AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN
A.
Pengertian Aksiologi
Aksiologi secara bahasa
(etimologi) berasal dari kata
axios yang memiliki arti nilai dan logos yang memiliki arti yaitu ilmu atau
teori. Jadi, menurut bahasa aksiologi bisa diartikan sebagai ilmu atau teori
yang mempelajari hakikat nilai.[1] Sedangkan,
dalam
buku Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer dijelaskan
bahwa aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan
menurut KBBI aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai khususnya etika. Atau dengan kata lain dapat diartikan
sebagai nilai atau manfaat dari sebuah ilmu pengetahuan yang telah diperoleh
oleh manusia.
Aksiologi
merupakan salah satu cabang
ilmu filsafat yang berfokus membicarakan
tentang orientasi nilai suatu kehidupan manusia. Sehingga, aksiologi dapat disebut juga teori nilai, karena dapat
menjadi rujukan manusia ketika dihadapkan pada suatu persoalan hidup dan
akhirnya timbullah berbagai pertanyaan. Untuk apa hidup ini? Bagaimana cara
uttuk tetap hidup dan bertindak? Teori nilai atau aksiologi inilah yang akhirnya
menimbulkan istilah etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu
yang membahas atau menyoroti
masalah nilai dan manfaat atau kegunaan seuatu. Dalam
hal ini adalah kegunaan dari ilmu pengeteahuan. Keberhasilan mengenai manfaat
ilmu pengetahuan ini dapat jika ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas
kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[2]
Sudah barang yang pasti jika aksiologi
membahas mengenai teori nilai, sebagaimana disampaikan Noor Syam, yang kemudian
dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah Idi, bahwa aksiologi adalah suatu bidang
yang menyelidiki nilai-nilai (value).[3]
Menurut Bramel,
seorang ahli ilmu filsafat,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral, bagian
ini melahirkan sebuah ilmu yang sangat fundamental dalam masyarakat yaitu
etika. Kedua, esthethic expression, yaitu ekspresi keindahan. Sesuai
dengan nama tersebut, maka bagian ini berfokus melahirkan unsur keindahan. Ketiga,
sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang kemudian
akan melahirkan filsafat
sosio-politik yang kini banyak diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat.[4]
Adapun oleh Jujun
S. Suriasumantri, seorang pakar filsafat asal
Indonesia, aksiologi lebih
difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu. Karena itu ilmu dipandang akan bersinggungan
dengan etika
atau moral. Seorang
ilmuwan akan berhasil meyakinkan masyarakat jika dia memiliki sikap sosial dan
etika yang baik. Apakah dia berpikir ilmu tersebut digunakan untuk kebaikan
atau akan digunakannya sebgai sebuah kejahatan, oleh karenanya ilmu akan
mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai etika dan moral peradaban.[5]
B.
Nilai
Seperti yang sudah dijelaskan pada
penjelasan di atas bahwa dalam alam
pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai
adalah sebuah pandangan, cita-cita, dan asumsi seseorang mengenai sesuatu yang
akhirnya menimbulkan tanggapan emosional kepada suatu lingkungan bermasyarakat.
Dalam filsafat, nilai juga
akan berkaitan dengan logika,
estetika, estetika. Logika akan menjawab mengenai apa
yang menjadi hakikat sebuah kebenaran dan membedakan antara sesuatu yang baik
dan tidak baik, serta sesuatu yang benar dan tidak benar. Adapun estetika akan
muncul sebuah perasaan tentang keindahan. Dengan adanya estetika akan muncul
perasaan tentang keindahan atau kejelekan estetika, biasanya hal ini berkaitan
erat dengan karya seni.
1.
Logika
Logika pada dasarnya merupakan suatu teknik atau
metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Dengan
kata lain logika akan menuntun kita untuk berpikir nalar secara rasional. Penalaran akan berkaitan dengan berfikir asas-asas,
patokan-patokan, hukum-hukum dalam logika akan membantu manusia dalam menyelesaikan
suatu permasalahan sehingga dapat menemukan suatu jalan keluar dengan berpikir
mengenai kebenaran. Ketika
kita berpikir secara logika, maka dapat dipastikan kita tidak akan terjerumus
ke dalam kekeliruan.[6]
Dijelaskan
oleh Francis Bacon
dalam bukunya Novum Organum. Sebagaimana
dikutip oleh Effendi yang mengatakan mengenai kekeliruan, yaitu:
a.
The idols of the cave, yaitu
kekeliruan karena sempitnya pemikiran seseorang. Hal ini wajar saja terjadi
dikarenakan tingkat pemahaman seseorang yang berbeda-beda.
b.
The idols of the tribe, yaitu kesesatan yang disebabkan seorang
manusia merasa dirinya lebih baik dari orang lain, misalnya karena berasal dari
suku/ bangsa/ ras yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena minimnya
pengetahuan mengenai keberagaman di kehidupan bermasyarakat. Contohnya adalah
orang Jawa yang merasa lebih baik dari masyarakat yag lain.
c.
The idols of forum, yaitu kesalahan karena kurangnya penguasaan dan
pemahaman Bahasa Sunda, sehingga
mengurangi kemampuan dalam memilih kata-kata dan menggunakannya secara tepat untuk
mengungkapkan suatu kebenaran,
jika tidak maka orang tersebut akan kesulitan untuk mengutarakan argumen. Penguasaan bahasa memang
sangat diperlukan, apalagi di
generasi sekarang ini.
a.
The idols of market, yaitu kekeliruan pada diri seseorang karena terlalu tegar mengeditasi dirinya.
Sehingga seseorang tersebut
tidak memperhatikan keadaan sekitarnya yang justru lebih
berharga.
2.
Etika
Suatu etika, yang berarti dalam waktu berbeda dan
tempat yang berbeda untuk suatu etika untuk subyek yang berbeda tidak akan
mungkin sama. Pada dasarnya sebuah etika tidak bisa
disamakan ketika faktor-faktor yang terlibat dengan etika itu sendiri pun sudah
berbeda. Etika tidak berbentuk tulisan, melainkan dilakukan dengan perbuatan
secara alamiah oleh setiap individu. Ketika
kita mengkaji komunikasi, komunikasi termasuk ilmu
pengetahuan yang memiliki cakupan
yang sangat luas. Hal ini disebabkan komunikasi terdiri atas berbagai konteks komunikasi lain
yang menjadi bagian
dirinya, misalnya
komunikasi antar persona atau antar manusia, komunikasi antar budaya
yang beragam di masyarakat,
periklanan, humas, jurnalistik, berpendapat atau pers, dan sebagainya.
3.
Estetika
Estetika selalu dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dengan dan
dari kelahiran manusia yang notabene
merupakan penikmat seni.
Effendi mengatakan bahawa estetika menyangkut perasaan dan perasaan ini
adalah sebuah perasaan indah. Nilai
keindahan tidak semata-mata pada bentuknya namun
lebih kepada isinya atau makna
yang di kandungnya. Seperti kata-kata yang sering kita
dengar sehari-hari, inner beauty terkadang lebih berharga
dibandingkan penampilan luar saja. Dari pengertian estetika tersebuat dapat menimbulkan sebuah perasaan
senang. Jika sudah senang dapat dikatakan saat itu estetika dan etika tengah
bercampur pada saat yang bersamaan, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi
bahwa wanita yang cantik belum tentu indah, karna kecantikan di sini belum
tentu menimbulkan kesangan pada orang lain.[7]
Dalam buku Encyclopedia
of Philosophy dijelaskan, aksiologi atau yang disebut sebagai Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, yaitu:
a.
Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam
pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam
pengertian yang luas mencankupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,
kebenaran, dan kesucian.
b.
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika
kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk
kepada sesutau yang bernilai seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.
Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana
berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap atau bernilai.
c.
Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai, memberi nilail, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi
ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari
penjelasan di atas nilai merupakan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai.[8]
Sedangkan sebagaimana dituliskan oleh Yinger bahwa dia memandang nilai dalam
tiga kategori: Pertama, nilai sebagai
fakta watak, dalam arti sebagai tanda seberapa jauh seseorang bersedia menjadikannya sebagai pegangan atau acuan dalam pembimbingan dan pengambilan keputusan
suatu masyarakat. Kedua, nilai sebagai fakta kultural,
dalam arti sebagai tanda diterimanya nilai tersebut adalah dijadikannya
kriteria normatif atau syarat dalam pengambilan keputusan oleh anggota masyarakat. Ketiga, nilai sebagai konteks
struktural. Melihat ketiga kategori nilai tersebut,
maka diharapkan nilai yang
ada, baik sebagai fakta, watak, maupun fakta struktural, mampu memberikan
dampak positifnya pada struktur sosial masyarakat yang bersangkutan.[9]
C.
Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Seandainya kita
menanyakan kepada Socrates atau Nietzche terkait apa kegunaan filsafat, agaknya
mereka akan menjawab bahwa dengan filsafat maka manusia akan bisa menjadi
manusia.[10]
Menjadi orang yang bijaksana, adil, sopan, dan semua yang mengarah ke hal-hal
positif secara kodrati. Tetapi kegunaan filsafat dalam rumusan tersebut masih
sangat umum sehingga sulit dipahami. Di sini akan diuraikan dua hal, pertama
kegunaan pengetahuan filsafat dan kedua cara filsafat menyelasaikan masalah.
Berikut penjelasan terkait kegunaan pengetahuan filsafat dan cara filsafat
menyelesaikan masalah.
1.
Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan
masalah, ketiga filsafat sebagai
pandangan hidup (philosophy of life).
Manusia
harus mengetahui mengenai teori filsafat jika tidak ingin diperbudak oleh dunia. Karena sebenarnya dunia
ini dibentuk oleh berbagai teori filsafat. Sebagai contoh seperti terori komunisme di dalam
Marxisme, ajaran Syi’ah Dua Belas di Iran pada filsafat Mulla Shadra. Sebuah
dunia, baik dunia itu besar atau kecil (diri sendiri) tak terelakkan dari yang
bernama filsafat.
Jadi, mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu.
Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang yang
akn menjadi pengajar dalam
bidang filsafat dan berlaku juga dalam bidang lain, karena dengan adanya filsafat
kita bisa mengetahui dan mempelajari sesuatu hal lebih dalam dan lebih
mendetail, tidak hanya pada kulit luarnya atau bagian luarnya saja. Selain
itu, agar kita juga
dapat lebih mudah mengaplikasikannya di kegiatan sehari hari.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara menyelasikan
masalah yang dihadapi. Di sini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model
pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab
terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Dengan kata lain, filsafat
mempunyai fungsi atau kegunaan sebagai sarana menyelesaikan suatu permasalahan.
Dengan berpikir filsafat maka seseorang akan lebih mudah untuk menemukan jalan
keluar.[11]
Filsafat sebagai philosophy
of life sama dengan agama, dalam hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan
penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari langit, maka filsafat (sebagai
pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia. Kegunaan filsafat sebagai
pandangan hidup dalam hal ini ialah membawa ajaran-ajaran mengenai kehidupan
agar mudah dipahami secara rasional. Contoh filsafat sebagai philosophy of life yaitu kegunaan
filsafat bagi akidah, kegunaan filsafat bagi hukum, dan kegunaan filsafat
sebagai bahasa.
2.
Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Seperti yang dijelaskan dalam poin satu di atas bahwa
filsafat berfungsi sebagai methodology maksudnya
sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan bahkan metode dalam metode
dalam memandang dunia (word view). Dalam
kehidupan kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya kesulitan.
Kehidupan di jalani semakin enak bila masalah itu terselesaikan ada banyak cara
menyelesaikan masalah mulai dari amat sederhana sampai sulit.
Sesuai dengan sifatnya, filsafat
menyelesaikan masalahnya secara mendalam dan universal. Penyelesaian maslah
filsafat bersifat secara mendalam artinya ia ingin mencari asal masalah
Universal,aratinya filsafat ingin masalah itu di lihat dalam hubungan seluas
luasnya agar penyelesain itu cepat dan berakibat seluas mungkin.[12]
Penyelesaian masalah filsafat dapat diseleseaikan dengan melihat konteks
masalah yang ada dan dengan disertai sudut pandang yang luas agar mendapatkan
penyelesaian yang baik dan menyeluruh.
D.
Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu
1.
Ilmu dan Moral
Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian
kesimpulan ilmuan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah.
Sedangkan sebodoh-bodohnya umat kerbau, kita tidak curang dan serakah….
Pernyatan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita.[13] Benarkan
makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka
makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran yang
tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka di landasi analisis yang hakiki,
ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Menyimak
masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan imbauan Profesor Ace Partadirja dalam
pidato pengukuhannya selaku Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Gadjah Mada,
yang mengharapkan munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan.
2.
Tanggung Jawab Sosial
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang
dikomunikasikan dan dikajikan secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil
karya ini memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka ia diterima sebagai bagaian
dari kumpulan ilmu pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau
dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual, namun komunikasi
dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individual inilah yang
menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau
Edison dapat mengubah wajah peradaban. Seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial
yang terpikul di bahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyrakat. Namun, yang lebih penting
adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk
keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sering dikatakan orang bahwa ilmu itu terbatas dari
sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberikan
nilai.[14]
Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terkait atau bebas dari nilai-nilai
tertentu, semua itu tergantung pada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan
dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Semua penelaahan ilmu
dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan proses
pengambilan keputusan dalam kehidupan bermasyarakat.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang
ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang
seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini berbeda dengan menghadapi masyarakat
ilmuwan yang etis danj esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat
direncanakan oleh orang awam. Seorang awan kadang-kadang mempercayai asumsi
yang tidak benar karena secara sepintas lalu memang hal itu kelihatannya masuk
akal. Proses rasionalisasi didasarkan kepada jalan pikiran yang keliru atau
materi pemikiran yang tidak benar. Seorang awan terkadang terpukau oleh jalan
pemikiran yang brilian dengan materi yang tidak benar.
Berdasarkan pernyataan di atas, penyusun menyimpulkan
bahwa sebuah tanggung jawab sosial akan selalu muncul bersamaan dengan adanya
seorang ilmuwan yang menyampaikan ide-ide atau teori-teorinya yang mampu
mengubah wajah peradaban. Jika suatu masyarakat yang diberikan ilmu pengetahuan
terkait teori-teori tersebut merupakan seorang masyarakat yang awam, maka
kemungkinan masyarakat akan mudah terpengaruh walau pun teori tersebut belum
tentu benar adanya. Maka dari itu, sebuah tanggung jawab seorang ilmuwan
terhadap masyarakat sangat diperlukan guna tercapainya pemahaman yang benar
sesuai kenyataan yang ada.
3.
Pilihan Moral Seorang Ilmuwan
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan
hasil penemuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang
mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Pengetahuan merupakan kekuasaan,
kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia, atau sebaliknya dapat
pula disalah gunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan
kemanusiaan.[15]
Seorang ilmuwan yang di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahawa
generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil pembangunan
itu efektif maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan
diri dari semua keterkaitannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak
sadar. Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan
ilmuwan untuk bersifat dalm menghadapi bagaimana penemuan itu dibuat.
4.
Revolusi Genetika
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah
keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai
objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak
pernah ada penelaahan ilmu yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja
banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan
ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai objek
penelaahan. Dengan penelitian genetika maka manusia menjadi sangat lain, kita
tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi kita, melainkan menusia itu sendiri sekarang menjadi
objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan
kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.[16]
E. Aksiologi Ilmu Pendidikan
Konsep-konsep yang diperoleh dari Ilmu
Pendidikn yang secara langsung atau tidak langsung dapat berguna untuk meningkatan
kelancaran dan keberhasilan praktik pendidikan, baik dalam bentuk kegiatan
pendidikan maupun pengelolaan pendidikan. Dari peneltian Arora Kamla bahwasanya
karakteristik pribadi sangat berpengaruh terhadap efektivitas guru dalam
mengajar adalah: (1) kepercayaan diri, (2) rasa wajib dan tanggung jawab, (3)
suara yang merdu dan khas, dan (4) kesehatan yang baik. Kepercayaan diri
merupakan karakteristik pribadi yang
sangat
berguna untuk mempengaruhi
efektivitas guru dalam mengajar.
Konsep-konsep yang diperoleh dari Ilmu Pendidikan
juga dapat memberi pedoman dasar kerja pendidik/pengelola pendidikan
dalam melaksanakan tugasnya.
Konsep-konsep
yang dikembangkan Ilmu Pendidikan akan bersangkut-paut dengan
bagaimana proses pengelolaan dan pelaksanaan praktik pendidikan terselenggara. Oleh karena itu, konsep-konsep
tersebut dapat dikatakan
sebagai prinsip-prinsip tentang praktik
pengelolaan dan kegiatan pendidikan (mendidik). Menurut salah seorang
peneliti yang bernama Arora Kamla
menyatakn bahwa karakteristik dari seorang yang ahli dalam pengelolaan dan kegiatan
mendidik sangat mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar adalah
bersangkutan dengan kemampuan-kemampuan: (1) menerangkan dengan jelas
topik-topik yang akan dijadikan bahan ajaran, (2) menyajikan dengan jelas
tentang mata pelajaran, (3) Mengatur secara terperinci tentang mata pelajaran,
(4) berekspresi, (5) membangkitkan minat dan dorongan siswa untuk belajar, dan
(6) menyusun rencana dan persiapan mengajar.[17]
Dari situ kita dapat mengetahui bahwa Ilmu Pendidikan akan membantu seorang
pendidik jika memiliki konsep-konsep yang menunjang keberhasilan praktik
pendidikan seperti yang telah dikemukaan oleh Arora Kamla di atas. Hasil
penelitian Arora Kamla menunjukkan bahwa karakteristik, latar belakang, dan
keahlian yang sangat mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar, tidak hanya
berkaitan dengan kemampuan menyesuaikan pengetahuan tentang mata pelajaran
secara akurat, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan menyesuaikan mata
pelajaran dengan tingkat pemahaman siswa. Penguasaan konsep-konsep pendidikan
merupakan suatu hal yang berguna bagi derajat keahlian akademi/pengelola
pendidik, yang pada akhirnya akan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap
kelancaran dan keberhasilan praktek pendidikan.
Hasi dari suatu ilmu pendidikan adalah
konsep-konsep ilmiah
tentang aspek-aspek dan ukuran-ukuran
pendidikan
sebagai satu gejala dalam kehidupan manusia. Dengan demikian pemahaman terhadap suatu konsep-konsep ilmiah
pendidikan berpotensi memiliki kegunaan untuk mengembangkan isi dan metode ilmu pendidikan. Disamping itu, bisa
berpotensi juga membantu meningkatkan wawasan dan keyakinan diri koma baik
sebagai ahli pendidikan atau sebagai praktisi pendidikan. Konsep-konsep ilmiah
pendidikan sangat erat atau bisa
dikatakan
tertuju pada
konsep tentang manusia. Oleh karena itu suatu konsep-konsep ilmiah
pendidikan secara potensial dapat
mendorong
perkembangannya pemikiran tentang hakikat manusia.
Pendidikan selain untuk menuntut
pegetahuan, bertujuan untuk membentuk para peserta didik yakni dalam sisitem pendidikan. Pendidikan bertujuan
untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan kepribadian
seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus
diperbarui secara utuh dan bulat dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai
ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini bisa disimpulkan bahwasanya di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa
kepribadian secara sempurna.[18]
F. Integrasi Aksiologi Ilmu dan Agama
Aksiologi adalah salah satu cabang
filsafat yang membahas masalah nilai, sehingga aksiologi diartikan sebagai
filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain adalah apa
sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat obyektif atau subyektif, apakah
fakta mendahului nilai ataukah nilai mendahului fakta.[19]
Sebagai cabang filsafat, aksiologi memiliki ranting yaitu logika yang
membicarakan nilai kebenaran, dalam arti kebenaran rasional; etika yang
membicarakan nilai kebaikan; dan estetika yang membicarakan nilai keindahan.
Dalam persoalan ini sebenarnya ada satu
nilai lagi yaitu keilahian yang secara khusus dibicarakan dalam teologi, namun
teologi bukanlah ranting aksiologi karena merupakan cara ilmu tersendiri. Oleh
karen aksiologi berbicara tentang berbagai tentang hal tentang nilai, maka ada
sementara pendapat mengatakan bahwa
filsafat tidak lain adalah aksiologi itu sendiri. Secara aksiologis, hubungan
ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai
(kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) saling mengkualifikasi satu
dengan yang lain. nilai kebenaran yang seringkali menjadi tolok ukur utama
ilmu, merupakan kebenaran yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus.
Justifikasi ilmu tidak hanya benar-salah
(nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk di dalamnya baik buruk (nilai
kebaikan), indah jelek (nilai keindahan), dan sakral/ halal-haram (nilai
keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak hanya untuk ilmu tetapi harus
disinari oleh nilai tertinggi, yaitu nilai ilahian (ketuhanan). Hal ini akan membuat keseluruhan
nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan ilmu menjadi ilmu yang bermoral.
Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofi yang didalamnya terdiri
atas tiga pilar yaitu ontologi, epistemologi, dan yang tak kalah penting yaitu aksiologi.
Sehingga agama tidak menjadi landasan etis namun menjadi landasan filosofis
bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian outcome yang dihasilkan adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun
ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuan yang beragama Islam
yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat keimanannya, sedangkan ilmuwan
Islam adalah ilmuan yang tidak hanya kuat keimanannya namun yang dapat
menjadikan Islam sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu pengetahuan.[20]
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulhak,
Ishak. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Adib, Mohammad. 2014. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aziz, Abd. 2009. Filsafat
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.
Bakhtiar,
Amsal. 2016. Filsafat Ilmu. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Santoso, Heri, dkk. 2003. Filsafat Ilmu Sosial Ikhtiar Awal
Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial.
Yogyakarta: Gama Media.
Qadam, Izah Ulya.
2015. Kualitas Pendidikan Berbasis
Filsafat Ilmu. Semarang: Jurnal
Penelitian, Vol. 9, No.2: 340-341.
S. Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capta. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zamroni, Mohammad. 2009.
Filsafat Komunikasi Pengantar Ontologis, Epistimologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu
[1] Heri Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial Ikhtiar Awal
Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 84.
[2] Mohammad Adib, Filsafat
Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 78-79.
[5] Mohammad Zamroni, Filsafat
Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), hlm. 101.
[6] Mohammad Zamroni, Filsafat
Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), hlm. 101-102.
[7] Mohammad Zamroni, Filsafat
Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), hlm.
103-105
[10] Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak
Thales sampai Capta, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.
42.
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), hlm. 88-90.
[12] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), hlm.103-104.
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm.
229.
[14] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm.
237-244.
[15] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm
hlm. 246-252.
[16] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm. 253-254.
[17] Ishak
Abdulhak, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 195-196.
[18] Ishak Abdulhak, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 197.
[19] Izah Ulya Qadam, “Kualitas
Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu”. Jurnal Penelitian, Vol. 9, No.2,
Agustus 2015”, hlm. 340-341.
[20] Izah Ulya Qadam, “Kualitas
Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu”. Jurnal Penelitian, Vol. 9, No.2,
Agustus 2015, hlm. 340-341.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar