-82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar