Rabu, 07 November 2018

ILMU FILSAFAT - AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN


AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN

A.    Pengertian Aksiologi
Aksiologi secara bahasa (etimologi) berasal dari kata axios yang memiliki arti nilai dan logos yang memiliki arti yaitu ilmu atau teori. Jadi, menurut bahasa aksiologi bisa diartikan sebagai ilmu atau teori yang mempelajari hakikat nilai.[1] Sedangkan, dalam buku Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer dijelaskan bahwa aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan menurut KBBI aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai khususnya etika. Atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai nilai atau manfaat dari sebuah ilmu pengetahuan yang telah diperoleh oleh manusia.
Aksiologi merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang berfokus  membicarakan tentang orientasi nilai suatu kehidupan manusia. Sehingga, aksiologi dapat disebut juga teori nilai, karena dapat menjadi rujukan manusia ketika dihadapkan pada suatu persoalan hidup dan akhirnya timbullah berbagai pertanyaan. Untuk apa hidup ini? Bagaimana cara uttuk tetap hidup dan bertindak? Teori nilai atau aksiologi inilah yang akhirnya menimbulkan istilah etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang membahas atau menyoroti masalah nilai dan manfaat atau kegunaan seuatu. Dalam hal ini adalah kegunaan dari ilmu pengeteahuan. Keberhasilan mengenai manfaat ilmu pengetahuan ini dapat jika ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[2]
Sudah barang yang pasti jika aksiologi membahas mengenai teori nilai, sebagaimana disampaikan Noor Syam, yang kemudian dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah Idi, bahwa aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value).[3] Menurut Bramel, seorang ahli ilmu filsafat, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bagian ini melahirkan sebuah ilmu yang sangat fundamental dalam masyarakat yaitu etika. Kedua, esthethic expression, yaitu ekspresi keindahan. Sesuai dengan nama tersebut, maka bagian ini berfokus melahirkan unsur keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang kemudian akan melahirkan filsafat sosio-politik yang kini banyak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.[4]
Adapun oleh Jujun S. Suriasumantri, seorang pakar filsafat asal Indonesia, aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu. Karena itu ilmu dipandang akan bersinggungan dengan etika atau moral. Seorang ilmuwan akan berhasil meyakinkan masyarakat jika dia memiliki sikap sosial dan etika yang baik. Apakah dia berpikir ilmu tersebut digunakan untuk kebaikan atau akan digunakannya sebgai sebuah kejahatan, oleh karenanya ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai etika dan moral peradaban.[5]

B.     Nilai
Seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan di atas bahwa dalam alam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai adalah sebuah pandangan, cita-cita, dan asumsi seseorang mengenai sesuatu yang akhirnya menimbulkan tanggapan emosional kepada suatu lingkungan bermasyarakat. Dalam filsafat, nilai juga akan berkaitan dengan logika, estetika, estetika. Logika akan menjawab mengenai apa yang menjadi hakikat sebuah kebenaran dan membedakan antara sesuatu yang baik dan tidak baik, serta sesuatu yang benar dan tidak benar. Adapun estetika akan muncul sebuah perasaan tentang keindahan. Dengan adanya estetika akan muncul perasaan tentang keindahan atau kejelekan estetika, biasanya hal ini berkaitan erat dengan karya seni.
1.      Logika
Logika pada dasarnya merupakan suatu teknik atau metode yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Dengan kata lain logika akan menuntun kita untuk berpikir nalar secara rasional. Penalaran akan berkaitan dengan berfikir asas-asas, patokan-patokan, hukum-hukum dalam logika akan membantu manusia dalam menyelesaikan suatu permasalahan sehingga dapat menemukan suatu jalan keluar dengan berpikir mengenai kebenaran. Ketika kita berpikir secara logika, maka dapat dipastikan kita tidak akan terjerumus ke dalam kekeliruan.[6]
Dijelaskan oleh Francis Bacon dalam bukunya Novum Organum. Sebagaimana dikutip oleh Effendi yang mengatakan mengenai kekeliruan, yaitu:
a.       The idols of the cave, yaitu kekeliruan karena sempitnya pemikiran seseorang. Hal ini wajar saja terjadi dikarenakan tingkat pemahaman seseorang yang berbeda-beda.
b.      The idols of the tribe, yaitu kesesatan yang disebabkan seorang manusia merasa dirinya lebih baik dari orang lain, misalnya karena berasal dari suku/ bangsa/ ras yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena minimnya pengetahuan mengenai keberagaman di kehidupan bermasyarakat. Contohnya adalah orang Jawa yang merasa lebih baik dari masyarakat yag lain.
c.       The idols of forum, yaitu kesalahan karena kurangnya penguasaan dan pemahaman Bahasa Sunda, sehingga mengurangi kemampuan dalam memilih kata-kata dan menggunakannya secara tepat untuk mengungkapkan suatu kebenaran, jika tidak maka orang tersebut akan kesulitan untuk mengutarakan argumen. Penguasaan bahasa memang sangat diperlukan, apalagi di generasi sekarang ini.
a.       The idols of market, yaitu kekeliruan pada diri seseorang karena terlalu tegar mengeditasi dirinya. Sehingga seseorang tersebut tidak memperhatikan keadaan sekitarnya yang justru lebih berharga.
2.      Etika
Suatu etika, yang berarti dalam waktu berbeda dan tempat yang berbeda untuk suatu etika untuk subyek yang berbeda tidak akan mungkin sama. Pada dasarnya sebuah etika tidak bisa disamakan ketika faktor-faktor yang terlibat dengan etika itu sendiri pun sudah berbeda. Etika tidak berbentuk tulisan, melainkan dilakukan dengan perbuatan secara alamiah oleh setiap individu. Ketika kita mengkaji komunikasi, komunikasi termasuk ilmu pengetahuan yang memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan komunikasi terdiri atas berbagai konteks komunikasi lain yang menjadi bagian dirinya, misalnya komunikasi antar persona atau antar manusia, komunikasi antar budaya yang beragam di masyarakat, periklanan, humas, jurnalistik, berpendapat atau pers, dan sebagainya.
3.      Estetika
Estetika selalu dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dengan dan dari kelahiran manusia yang notabene merupakan penikmat seni. Effendi mengatakan bahawa estetika menyangkut perasaan dan perasaan ini adalah sebuah perasaan indah. Nilai keindahan tidak semata-mata pada bentuknya namun lebih kepada isinya atau makna yang di kandungnya. Seperti kata-kata yang sering kita dengar sehari-hari, inner beauty terkadang lebih berharga dibandingkan penampilan luar saja. Dari pengertian estetika tersebuat dapat menimbulkan sebuah perasaan senang. Jika sudah senang dapat dikatakan saat itu estetika dan etika tengah bercampur pada saat yang bersamaan, bukan hanya sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita yang cantik belum tentu indah, karna kecantikan di sini belum tentu menimbulkan kesangan pada orang lain.[7]
Dalam buku Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi atau yang disebut sebagai Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, yaitu:
a.       Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang luas mencankupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesutau yang bernilai seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap atau bernilai.
c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilail, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari penjelasan di atas nilai merupakan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[8] Sedangkan sebagaimana dituliskan oleh Yinger bahwa dia memandang nilai dalam tiga kategori: Pertama, nilai sebagai fakta watak, dalam arti sebagai tanda seberapa jauh seseorang bersedia menjadikannya sebagai pegangan atau acuan dalam pembimbingan dan pengambilan keputusan suatu masyarakat. Kedua, nilai sebagai fakta kultural, dalam arti sebagai tanda diterimanya nilai tersebut adalah dijadikannya kriteria normatif atau syarat dalam pengambilan keputusan oleh anggota masyarakat. Ketiga, nilai sebagai konteks struktural. Melihat ketiga kategori nilai tersebut, maka diharapkan nilai yang ada, baik sebagai fakta, watak, maupun fakta struktural, mampu memberikan dampak positifnya pada struktur sosial masyarakat yang bersangkutan.[9]

C.     Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Seandainya kita menanyakan kepada Socrates atau Nietzche terkait apa kegunaan filsafat, agaknya mereka akan menjawab bahwa dengan filsafat maka manusia akan bisa menjadi manusia.[10] Menjadi orang yang bijaksana, adil, sopan, dan semua yang mengarah ke hal-hal positif secara kodrati. Tetapi kegunaan filsafat dalam rumusan tersebut masih sangat umum sehingga sulit dipahami. Di sini akan diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan kedua cara filsafat menyelasaikan masalah. Berikut penjelasan terkait kegunaan pengetahuan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah.
1.      Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life). Manusia harus mengetahui mengenai teori filsafat jika tidak ingin diperbudak oleh dunia. Karena sebenarnya dunia ini dibentuk oleh berbagai teori filsafat. Sebagai contoh seperti terori komunisme di dalam Marxisme, ajaran Syi’ah Dua Belas di Iran pada filsafat Mulla Shadra. Sebuah dunia, baik dunia itu besar atau kecil (diri sendiri) tak terelakkan dari yang bernama filsafat.
Jadi, mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang yang akn menjadi pengajar dalam bidang filsafat dan berlaku juga dalam bidang lain, karena dengan adanya filsafat kita bisa mengetahui dan mempelajari sesuatu hal lebih dalam dan lebih mendetail, tidak hanya pada kulit luarnya atau bagian luarnya saja. Selain itu, agar kita juga dapat lebih mudah mengaplikasikannya di kegiatan sehari hari.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara menyelasikan masalah yang dihadapi. Di sini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Dengan kata lain, filsafat mempunyai fungsi atau kegunaan sebagai sarana menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan berpikir filsafat maka seseorang akan lebih mudah untuk menemukan jalan keluar.[11]
Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari langit, maka filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia. Kegunaan filsafat sebagai pandangan hidup dalam hal ini ialah membawa ajaran-ajaran mengenai kehidupan agar mudah dipahami secara rasional. Contoh filsafat sebagai philosophy of life yaitu kegunaan filsafat bagi akidah, kegunaan filsafat bagi hukum, dan kegunaan filsafat sebagai bahasa.
2.      Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Seperti yang dijelaskan dalam poin satu di atas bahwa filsafat berfungsi sebagai methodology maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan bahkan metode dalam metode dalam memandang dunia (word view). Dalam kehidupan kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan di jalani semakin enak bila masalah itu terselesaikan ada banyak cara menyelesaikan masalah mulai dari amat sederhana sampai sulit.
      Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalahnya secara mendalam dan universal. Penyelesaian maslah filsafat bersifat secara mendalam artinya ia ingin mencari asal masalah Universal,aratinya filsafat ingin masalah itu di lihat dalam hubungan seluas luasnya agar penyelesain itu cepat dan berakibat seluas mungkin.[12] Penyelesaian masalah filsafat dapat diseleseaikan dengan melihat konteks masalah yang ada dan dengan disertai sudut pandang yang luas agar mendapatkan penyelesaian yang baik dan menyeluruh.

D.    Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu
1.      Ilmu dan Moral
Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodohnya umat kerbau, kita tidak curang dan serakah…. Pernyatan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita.[13] Benarkan makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran yang tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka di landasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Menyimak masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan imbauan Profesor Ace Partadirja dalam pidato pengukuhannya selaku Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Gadjah Mada, yang mengharapkan munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan.
2.      Tanggung Jawab Sosial
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikajikan secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya ini memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka ia diterima sebagai bagaian dari kumpulan ilmu pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual, namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individual inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyrakat. Namun, yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sering dikatakan orang bahwa ilmu itu terbatas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberikan nilai.[14] Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terkait atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung pada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Semua penelaahan ilmu dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan proses pengambilan keputusan dalam kehidupan bermasyarakat.
Singkatnya dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang etis danj esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat direncanakan oleh orang awam. Seorang awan kadang-kadang mempercayai asumsi yang tidak benar karena secara sepintas lalu memang hal itu kelihatannya masuk akal. Proses rasionalisasi didasarkan kepada jalan pikiran yang keliru atau materi pemikiran yang tidak benar. Seorang awan terkadang terpukau oleh jalan pemikiran yang brilian dengan materi yang tidak benar.
Berdasarkan pernyataan di atas, penyusun menyimpulkan bahwa sebuah tanggung jawab sosial akan selalu muncul bersamaan dengan adanya seorang ilmuwan yang menyampaikan ide-ide atau teori-teorinya yang mampu mengubah wajah peradaban. Jika suatu masyarakat yang diberikan ilmu pengetahuan terkait teori-teori tersebut merupakan seorang masyarakat yang awam, maka kemungkinan masyarakat akan mudah terpengaruh walau pun teori tersebut belum tentu benar adanya. Maka dari itu, sebuah tanggung jawab seorang ilmuwan terhadap masyarakat sangat diperlukan guna tercapainya pemahaman yang benar sesuai kenyataan yang ada.
3.      Pilihan Moral Seorang Ilmuwan
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia, atau sebaliknya dapat pula disalah gunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan.[15] Seorang ilmuwan yang di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahawa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterkaitannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak sadar. Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk bersifat dalm menghadapi bagaimana penemuan itu dibuat.
4.      Revolusi Genetika
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmu yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai objek penelaahan. Dengan penelitian genetika maka manusia menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan menusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.[16]

E.     Aksiologi Ilmu Pendidikan
Konsep-konsep yang diperoleh dari Ilmu Pendidikn yang secara langsung atau tidak langsung dapat berguna untuk meningkatan kelancaran dan keberhasilan praktik pendidikan, baik dalam bentuk kegiatan pendidikan maupun pengelolaan pendidikan. Dari peneltian Arora Kamla bahwasanya karakteristik pribadi sangat berpengaruh terhadap efektivitas guru dalam mengajar adalah: (1) kepercayaan diri, (2) rasa wajib dan tanggung jawab, (3) suara yang merdu dan khas, dan (4) kesehatan yang baik. Kepercayaan diri merupakan karakteristik pribadi yang sangat berguna untuk mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar.
Konsep-konsep yang diperoleh dari Ilmu Pendidikan juga dapat memberi pedoman dasar kerja pendidik/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugasnya. Konsep-konsep yang dikembangkan  Ilmu Pendidikan akan bersangkut-paut dengan bagaimana proses pengelolaan dan pelaksanaan praktik pendidikan terselenggara. Oleh karena itu, konsep-konsep tersebut dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip tentang praktik pengelolaan dan kegiatan pendidikan (mendidik). Menurut salah seorang peneliti  yang bernama Arora Kamla menyatakn bahwa karakteristik dari seorang yang ahli dalam pengelolaan dan kegiatan mendidik sangat mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar adalah bersangkutan dengan kemampuan-kemampuan: (1) menerangkan dengan jelas topik-topik yang akan dijadikan bahan ajaran, (2) menyajikan dengan jelas tentang mata pelajaran, (3) Mengatur secara terperinci tentang mata pelajaran, (4) berekspresi, (5) membangkitkan minat dan dorongan siswa untuk belajar, dan (6) menyusun rencana dan persiapan mengajar.[17]
Dari situ kita dapat mengetahui bahwa  Ilmu Pendidikan akan membantu seorang pendidik jika memiliki konsep-konsep yang menunjang keberhasilan praktik pendidikan seperti yang telah dikemukaan oleh Arora Kamla di atas. Hasil penelitian Arora Kamla menunjukkan bahwa karakteristik, latar belakang, dan keahlian yang sangat mempengaruhi efektivitas guru dalam mengajar, tidak hanya berkaitan dengan kemampuan menyesuaikan pengetahuan tentang mata pelajaran secara akurat, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan menyesuaikan mata pelajaran dengan tingkat pemahaman siswa. Penguasaan konsep-konsep pendidikan merupakan suatu hal yang berguna bagi derajat keahlian akademi/pengelola pendidik, yang pada akhirnya akan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kelancaran dan  keberhasilan praktek  pendidikan.
Hasi dari suatu ilmu pendidikan adalah konsep-konsep ilmiah tentang aspek-aspek dan ukuran-ukuran pendidikan sebagai  satu gejala dalam kehidupan manusia. Dengan demikian pemahaman terhadap suatu konsep-konsep ilmiah pendidikan berpotensi memiliki kegunaan untuk mengembangkan isi dan  metode ilmu pendidikan. Disamping itu, bisa berpotensi juga membantu meningkatkan wawasan dan keyakinan diri koma baik sebagai ahli pendidikan atau sebagai praktisi pendidikan. Konsep-konsep ilmiah pendidikan sangat erat atau bisa dikatakan tertuju pada konsep tentang manusia. Oleh karena itu suatu konsep-konsep ilmiah pendidikan secara potensial dapat mendorong perkembangannya pemikiran tentang hakikat manusia.
Pendidikan selain untuk menuntut pegetahuan, bertujuan untuk membentuk para peserta  didik yakni dalam sisitem pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan harus diperbarui secara utuh dan bulat dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini bisa disimpulkan bahwasanya  di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa kepribadian secara sempurna.[18]
F.      Integrasi Aksiologi Ilmu dan Agama
Aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai, sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain adalah apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat obyektif atau subyektif, apakah fakta mendahului nilai ataukah nilai mendahului fakta.[19] Sebagai cabang filsafat, aksiologi memiliki ranting yaitu logika yang membicarakan nilai kebenaran, dalam arti kebenaran rasional; etika yang membicarakan nilai kebaikan; dan estetika yang membicarakan nilai keindahan.
Dalam persoalan ini sebenarnya ada satu nilai lagi yaitu keilahian yang secara khusus dibicarakan dalam teologi, namun teologi bukanlah ranting aksiologi karena merupakan cara ilmu tersendiri. Oleh karen aksiologi berbicara tentang berbagai tentang hal tentang nilai, maka ada sementara pendapat mengatakan bahwa filsafat tidak lain adalah aksiologi itu sendiri. Secara aksiologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. nilai kebenaran yang seringkali menjadi tolok ukur utama ilmu, merupakan kebenaran yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus.
Justifikasi ilmu tidak hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk di dalamnya baik buruk (nilai kebaikan), indah jelek (nilai keindahan), dan sakral/ halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak hanya untuk ilmu tetapi harus disinari oleh nilai tertinggi, yaitu nilai ilahian (ketuhanan). Hal ini akan membuat keseluruhan nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan ilmu menjadi ilmu yang bermoral. Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofi yang didalamnya terdiri atas tiga pilar yaitu ontologi, epistemologi, dan yang tak kalah penting yaitu aksiologi. Sehingga agama tidak menjadi landasan etis namun menjadi landasan filosofis bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian outcome yang dihasilkan adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuan yang beragama Islam yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat keimanannya, sedangkan ilmuwan Islam adalah ilmuan yang tidak hanya kuat keimanannya namun yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu pengetahuan.[20]

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Adib, Mohammad. 2014. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aziz, Abd. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.
Bakhtiar, Amsal. 2016. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Santoso, Heri, dkk. 2003. Filsafat Ilmu Sosial Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media.
Qadam, Izah Ulya. 2015. Kualitas Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu. Semarang: Jurnal Penelitian, Vol. 9, No.2: 340-341.
S. Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capta. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi Pengantar Ontologis, Epistimologis, Aksiologis. Yogyakarta: Graha Ilmu


[1] Heri Santoso dan Listiyono Santoso, Filsafat Ilmu Sosial Ikhtiar Awal Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 84.
[2] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 78-79.
[3] Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 119.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 163-164
[5] Mohammad Zamroni, Filsafat Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 101.
[6] Mohammad Zamroni, Filsafat Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 101-102.
[7] Mohammad Zamroni, Filsafat Komunikasi Pengantar Ontolagis, Epistimologis, Aksiologis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 103-105
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 164-165
[9] Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 121-122.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capta, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 42.
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 88-90.
[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.103-104.
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm. 229.
[14] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm. 237-244.
[15] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm hlm. 246-252.
[16] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009), hlm. 253-254.
[17] Ishak Abdulhak, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 195-196.
[18] Ishak Abdulhak, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 197.
[19] Izah Ulya Qadam, “Kualitas Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu”. Jurnal Penelitian, Vol. 9, No.2, Agustus 2015”, hlm. 340-341.
[20] Izah Ulya Qadam, “Kualitas Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu”. Jurnal Penelitian, Vol. 9, No.2, Agustus 2015, hlm. 340-341.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar